Mantan Guruku=Kekasihku

Sore itu antrian di stasiun Gubeng untuk jurusan Bandung panjang sekali. Untungnya aku berada di antrian ketiga dari depan. Maka aku tak dihinggapi perasaan cemas, karena pasti kebagian tiket.

 

Udara panas Surabaya terasa menyengat, sehingga aku berkali-kali harus menyeka keringatku dengan tissue yang sengaja kubekal di saku celanaku.

 

Loket belum dibuka juga. Para pengantri tampak sudah tak sabar. Dan ketika loket baru dibuka, terdengar sapaan seorang wanita di dekatku, “Bisa titip satu Mas?”

 

Aku menoleh ke arah suara itu. Dan terkejut ketika melihat wajah wanita itu. Seorang wanita cantik, mengenakan gaun terusan berwarna hitam. Oh…dia Bu Rini, guruku waktu di SMP dahulu ! Iya, tak salah lagi. Tapi tampaknya ia tidak ingat lagi padaku. Maklum, sekarang umurku sudah 21 tahun. Sedangkan waktu diajar olehnya, umurku baru 13 tahunan. Pasti sudah banyak perubahan pada diriku, sementara Bu Rini tetap seperti dahulu. Tetap cantik dan seksi. Malah sekarang ia tampak lebih cantik daripada waktu masih jadi guruku dahulu.

 

“Tiket ke Bandung?” tanyaku, sengaja tidak memperkenalkan diri dulu. Biar nanti saja setelah mendapatkan tiket aku akan menjelaskan siapa diriku.

 

“Iya,” wanita itu mengangguk dan tampak bersemangat. Lalu ia membuka tasnya, mengambil uang dari tas itu, “Maaf ngerepotin ya Mas,” katanya waktu menyerahkan uang itu padaku.

 

Aku cuma menjawabnya dengan senyuman. Dia benar-benar sudah lupa bahwa aku ini bekas muridnya yang dulu paling nakal di kelasku. Biarlah, nanti setelah ada kesempatan aku akan menjelaskan siapa aku ini sebenarnya.

 

Tak lama kemudian tiket mulai dijual. Tak usah lama aku menunggu, karena aku berada di antrian ketiga dari depan. Lalu kudapatkan tiket dua helai, nomornya 9A dan 9B. Berarti aku akan duduk berdampingan dengan Bu Rini.

 

Pada waktu menerima tiket titipannya itu, Bu Rini mengangguk sopan sambil berkata, “Terima kasih Mas.”

 

Tak sabar lagi aku menjawabnya dengan, “Sama-sama Bu Rini.”

 

Wanita itu terkejut, “Kok bisa tau nama…nama saya?! Anda siapa ya?”

 

Kujulurkan tanganku untuk menjabat tangan wanita itu sambil berkata, “Ibu lupa ya…saya kan murid Ibu. Saya anak yang paling nakal dulu….saya Niko, Bu.”

 

“Hah?!” Bu Rini terbelalak dan tampak girang, “Ini Niko?! Ya Tuhaaan…kamu kok berubah sekali Nik! Sekarang udah dewasa…udah ganteng gini? Kalau kamu gak bilang duluan, ibu takkan ingat siapa kamu!”

 

Bu Rini tidak melepaskan tanganku yang sedang menjabat tangannya.

 

“Tapi Ibu tidak berubah. Tetap cantik seperti dulu, malah lebih cantik sekarang,” kataku setelah ia melepaskan tanganku.

 

“Mmm…bisa aja. Sekarang ibu sudah tua lah. Dulu waktu kamu jadi murid ibu, umur ibu baru duapuluhempat. Sekarang kan sudah tigapuluhdua. Niko…Niko…kok bisa ketemu di sini ya? Ngobrolnya di peron aja yuk,” kata Bu Rini sambil menjulurkan tangan ke tasnya.

 

“Biar saya aja yang bawa tas Ibu,” kataku sambil mendahului tangan Bu Rini untuk mengangkat tasnya, “Hanya tas ini bawaannya Bu?”

 

“Iya,” Bu Rini mengangguk dengan senyum manis. Ah…kenapa batinku tergetar melihat senyum mantan guruku itu?

 

Lalu aku melangkah di samping mantan guruku yang berperawakan tinggi semampai dan berkulit putih bersih itu.

 

Rangkaian kereta api yang akan kami tumpangi belum masuk stasiun Gubeng. Maka kami cari tempat duduk yang masih kosong. Dan melanjutkan ngobrol lagi.

 

“Kamu kuliah di Surabaya, Nik?” tanya Bu Rini setelah sama-sama duduk di bangku peron.

 

“Nggak… Saya kuliah di Bandung, kayak katak dalam tempurung, ya Bu.”

 

“Berarti kamu cinta kampung halaman, bukan kayak katak dalam tempurung. Lagian ngapain kuliah jauh-jauh, kan di Bandung juga banyak universitas unggulan,” kata Bu Rini sambil menepuk lututku, “Lantas di Surabaya ada urusan apa?”

 

“Cuma liburan doang di rumah kakak, Bu.”

 

“O…kakakmu di Surabaya?”

 

“Iya Bu.”

 

Lalu Bu Rini banyak bertanya mengenai pendidikanku, di mana kuliahku, sudah semester berapa dan sebagainya.

 

Lalu giliranku bertanya, “Ibu masih tinggal di rumah yang dulu?”

 

“Nggak…itu kan rumah orangtua ibu. Sekarang ibu tinggal di perumahan,” sahutnya, kemudian ia menyebutkan nama perumahan itu.

 

Tiba-tiba saja aku ingin tahu gambaran pribadi Bu Rini, “Suami ibu dinas dimana?”

 

Wajah mantan guruku mendadak tampak murung, “Suami ibu sudah meninggal dua tahun yang lalu, Nik.”

 

“Oh…” aku kaget, tak menyangka pertanyaanku bisa membuat Bu Rini berduka.

 

Lalu Bu Rini menceritakan bahwa suaminya kerja di sebuah kapal pesiar. Setelah tiga tahun menjadi istri crew kapal pesiar itu, nasib malang menimpa suaminya. Kapal pesiar itu tenggelam di perairan Atlantik. Hanya beberapa orang yang berhasil diselamatkan dalam musibah itu. Dan suami Bu Rini termasuk dalam daftar korban yang tewas.

 

“Saya prihatin mendengarnya,” kataku setelah Bu Rini selesai menuturkan kisah sedihnya, “Maafkan saya…karena pertanyaan saya tadi memancing kesedihan Ibu.”

 

“Gak apa-apa…” kata Bu Rini lirih, “Lagian kejadiannya sudah lama berlalu.”

 

Tak lama kemudian rangkaian kereta api yang akan kutumpangi sudah memasuki stasiun Gubeng. Kami menunggu beberapa saat, sampai terdengar suara di loudspeaker, bahwa para calon penumpang jurusan Bandung dipersilakan naik ke dalam kereta.

 

Kubawakan lagi tas Bu Rini di tangan kanan, sementara tangan kiriku menjinjing tasku sendiri.

 

Di dalam gerbong yang tertulis di tiket, kucari nomor 9A dan 9B. Setelah ketemu, kupersilakan Bu Rini memilih mau di pinggir jendela atau di pinggir lorong.

 

Bu Rini memilih di pinggir lorong. Takut ada yang melempar batu, katanya. Memang benar, di dalam KA Jakarta-Bandung aku sendiri pernah melihat seorang wanita hamil kena lemparan batu dari luar, kena kepalanya dan pingsan. Maka wajar kalau Bu Rini takut duduk di dekat jendela.

 

Kebetulan aku justru lebih suka duduk di dekat jendela, supaya bisa melihat pemandangan di luar. Tapi mau lihat apa nanti? Bukankah yang kunaiki ini kereta malam? Hmm…biarlah….yang jelas aku merasa beruntung sore ini. Karena tanpa diduga aku bisa bertemu dan bersama mantan guru yang dulu paling kukagumi di sekolahku.

 

Ketika kereta eksekutif ini mulai bergerak meninggalkan stasiun Gubeng, terdengar suara Bu Rini di sampingku, “Udah gede gini tentu udah punya pacar ya?”

 

“Be…belum Bu,” sahutku tersipu.

 

“Bohong ah,” Bu Rini mencubit tanganku, “Masa cowok seganteng gini gak punya pacar?”

 

“Betul Bu,” sahutku jujur, “Waktu masih di SMA pernah pacaran, tapi putus begitu aja. Setelah jadi mahasiswa, saya malah males pacaran lagi. Mending konsen kuliah aja Bu. Nanti kalau udah punya kerja, baru saya mau mikirin cewek lagi.”

 

“Bagus juga sih. Kalau udah punya kerja, cewek mah gampang dicari.”

 

“Iya Bu. Mmm…dulu waktu masih di SMP, saya nakal banget ya Bu.”

 

“Ah, itu kan masanya aja. Ada waktunya seorang anak itu jadi nakal. Ada waktunya juga jadi anak yang baik. Seperti sekarang…gak nakal lagi kan?”

 

“Hehehe…gak lah Bu. Kalau udah dewasa malu nakal-nakalan, Bu. Ohya…Ibu masih ngajar di SMP kita Bu?”

 

“Nggak,” Bu Rini menggeleng, “Sekarang ibu punya bimbel…”

 

“Bimbingan belajar?”

 

“Iya,” Bu Rini mengangguk, “Tapi yang aktif kebanyakan para mahasiswa. Ibu hanya memanage aja. Buat sambilan ibu bisnis kecil-kecilan. Masukin pakaian produk Bandung ke Jatim.”

 

“Oo…jadi Ibu ke Surabaya juga dalam rangka bisnis?”

 

“Iya Nik. Cuma menganalisa aja perkembangan di kota-kota yang biasa dikirimin barang. Takut ketinggalan mode. Kalau ngirim barang sih pakai ekspedisi aja. Pembayaran juga dilakukan via transfer. ”

 

Tak lama kemudian seorang pramugari menawarkan makanan. Bu Rini menanyakan aku mau makan apa? Kujawab nasi goreng saja. Lalu ia memesan dua nasi goreng dan dua teh manis panas. Setelah pesanan itu datang, Bu Rini membayarnya. Rikuh juga aku dibuatnya, karena ditraktir oleh mantan guruku. Kalau sudah bekerja, mungkin sewajibnya aku yang mentraktirnya.

 

“Kamu jadi berubah sekali,” kata Bu Rini waktu sama-sama menyantap nasi goreng, “Keliatannya sekarang kamu jadi alim ya?”

 

“Hehehe…di depan Ibu aja saya jadi begini, Bu,” sahutku.

 

“Kenapa? Emangnya ibu ini kamu anggap monster yang menakutkan?” Bu Rini mencubit pahaku sambil menatapku dengan sorot yang tidak biasa.

 

“Mmm…sebaliknya Bu,” sahutku.

 

“Sebaliknya gimana?” Bu Rini menatapku dengan senyum yang terasa menggoda.

 

“Mungkin Ibu gak nyadar…waktu masih di SMP, Bu Rini adalah guru yang paling saya kagumi.”

 

“Karena ibu gak pernah marahin kamu kan?”

 

“Bukan cuma itu…yang paling saya kagumi adalah…mmm…Ibu itu guru yang tercantik di mata saya.”

 

Lagi-lagi Bu Rini mencubit pahaku, “Itu kan dulu…waktu ibu masih muda. Sekarang mah sudah tua…”

 

“Boleh saya menilai Ibu pada saat ini?”

 

“Boleh…boleh…demokratis aja…hihihi…”

 

“Bu…menurut pandangan saya…sekarang Ibu malah lebih cantik dan…dan…”

 

“…dan apa?”

 

“Dan…seksi…”

 

Untuk yang kesekian kalinya Bu Rini mencubit pahaku sambil berkata, “Sekarang kamu udah gede…udah pinter gombal ya?”

 

“Sumpah Bu…dari tadi saya terkagum-kagum…Ibu kok semakin cantik aja….”

 

“Terus…sekarang kamu seneng ketemu ibu lagi?”

 

“Seneng banget Bu…”

 

“Ya udah…nanti setibanya di Bandung, kamu jangan langsung pulang ya. Nginap di rumah ibu aja. Mau berbulan-bulan tinggal di rumah ibu juga boleh. Biar kamu seneng…bisa dekat sama ibu terus.”

 

“Serius Bu?”

 

“Serius ! Tapi sekalian bantuin kerjaan ibu nanti ya. Mmm…kalau kamu mau, kamu bisa ikutan ngajar di bimbel punya ibu. Biar ada penghasilan buat jajan.”

 

“Wah, asyik tuh. Saya mau Bu !”

 

“Sampai saat ini ibu belum punya tangan kanan. Mudah-mudahan kamu bisa jadi tangan kanan ibu nanti ya.”

 

“Siap Bu.”

 

Kereta api eksekutif yang kutumpangi meluncur terus ke arah barat, di tengah kegelapan malam.

 

“Ibu ngantuk Nik. Boleh kepala ibu direbahkan di sini?” Bu Rini menepuk pahaku.

 

“Si…silakan aja Bu…”

 

“Mmm…untung ada kamu…” tiba-tiba Bu Rini mengecup pipiku. Membuatku terkejut bercampur senang.

 

Tak lama kemudian Bu Rini merebahkan kepalanya di pahaku. Ia tak mau memakai selimut dan bantal yang dibagikan oleh pramugari. “Jijik, bekas orang,” katanya, “Lagian masa selimutnya juga yang salur-salur gini, kayak di rumah sakit kelas jelata aja. Padahal kereta ini kan eksekutif. Pelayanannya makin lama makin payah.”

 

Aku bakal sulit bergerak, karena pahaku dipakai rebahnya kepala Bu Rini. Tapi gak apa-apa. Aku malah senang mengalami semua hal yang tak terduga ini.

 

Sambil rebah terlentang dengan kepala di pahaku, Bu Rini memegang kedua tanganku. Lalu menempelkannya di kedua pipinya sambil berkata, “Sering-sering kepit pipi ibu begini ya. Biar gak kedinginan.”

 

“I..iya Bu,” sahutku. Tentu saja aku mau banget menempelkan kedua telapak tanganku di pipi mantan guruku yang jelita itu.

 

Lalu…entah dari mana datangnya keberanian ini. Ketika mata Bu Rini mulai terpejam, iseng-iseng kuelus hidung mancung-meruncing itu. Bu Rini membuka matanya lagi, menatapku dengan senyum manis. Lalu terpejam lagi.

 

Hmmmm…terawanganku jadi melayang ke mana-mana. Dan aku jadi teringat pada jaket tebalku yang sejak tadi tak kupakai. Tanpa disuruh, kuhamparkan jaket itu menutupi bagian dada Bu Rini. Semoga bisa mengurangi dinginnya AC di dalam gerbong ini.

 

Mata Bu Rini terbuka lagi. Bibir sensualnya tersenyum lagi. “Thanks, Nik. Kamu baik banget.”

 

Terawanganku jadi melayang-layang lagi. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.

 

Aku bukan orang bodoh. Minimal aku sudah bisa menganalisa semuanya ini. Tapi aku tak mau bertindak ceroboh. Karena Bu Rini kuhormati di samping rasa kagumku. Yang bisa kulakukan hanyalah wait and see.

 

 

Esok paginya kereta api yang kutumpangi tiba di stasiun Bandung tepat pada waktunya. Kujinjing tas Bu Rini dan tasku sendiri, keluar dari peron. Bu Rini mengikuti langkah seorang sopir taksi.

 

Tak lama kemudian aku dan Bu Rini berada di dalam taksi yang meluncur ke arah kompleks perumahan yang sudah disebutkan oleh Bu Rini tadi.

 

“Semalaman di kereta api, badan ibu jadi pegel-pegel gini,” kata Bu Rini sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.

 

Aku diam saja. Sementara terawanganku menggoda lagi. Tapi aku berusaha menindasnya, karena takut analisaku salah.

 

Bu Rini menyuruh taksi berhenti di depan sebuah rumah dalam kompleks perumahan yang elite. Tanpa menunggu perintah, sopir taksi itu menurunkan tasku dan tas Bu Rini dari bagasi mobilnya, lalu meletakkannya di teras rumah Bu Rini.

 

Ketika memasuki rumah itu, aku dibikin kagum lagi. Sungguh rumah yang megah, ditata secara artistik pula. Kalau masih mengajar di sekolahku dahulu, pasti Bu Rini takkan punya rumah semegah ini, dengan perabotan serba mahal pula. Dan aku cepat berprediksi, bahwa mungkin Bu Rini mendapatkan santunan asuransi yang cukup besar, sehingga bisa memiliki rumah semegah ini.

 

“Rumah sebesar ini hanya dihuni sama Ibu sendirian?” tanyaku setelah dipersilakan duduk di sofa panjang ruang tamu, di samping Bu Rini.

 

“Iya,” Bu Rini mengangguk, lagi-lagi dengan senyum yang menggoda, membuat batinku tergetar lagi, “Ada sih tukang beres-beres, tapi kalau ibu gak ada dia juga gak masuk. Pada hari-hari tertentu banyak juga yang suka berkumpul di sini. Guru-guru bimbel itu.”

 

“Suasananya nyaman buat mencari ketenangan,” kataku.

 

“Buat belajar juga cocok kan?” kata Bu Rini sambil memegang tanganku. Terasa hangat genggamannya itu.

 

“Iya Bu. Kalau untuk belajar, cocok sekali. Suasananya tenang banget, ” kataku sambil diam-diam membandingkan dengan suasana di rumah orang tuaku yang di dalam gang kecil dan selalu bising dan bau. Maklum rumah orang tuaku dikelilingi pabrik tahu, yang air limbahnya bau menyengat.

 

“Kalau kamu mau, tinggal di sini aja,” kata Bu Rini, “Sekalian bantuin ibu dalam kegiatan bimbel dan bisnis pakaian itu.”

 

“Mau Bu.”

 

“Syukurlah. Ibu juga takkan serakah. Nanti kamu dapat bagian keuntungan tiap bulan. Anggap aja gaji bulanan.”

 

Aku seperti mendapat kesempatan untuk memancing Bu Rini, supaya perasaannya padaku seperti apa. Lalu kataku, “Gak digaji juga saya mau Bu. Yang penting…saya bisa dekat sama Ibu terus…”

 

“Yang bener nih,” cetus Bu Rini sambil melingkarkan lengannya di leherku. Dengan bibir ternganga dan mata bergoyang.

 

Ini benar-benar indikator positif buatku. Kenapa aku masih terus berbasa-basi? Bukankah tadi di sepanjang perjalanan aku memimpikan terus kesempatan seperti ini?

 

Lalu seperti mendengar teriakan di dalam batinku sendiri: Terkam dia ! Tunjukkan bahwa kamu laki-laki ! Bukankah dia sudah menantang kejantananmu?

 

Tanpa banyak basa basi lagi, kupagut bibir Bu Rini yang tampak menantang itu. Berikutnya justru Bu Rini yang melumat bibirku. O, serasa melayang batinku dibuatnya.

 

Tapi hanya beberapa menit aku bisa menikmati semuanya ini, karena lalu kudengar bisikan Bu Rini, “Supaya segar, mendingan kita mandi dulu yok.”

 

Seperti robot yang sudah dikendalikan, aku mengikuti langkah Bu Rini ke dalam kamarnya. Di situ ada pintu kamar mandi. Ia membuka pintu itu, lalu menoleh padaku, “Kalau mau ganti pakaian, ambil dulu pakaianmu gih.”

 

Sebagai jawaban, kupeluk pinggang Bu Rini dengan sepenuh gairah mudaku. “Ganti baju mah gampang Bu…mending mandi aja dulu….”

 

“Udah gak sabar pengen mandi sama ibu ya?” Bu Rini mengerling dengan senyum yang sangat mengundang.

 

“Iya Bu.”

 

“Ohya…nanti kalau ada yang nanya, bilang aja kamu itu adik sepupu ibu ya.”

 

“Iya, iya…”

 

Kuperhatikan keadaan kamar mandi yang bersatu dengan kamar tidur Bu Rini ini…besar dan lengkap. Bukan cuma ada bathtube yang ditutup oleh kaca buram, tapi ada lemari handuk dan pakaian segala.

 

“Mandi berdua di situ mau?” tanya Bu rini sambil menunjuk ke bathtube.

 

“Serius Bu?” tanyaku sangsi, sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya.

 

“Kamu pikir ibu main-main? Masa sih ibu biarkan kamu mencium bibir ibu kalau gak ada apa-apanya.”

 

“Saya merasa seperti bermimpi dengan semuanya ini Bu. Sungguh gak nyangka hari ini saya akan mengalami kejadian indah ini,” kataku ketika kulihat Bu Rini mulai menanggalkan gaun yang dipakainya dari Surabaya sejak kemarin.

 

“Masa sih? Cubit tanganmu sendiri, biar yakin bahwa sekarang kamu bukan sedang bermimpi,” Bu rini menggantungkan gaun hitamnya di kapstok. Sementara aku dibuat bengong setelah menyaksikan indahnya tubuh wanita itu, yang cuma tinggal mengenakan beha dan celana dalam saja.

 

GIlanya, tanganku ditariknya. Diselusupkan ke balik behanya, sehingga aku menyentuh payudara yang montok dan terasa masih kencang. “Di kereta api ibu tunggu kamu memegang ini. Tapi kamu hanya berani memegang leher dan pipi doang ya?”

 

Aku jadi degdegan. Suaraku juga jadi terengah-engah, “Sa…saya gak berani dong Bu.”

 

“Sekarang sudah berani kan? Bukain dong kancingnya, kan mau mandi,” kata Bu Rini sambil menunjuk ke arah punggungnya. Ke arah kancing kait behanya.

 

Dengan bersemangat kulepaskan kancing kait itu. Lalu kuberanikan diri melepaskan beha itu, “Gantungin di sini juga Bu?” tanyaku sambil membawa beha itu ke kapstok, di mana gaun hitam Bu Rini sudah tergantung.

 

“Iya,” sahut Bu Rini yang sudah melangkah ke arah bathtube tanpa melepaskan celana dalamnya. Lalu kulihat ia membuka kran air panas dan air dingin.

 

Besar sekali bathtube di kamar mandi ini. Aku lalu teringat bahwa almarhum suaminya dulu bekerja di kapal pesiar dan sering berada di luar negri, sehingga almarhum punya selera internasional. Dan itu bisa dibuktikan dengan bentuk penataan di dalam rumah ini, termasuk penataan kamar mandi ini yang tidak asal-asalan.

 

“Kalau mau mandi buka dong bajumu,” kata Bu Rini yang sudah menelentang di dasar bathtube sambil menutupi sepasang payudara montoknya.

 

“Di situ Bu?” tanyaku canggung sambil menunjuk ke arah bathtube.

 

“Iya,” sahut Bu Rini, “bathtubenya besar Nik. Dipakai tiga orang juga muat.”

 

Tak buang-buang waktu lagi, kulepaskan baju dan celana jeansku. Tapi aku tak berani melepaskan celana dalamku. Lalu aku memasukkan kaki ke bathtube dalam keadaan tinggal bercelana dalam.

 

“Kok celana dalamnya gak dibuka?” tegur Bu Rini dengan sikap menggoda.

 

“Ibu juga kan pakai celana dalam,” sahutku berusaha mengimbangi.

 

“Nanti kamu aja yang lepasin celana dalam ibu,” kata Bu Rini sambil menarik lenganku yang belum terendam air. Gila ! Ucapan Bu Rini itu menimbulkan khayalan yang bukan-bukan.

 

Terlebih lagi setelah aku sama-sama berendam dalam air hangat di samping Bu RIni. Rasanya aku mulai sulit mengatur nafasku, karena dengan tatapan dan senyum menggoda Bu Rini mengangsurkan sepasang payudara montoknya ke dekat wajahku sambil berdesis, “Mau netek nak?”

 

Dengan sigap aku menjawabnya secara bercanda juga, “Mau mamah….”

 

Bu Rini ketawa cekikikan. Lalu mulutku benar-benar mencelucupi pentil payudara kirinya, sementara Bu Rini memeluk leherku dengan cara yang membuat aku lupa daratan.

 

Namun kebinalan Bu Rini tak cuma itu saja. Tanganku pun diraih sampai menempel di perutnya, lalu diselinapkan ke dalam lingkaran karet celana dalamnya. Ini adalah puncak gejolak dalam batinku, karena tanganku mulai menyentuh jembut Bu Rini yang terasa lebat, sementara Bu Rini bahkan memagut bibirku…lalu mengemut lidahku yang ditarik ke luar.

 

Oh, aku jadi edan eling dibuatnya. Terlebih ketika jemariku mulai menemukan celah kemaluan Bu Rini…sehingga dengan leluasa aku mulai menjelajahi daerah yang paling sensitif di tubuh mantan guruku itu.

 

Aku lalu teringat kata-kata Bu Rini tadi, “Nanti kamu aja yang lepasin celana dalam ibu.” Kini aku mengerti bahwa ia akan membiarkanku melepaskan celana dalamnya. Dan aku melakukannya tanpa keraguan lagi, melepaskan satu-satunya benda yang masih melekat di tubuh mantan guruku.

 

Setelah kubikin telanjang bulat, Bu Rini berkata sambil memeluk leherku lagi, “Mulai saat ini ibu jadi milikmu….boleh kamu lakukan apa pun yang kamu mau….”

 

Sebagai mahasiswa yang sudah berumur 21 tahun, tentu aku memahami arti kata-kata mantan guruku itu. Maka akupun menjawabnya dengan tegas, “Mulai saat ini saya juga menjadi milik Bu Rini…dan Ibu boleh lakukan apa pun yang Ibu mau…”

 

“Sttt….” Bu Rini menempelkan telunjuknya di bibirnya, “Mulai saat ini jangan panggil ibu-ibuan lagi….nanti orang-orang heran, masa manggil Bu Rini pada kakak sepupu?”

 

“Kalau gitu, mau manggil Mbak aja ya…” usulku.

 

“Iya,” Bu Rini mengangguk, “Di depan orang lain kamu harus manggil Mbak…tapi kalau gak ada orang lain, kamu boleh manggil apa saja. Nyebut namaku langsung juga boleh.”

 

Ucapan itu dilanjutkan dengan aksi tangan Bu Rini, merayapi dada dan perutku, lalu menyelinap ke balik celana dalamku, sehingga ia sadar bahwa penisku sudah tegang sekali. Karena memang sejak masuk ke dalam kamar mandi ini pun penisku sudah tegang.

 

“Wow, udah tegang banget,” kata Bu Rini sambil memegang batang kemaluanku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memelorotkan celana dalamku, “Gila ! Kamu apain penismu ini Nik? Kok bisa panjang gede gini?”

 

“Gak diapa-apain,” sahutku, “kebetulan aja saya dianugrahi penis yang international size…hehehe…”

 

“Ah…ibu jadi horny, Nik…tapi jangan di sini…di tempat tidur aja yuk, biar empuk dasarnya…” Bu Rini bangkit dan keluar dari bathtube, lalu mengambil salah satu handuk yang tergantung di kapstok. Setelah mengeringkan tubuhnya, handuk itu dibelitkan ke badannya sambil berkata, “Pakai aja handuk itu. Semuanya bersih Nik.”

 

“Iya,” sahutku sambil melangkah ke kapstok, lalu mengambil handuk berwarna krem dan kupakai untuk mengeringkan tubuhku. Lalu kubelitkan handuk itu dan mengikuti langkah Bu Rini keluar dari kamar mandi menuju tempat tidur luas yang masih diterangi beberapa lampu.

 

Bu Rini mematikan lampu-lampu, sehingga tinggal lampu dinding dekat tempat tidur yang masih menyala redup. Lalu ia naik ke atas tempat tidur, melepaskan handuk yang melilit di tubuhnya, lalu menelentang dalam keadaan telanjang bulat. Dan tersenyum padaku dengan kedua tangan direntangkan, seolah menantangku, “Terkamlah aku Niko…”

 

Dengan jantung berdegup-degup kulepaskan pula handuk yang melilit di tubuhku, lalu naik ke atas tempat tidur…dan benar-benar menerkamnya dengan gejolak nafsu yang semakin tak terkendalikan.

 

Bu Rini menyambut terkamanku dengan pelukan hangat. Dengan bisikan menghiba, “Milikilah ibu sepuasmu, sayang.”

 

Itu pertama kalinya kudengar kata “sayang” dari mulut Bu Rini. Maka sambil memeluk leher mantan guruku itu, aku pun berbisik, “Semua ini benar-benar seperti dalam mimpi, Rini sayang….”

 

Itu pula pertama kalinya aku berani menyebut namanya langsung, tanpa embel-embel Bu lagi.

 

Dan kami lalu bergumul mesra, dalam kehangatan birahi yang makin bergolak. Meski bukan cowok yang banyak pengalaman, aku sudah sering nonton film-film bokep. Sehingga aku tahu benar bagaimana caranya menciumi bibir Bu Rini, bagaimana pula cara menjilati lehernya yang harum, mencelucupi pentil payudaranya dan bahkan menjilati pusar perutnya….lalu menurun ke bagian yang tertutup jembut lebat hitam itu.

 

Tanpa keraguan lagi kungangakan bibir kemaluan Bu Rini, kemudian kuserudukkan mulutku ke belahan yang merah itu, lalu naik ke atas…ke arah kelentitnya yang nyempil kecil…lalu menjilatinya dengan rakus. Aku senang sekali melakukannya, karena kemaluan Bu Rini tidak berbau sedikit pun, membuatku bersemangat menjilatinya.

 

“Niko….oooh…Nikoooo….oooh….ini enak sekali, sayaaaang….ooooh……Niko… …ternyata kamu sudah pandai ya….oooh….” rintih Bu Rini sambil mengelus-elus rambutku yang berada di bawah perutnya.

 

“Saya sering nonton filmnya, tapi baru sekarang saya praktekkan,” kataku di sela-sela permainan oralku.

 

“Iya…itu betul…nah itunya yang harus digasak, sayang,” desis Bu rini pada waktu ujung lidahku sedang menjilati clitorisnya.

 

Maka aku pun menjilati clitoris Bu Rini dengan ganasnya, sementara jemariku mulai kumasukkan ke dalam liang kemaluannya…kugerak-gerakkan di liang yang sudah mulai basah dan hangat itu. Terasa sepasang kaki Bu Rini mengejang-ngejang, mungkin sedang merasakan nikmatnya jilatanku.

 

Tapi tak lama kemudian Bu Rini menarik kepalaku agar naik ke atas dadanya, “Masukin aja penismu, sayang. Nanti ibu keburu ambrol…”

 

Setelah aku berada di atas tubuhnya, Bu Rini membantuku memegang batang kemaluanku yang sudah sangat tegang ini, menempelkan ujung tombakku persis di depan mulut vaginanya. Sementara itu ia pun merentangkan kedua pahanya lebar-lebar, mungkin untuk mempermudah penetrasi penisku ke liang vaginanya.

 

Tak lama kemudian kudengar perintahnya, “Ya…doronglah…”

 

Kuikuti perintah itu. Kudesakkan batang kemaluanku dan…blessss….masuk sedikit…kudesakkan lagi….blessssss….makin masuk ke dalam liang vagina Bu Rini.

 

“Oooh…sudah masuk, sayang…” Bu Rini memeluk leherku, sehingga wajahku berada di samping pipi kanannya.

 

Meski belum masuk semuanya, aku mulai menggerak-gerakkan penisku, tarik, dorong, tarik, dorong….sehingga penisku mulai seperti sedang memompa liang vagina Bu Rini.

 

Oooh, ini nikmat sekali, sehingga aku terpejam-pejam dibuatnya.

 

Bu Rini pun mulai merintih-rintih tak terkendali, “Oooh…Niko…sayaaang…sayang…Niko…sayang…sayang…ooooh….enak banget, sayang…..ooooh…punyamu gede banget sih…..oooh….genjot terus sayang….jangan berhenti-berhenti…naaaah gitu…oooh….luar biasa enaknya nih…ibu sudah lama sekali tidak merasakan diginiin….oooh….”

 

Kuhentikan dulu gerakan penisku, lalu kutatap wajah cantik Bu Rini (yang mirip Nourma Yunita di masa mudanya itu). Tanyaku nakal, “Kita ini lagi ngapain ya?”

 

Bu Rini mencubit pipiku, “Iiih…nakal ! Kita kan sedang bersetubuh, sayang. Sekarang ini ibu sudah menjadi milikmu sepenuhnya…..”

 

“Saya bahagia sekali diberi kesempatan memiliki Ibu, eh Mbak Rini yang sejak di SMP jadi guru yang paling saya kagumi…” kataku sambil menciumi lehernya.

 

Lalu kulanjutkan lagi gerakan batang kemaluanku, maju mundur di dalam jepitan liang vagina yang luar biasa enaknya ini.

 

Tampaknya Bu Rini sangat menikmati gesekan-gesekan batang kemaluanku di liang vaginanya. Terkadang matanya terpejam, lalu terbeliak, terpejam lagi dan seterusnya. Kedua tangannya pun tiada hentinya menjelajahi kepala dan tubuhku yang bisa dicapainya. Terkadang ia meremas-remas bahuku, lalu mengelus rambutku, lalu meremas-remas pantatku. Di saat lain lengannya mendekap pinggangku erat-erat, seolah tak mau berpisah dariku sedikit pun.

 

Aku pun semakin ganas mengayun batang kemaluanku. Pada waktu penisku sedang dibenamkan, kudesakkan sekuat mungkin, sehingga terasa benar moncong penisku menyundul ujung liang vagina mantan guruku. Pada detik-detik seperti itu, Bu Rini tampak sangat menikmatinya. Ia menatapku dengan mulut ternganga, dengan kedua telapak kaki dipertemukan di atas pinggangku.

 

Dan dalam detik-detik seperti itu aku pun tak dapat menahan celoteh nikmatku, “Oooh….sayaaaaang….ini enak sekali…..oooh…..oooh….enak sayang….”

 

Yang lalu dijawab dengan remasan di bahuku, dengan gigitan lembut di bibirku. Terkadang sekujur tubuh mantan guruku itu terasa bergetar-getar…di saat lain ia mengejang, menggeliat dan mengelojot sambil mendesah-desah seperti kepedasan.

 

Tapi tak lama kemudian ia menahan-nahan napasnya, lalu berkata terengah-engah, “Sayang….ibu udah mau keluar nih….barengin aja yok…biar enak…”

 

Meski tak mau mengakui bahwa aku punya pengalaman juga, aku bersikap seperti cowok hijau. Kataku, “I…iya…gimana caranya?”

 

“Percepat aja gerakannya….iyaaaa….iyaaaa….enjot terus secepatnya, biar kamu cepat keluar….” desah mantan guruku sambil menggoyang-goyangkan pantatnya dengan gerakan yang aduhai.

 

Maka ketika aku sudah mempercepat enjotan penisku, liang kemaluan Bu Rini terasa seperti memilin-milin penisku karena gerakan pantatnya yang gila-gilaan. Oooh…ini enak sekali !

 

Akhirnya kami mengalami puncak yang sama. Puncak kenikmatan yang luar biasa ganasnya. Bahwa mantan guruku seperti mau menghancurkan bahuku, mencengkramnya dengan kuat sekali….sementara aku pun melakukan hal yang sama…kudesakkan batang kemaluanku sekuat mungkin, sambil meremas payudara wanita itu dengan remasan yang cukup kuat. Lalu kami sama-sama menahan napas, diikuti dengan desahan nikmat yang sangat indah.

 

Ooooooohhhhhhh……

 

Aaaaaahhhhhhhh……

 

Batang kemaluanku mengejut-ngejut sambil menyemprot-nyemprotkan air maniku. Sementara kemaluan mantan guruku juga terasa mengejut-ngejut kecil, lalu terasa jadi banjir. Banjir oleh lendir kenikmatan kami. Bahkan terasa meleleh ke luar dari vagina wanita cantik itu.

 

Kami sama-sama terkapar lunglai sambil berpelukan. Lalu aku berguling ke samping, sehingga batang kemaluanku terlepas dari liang vagina Bu Rini.

 

Mantan guruku bangkit dan meraih handuknya, “Air manimu banyak sekali, Nik. Sampai meluap gini,” katanya sambil mengelap kemaluannya dengan handuk.

 

Aku cuma tersenyum sambil mengelus lutut dan betis mantan guruku.

 

Setelah mengeringkan kemaluannya, wanita cantik itu merebahkan diri lagi di sisiku.

 

“Ini pengalaman yang paling dahsyat dalam hidup saya, Bu…eh Mbak…” kataku.

 

“Kalau gak ada orang lain, kamu boleh nyebut namaku langsung, sayang,” kata mantan guruku sambil meremas tanganku, “Kamu telah membuat hidupku jadi berwarna lagi…”

 

Lalu kami berpelukan dengan posisi miring berhadapan. Dan akhirnya tertidur pulas, tanpa mempedulikan tubuh kami yang masih telanjang.

 

 

Hari sudah sore saat aku terbangun. Kulihat mantan guruku tak ada di sampingku lagi. Maka bergegas aku turun dari tempat tidur menuju kamar mandi, di mana pakaianku masih tergantung di kapstok. Tapi aku mandi dulu di bawah semburan shower air hangat. Dan membersihkan tubuhku sebersih mungkin.

 

Setelah mandi barulah kukenakan kembali pakaianku. Lalu melangkah ke luar kamar untuk mencari Bu Rini.

 

Ternyata ia sedang berada di dapur, dalam kimono putih bersih.

 

“Nyenyak banget tidurmu ya?” kata Bu Rini sambil menoleh padaku dengan senyum manisnya.

 

“Iya sayang,” sahutku sambil memeluknya dari belakang, “Saya kan gak tidur di kereta api. Karena menjaga mantan guru tercinta, takut digigit nyamuk…”

 

“Mmm….perjalanan dari Surabaya ke Bandung itu bisa jadi kenangan manis kita ya?” cetus Bu Rini sambil mengecilkan api kompornya.

 

“Iya…kenangan yang sangat indah…karena dipertemukan dengan mantan guruku yang dulu paling kukagumi. Tapi apa dasarnya Ibu eh Mbak Rini memberikan semuanya itu padaku?”

 

“Apa ya? Yang jelas ibu, eh aku senang mendengar bahwa kamu sangat mengagumiku sejak di SMP dahulu. Lalu aku menyaksikan sesuatu yang istimewa pada dirimu…bahwa kamu sudah menjadi cowok yang ganteng ! Tapi yang kusukai pada dirimu sekarang, adalah sikapmu itu…jauh berbeda dengan waktu masih jadi muridku dulu…sekarang kamu sudah menjadi cowok yang mantap dan berwibawa…”

 

Aku termangu mendengar ucapan mantan guruku itu. Lalu duduk di depan meja makan yang ada di dapur luas itu (jauh berbeda dengan dapur di rumah orang tuaku yang cuma ada kompor dan kulkas, serba sempit pula).

 

“Mau minum kopi?” tanya Bu Rini (aku akan membiasakan untuk tetap memanggil Mbak, supaya orang-orang percaya bahwa aku ini adik sepupunya).

 

“Boleh, tapi jangan kemanisan ya.”

 

“Kamu suka merokok kan?”

 

“Iya Mbak. Gakpapa kan?”

 

“Gakpapa. Kadang-kadang cowok itu suka tampak lebih macho kalau sedang merokok. Asal jangan lebih dari sebungkus sehari.”

 

“Wah, aku malah cuma setengah bungkus sehari. Di kereta api semalam suntuk gak bisa merokok. Makanya masih utuh nih rokoknya,” kataku sambil mengeluarkan bungkus rokok kretek filterku yang masih utuh. Dan menyalakannya sebatang.

 

Tak lama kemudian Mbak Rini meletakkan cangkir kopi di meja depanku, “Silakan diminum kopinya, Mas Ganteng,” godanya sambil tersenyum.

 

“Terimakasih, Mbak Cantik,” sahutku sambil tersenyum juga.

 

“Sebentar lagi kita makan ya,” kata Mbak Rini sambil menarik sebuah kursi ke samping kursiku.

 

“Mmm…Ibu, eh Mbak belum punya anak ?” tanyaku setelah Mbak Rini duduk di sampingku.

 

“Sudah, baru seorang,” sahutnya, “Anak laki-laki. Sekarang umurnya tiga tahunan.”

 

“Di mana dia sekarang?”

 

“Diminta sama mantan mertuaku. Sebagai pengganti almarhum, katanya.”

 

Aku tidak berani menanggapi, karena takut salah ngomong.

 

“Aku pengen punya anak dari kamu,” kata wanita itu, membuatku agak terkejut, “Biar anaknya ganteng kayak kamu.”

 

“Mmm….bagusnya nanti setelah aku sarjana dan punya pekerjaan tetap.”

 

“Ngapain nunggu jadi sarjana? Kamu kan sudah punya job tetap di sini. Penghasilanmu di sini akan lebih besar daripada kerja kantoran biasa. Penghasilan itu untuk pribadimu saja. Aku kan sudah punya penghasilan sendiri.”

 

“Oke,” aku mengangguk sambil mencium pipi Mbak Rini, “Silakan atur-atur aja lah. Aku ikut keinginan Mbak aja.”

 

Mbak Rini tersenyum dan berkata, “Becanda, sayang. Setelah melahirkan, aku kan ikut keluarga berencana. Sampai sekarang belum dicabut lagi alatnya. Jadi…meski kita ML sepuluh kali sehari, aku takkan hamil.”

 

“Tapi aku serius Mbak. Kawin dengan Mbak pun aku mau.”

 

“Kawin apa nikah? Tadi kan kita udah kawin…hihihi…”

 

“Menikah…iya…aku siap menjadi suami Mbak.”

 

“Serius?”

 

“Serius, Mbak sayang…”

 

“Emang gak malu nikah sama wanita yang lebih tua?”

 

“Hari gini masih bahas masalah usia? Artis juga banyak yang menikah dengan wanita berusia jauh lebih tua. Aku malah bangga memiliki Mbak Rini yang begini cantiknya…”

 

“Mmmm….” Mbak Rini tersenyum dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Spontan saja kupagut bibir sensual itu. Lalu kudengar suaranya, “Tak kusangka kamu bisa membahagiakan hatiku yang selama ini terasa gersang.”

 

Lalu ia menghampiri kompor yang berbentuk seperti mesin cuci itu. Mematikan kompor itu sambil berkata, “Sudah masak sup ayamnya. Kita makan dulu ya. Hari ini perut kita belum diisi apa-apa.”

 

“Iya,” sahutku, “Terakhir kita makan nasi goreng di kereta api, lalu terlupakan…karena sesuatu itu….”

 

“Sesuatu apa?” ia menoleh sambil meletakkan mangkuk besar di atas meja, kemudian menuangkan sop ayam dari panci bertangkai panjang.

 

“Sesuatu yang sangat indah….yang pasti akan membuatku ketagihan,” sahutku.

 

“Emang yang tadi itu enak?”

 

“Enak banget !”

 

“Oke deh, kita makan dulu yuk. Mau pake nasi apa kentang goreng?”

 

“Nasi aja. Orang Indonesia kalau belum makan nasi kan seperti belum makan.”

 

Mbak Rini tersenyum, lalu menuangkan nasi ke piring dan meletakkannya di depanku. Kemudian ia duduk di sampingku sambil bertanya, “Mau disuapin?”

 

“Aku aja yang nyuapin Mbak,” sahutku, “Mau?”

 

“Mau,” sahut mantan guruku dengan sikap manja, “Nanti setelah suapin mulut atas, suapin juga mulut bawah yaaa….”

 

“Heheheee…iya, iya…! ”

 

“Udah pengen lagi kan?” godanya sambil memegang celanaku pas di bagian penisku yang sudah bangun lagi.

 

“Heheheheee…bikin malu aja ih.”

 

Ia cuma tersenyum-senyum sambil makan. Selesai makan ia menatapku, “Malam ini kuat berapa kali lagi?”

 

“Gak tau…belum pengalaman sih…” kataku dengan perasaan bersalah, karena sebenarnya aku membohonginya. Ada sosok lain yang pernah singgah dalam hidupku, tapi akan tetap kurahasiakan.

 

“Selama ini kalau nafsu, disalurin ke mana?” tanyanya setelah selesai makan.

 

Kujawab dengan bisikan, “Dikocok aja pake cream.”

 

“Sama cewek belum pernah?” tanyanya lagi sambil menarik ritsleting celanaku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku.

 

“Belum. Paling juga nonton bokep sambil ngocok.”

 

“Kasian amat,” desisnya sambil menggenggam penisku yang sudah mulai bangun, “Kalau ngocok bisa berapa kali semalam?”

 

“Pernah sampai tujuh kali,” sahutku, “Soalnya setelah ngecrot, hidup lagi, ngecrot lagi, hidup lagi….sampai subuh….”

 

“Mmmm…hebat !” katanya sambil membereskan meja makan, sehingga tak ada apa-apa lagi di atas meja itu.

 

Di luar dugaanku, ia duduk di pinggiran meja makan itu sambil melepaskan ikatan tali kimono yang melingkari pinggangnya. Lalu merentangkan kedua sisi kimono itu. Membuatku sadar bahwa ia tak mengenakan apa-apa lagi di balik kimono sutra putih itu.

 

“Cobain di sini yok…” ajaknya sambil menepuk-nepuk kemaluannya yang berjembut tebal sekali itu.

 

Aku mengangguk sambil menggeser kursiku ke depan wanita cantik itu. Ternyata pas banget…aku bisa meniru posisi seperti di video-video triple X. Bahwa aku bisa duduk di kursi sambil mendekatkan wajahku ke kemaluan Ibu RIni yang sekarang sudah menjadi milikku dan mulai kubiasakan menyebut Mbak padanya.

 

Mbak Rini tampak mengerti apa yang akan kulakukan. Ia merentangkan pahanya, dengan lutut berada di pinggiran meja dan kaki terjuntai ke bawah. Ia pun merebahkan badannya, jadi menelentang di atas meja makan itu.

 

Aku pun mulai menyibakkan rambut vaginanya, sehingga belahan kemaluannya mulai tampak kemerahan. Dan tanpa basa basi lagi, kuserudukkan mulutku ke memek yang tampak menantang itu. Kugerak-gerakkan lidahku, menyapu-nyapu kemaluan Mbak Rini, sehingga terasa kakinya mulai mengejang-ngejang. Terlebih setelah lidahku mulai menggasak clitorisnya, erangan-erangan histeris pun mulai berkumandang di dapur yang ditata secara modern ini. Sementara kedua tanganku menjulur ke arah sepasang payudara yang montok dan terawat itu. Dan mulai meremasnya dengan lembut, meski terkadang aku meremasnya dengan agak keras. Sesekali kumainkan pentil payudara itu, sementara lidahku tetap asyik menjilati vaginanya yang makin lama makin basah.

 

Dan aku ingin meniru adegan film bokep yang pernah kutonton. Pada satu saat aku berdiri sambil memegang batang kemaluanku yang sudah tegang ini, kemudian kutempelkan puncak penisku di mulut vagina Mbak Rini yang sudah basah itu. Lalu kudesakkan dengan sekuatnya…blessss…berhasil membenam dengan mudah, karena liang kemaluan Mbak RIni sudah basah sekali.

 

Meski sambil berdiri di lantai, aku bisa mengayun penisku, dengan kedua tangan memegang sepasang paha mulus Mbak Rini yang terbuka lebar. Sementara Mbak Rini mulai berdesah-desah lagi seperti orang kepedasan.

 

Tapi tak terlalu lama aku melakukan senggama dengan posisi seperti itu. Beberapa menit kemudian kuangkat punggung Mbak Rini tanpa mencabut penisku dari dalam vaginanya, sehingga ia jadi berada dalam pelukanku. Lalu aku melangkah ke ruangan lain, ke ruangan keluarga yang lantainya berkarpet tebal. Itu semua kulakukan sambil memangku Mbak Rini yang vaginanya tetap menjepit penisku.

 

Lalu dengan hati-hati kurebahkan Mbak Rini di karpet, tanpa melepaskan penisku dari dalam vaginanya.

 

Lalu kupeluk lehernya erat-erat sambil berbisik, “Kalau posisi begini enaknya bisa sambil melukin Mbak….rasanya kita benar-benar menyatu.”

 

“Iya sayang,” sahut Mbak Rini, “Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan sesukamu. Aku kan sudah menjadi milikmu sekarang.”

 

“Iiiih…kata-kata Mbak membuat dadaku berdenyut ….” kataku sambil mulai mengayun lagi penisku, maju-mundur dalam liang kemaluan Mbak Rini yang enak banget rasanya.

 

Ternyata Mbak Rini pun merasakan hal yang sama. Pada saat aku lagi gencar-gencarnya mengenjot liang kemaluannya, ia berkata terengah-engah, “Niko….ohh…Niko….ini hubungan seks yang paling enak dalam hidupku. Punyamu gede banget sih….oooh…Niko….enak banget sayang….Niko….”

 

Sebenarnya aku pun merasakan hal yang sama. Bahwa persetubuhan demi persetubuhan dengan mantan guruku ini adalah yang paling berkesan dalam hidupku. Namun aku tak mengutarakan semua yang kurasakan ini. Aku menjawabnya dengan tindakan. Dengan mengenjotnya sepenuh gairahku, sambil menjilati lehernya yang mulai keringatan. Tapi ketika aku bermaksud mencupang lehernya, ia mendorong kepalaku sambil berkata, “Kalau mau nyupang di tetek aja…jangan di leher, sayang. Takut kelihatan sama orang-orang….”

 

Kulakukan apa yang dipinta itu. Kucupang di payudara kanannya, lalu di payudara kirinya, sehingga meninggalkan bekas merah di sepasang bukit kenyal yang indah itu.

 

O, Ibu Rini mantan guruku yang jelita….sekarang ia menjadi kekasihku….

 

 

T A M A T