1.Teman Bisnis Teman Di Ranjang
Ini adalah kisah nyata yang terjadi di tahun 2005. Tapi untuk menjaga nama baik semua pihak, nama-nama pelaku diganti semuanya. Selamat mengikuti
Peristiwa indah itu tak pernah kuduga sedikit pun. Karena Bu Ivy tidak menampakkan gejala-gejala nakal sedikit pun. Apalagi kalau mengingat bahwa dia sudah mengenal istriku dan sering ngobrol berdua kalau datang ke rumahku. Istriku pun kelihatan percaya penuh, tak pernah mencucurigai kalau aku bepergian bersama Bu Ivy. Lagian kalau ada niat mau selingkuh, masa Bu Ivy berani menginjak rumahku dan berlama-lama ngobrol dengan istriku? Apalagi kalau mengingat bahwa Bu Ivy kelihatannya taat beribadah. Tiap hari selalu mengenakan jilbab.
Baik aku maupun istriku sama-sama berwiraswasta, tapi dalam lapangan yang berbeda. Aku sering jadi mediator, begitu juga Bu Ivy. Sementara istriku membuka toko kebutuhan sehari-hari, jadi bisnisnya cukup dengan menunggui toko saja, karena rumahku ada di belakang toko itu. Dan di belakang rumah, istriku punya bisnis lain….beternak ribuan burung puyuh yang rajin bertelur tiap hari.
Pada suatu pagi, waktu aku baru mau mandi, istriku menghampiriku, “Ada Bu Ivy, Bang.”
“Oh, iya….emang sudah janjian mau ketemu sama pemilik tanah yang mau dijadikan perumahan itu,” sahutku, “Suruh tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.”
Istriku mengangguk lalu pergi ke depan. Sementara aku bergegas masuk ke kamar mandi.
Setelah mandi dan berdandan, aku melangkah ke ruang tamu. Bu Ivy sedang ngobrol dengan istriku.
“Barusan istri Herman datang, Bang,” kata istriku waktu aku baru duduk di sampingnya, “Herman sakit, kakinya bengkak, asam uratnya kambuh, jadi gak bisa kerja hari ini.”
“Penyakit langganan,” sahutku dengan senyum sinis. Dengan hati kesal, karena itu berarti aku harus nyetir sendiri hari ini. Herman adalah nama sopirku.
“Acaranya hari ini nggak jauh kan?” tanya istriku, “Sekali-sekali nyetir sendiri kan nggak apa-apa.”
“Iya…ada sopir atau nggak ada sopir, kegiatanku takkan terhambat,” kataku, lalu menoleh ke arah Bu Ivy yang saat itu mengenakan baju hijau pucuk daun dan kerudung putih, “Berangkat sekarang Bu?”
“Baik Pak,” Bu Ivy memegang tali tas kecilnya yang tersimpan di pangkuannya.
Tak lama kemudian Bu Ivy sudah duduk di sampingku, di dalam sedan yang kukemudikan sendiri (merek sedanku takkan kusebut, enak aja jadi iklan gratis…hehehe…).
Obrolan kami di perjalanan menuju lokasi, hanya menyangkut masalah-masalah bisnis yang ada kaitannya dengan Bu Ivy. Tidak ada sesuatu yang menyimpang. Bahkan setelah tiba di lokasi yang 25 km dari pusat kota, aku tak berpikir yang aneh-aneh. Bahkan aku jengkel juga ketika pemilik tanah itu tidak ada di tempat, harus dijemput dulu oleh keponakannya yang segera meluncur di atas motornya.
Kami duduk saja di dalam mobil yang diparkir menghadap ke kebun tak terawat, yang rencananya akan dijadikan perumahan oleh kenalanku yang seorang developer. Suasana sunyi sekali. Karena kami berada di depan kebun yang mirip hutan. Pepohonan yang tumbuh tidak dirawat sedikit pun.
Tapi suasana yang sunyi itu…entah kenapa…tiba-tiba saja membuatku iseng…memegang tangan Bu Ivy sambil berkata, “Bisa dua jam kita harus menunggu di sini, Bu.”
“Iya Pak,” sahutnya tanpa menepiskan genggamanku, “Sabar aja ya Pak….di dalam bisnis memang suka ada ujiannya.”
Aku terdiam. Tapi tanganku tidak diam. Aku mulai meremas tangan wanita 30 tahunan itu, yang makin lama terasa makin hangat. Dia bahkan membalasnya dengan remasan. Apakah ini berarti……..ah…..pikiranku mulai melayang-layang tak menentu.
Mungkin di mana-mana juga lelaki itu sama seperti aku. Dikasih sejengkal mau sedepa. Remas-remasan tangan tidak berlangsung lama. Kami bukan abg lagi. Masa cukup dengan remas-remasan tangan?
Sesaat kemudian, lengan kiriku sudah melingkari lehernya. Tangan kananku mulai berusaha membuka jalan agar tangan kiriku bisa menyelusup ke dalam bajunya yang sangat tertutup dan bertangan panjang. Bu Ivy diam saja. Dan akhirnya aku berhasil menyentuh payudaranya. Tapi dia menepiskan tanganku sambil berkata, “Duduknya di belakang saja Pak…di sini takut dilihat orang…”
O, senangnya hatiku. Karena ucapannya itu mengisyaratkan bahwa dia juga mau !
“Kenapa mendadak jadi begini Pak?” tanya wanita berjilbab itu ketika kami sudah duduk di jok belakang, pada saat tanganku berhasil menyelinap ke baju tangan panjangnya dan ke balik behanya.
“Gak tau kenapa ya?” sahutku sambil meremas payudaranya yang terasa masih kencang, mungkin karena rajin merawatnya.
“Tapi Pak…uuuuhhhh…..kalau saya jadi horny gimana nih?” wanita itu terpejam-pejam sambil meremas-remas lututku yang masih berpakaian lengkap.
“Kita lakukan saja…asal Bu Ivy gak keberatan….” tanganku makin berani, berhail menyelinap ke balik rok panjangnya, lalu menyelundup ke balik celana dalamnya. Tanganku sudah menyentuh bulu kemaluannya yang terasa lebat sekali. Kemudian menyeruak ke bibir kemaluannya…bahkan mulai menyelinap ke celah vaginanya yang terasa sudah membasah dan hangat.
“Masa di mobil?” protesnya, “kata orang mobil jangan dipakai gituan, bisa bikin sial…”
“Emang siapa yang mau ngajak begituan di mobil? Ini kan perkenalan aja dulu….” kataku pada waktu jemariku mulai menyelusup ke dalam liang kemaluan Bu Ivy yang terasa hangat dan berlendir…
Wanita itu memelukku erat-erat sambil berbisik, “Duh Pak…saya jadi kepengen nih….kita cari penginapan aja dulu yuk. Bilangin aja sama orang-orang di sini kalau kita mau datang lagi besok.”
“Iya sayang,” bisikku, “Sekarang ini memiliki dirimu lebih penting daripada ketemuan dengan pemilik tanah itu…”
“Ya sudah dulu dong,” Bu Ivy menarik tanganku yang sedang mempermainkan kemaluannya, “Nanti kalau saya gak bisa nahan di sini kan berabe. Nanti aja di penginapan saya kasih semuanya…”
Aku ketawa kecil. Lalu pindah duduk ke belakang setir lagi.
Tak lama kemudian mobilku sudah meluncur di jalan raya. Persetan dengan pemilik tanah itu. Sekarang ini yang terpenting adalah tubuh Bu Ivy, yang jelas sudah siap diapakan saja.
Dengan mudah kudapatkan hotel kecil di luar kota, sesuai dengan keinginan Bu Ivy, karena kalau di dalam kota takut kepergok oleh orang-orang yang kami kenal. Soalnya aku punya istri, Bu Ivy pun punya suami.
Hotel itu cuma hotel sederhana. Tapi lumayan, kamar mandinya pakai shower air panas. Tidak pakai AC, karena udaranya cukup dingin, rasanya tak perlu pakai AC di sini. Yang penting adalah wanita berjilbab itu…yang kini sedang berada di dalam kamar mandi, mungkin sedang cuci-cuci dulu…sementara aku sudah tak sabaran menunggunya.
Ketika ia muncul di ambang pintu kamar mandi, aku terpana dibuatnya. Rambutnya yang tak ditutupi apa-apa lagi, tampak tergerai lepas….panjang lebat dan ikal. Jujur…ia tampak jauh lebih seksi, apalagi kalau mengingat bahwa ia 5 tahun lebih muda adaripada istriku. Rok bawahnya tidak dikenakan lagi, sehingga pahanya yang putih mulus itu tampak jelas di mataku.
Aku bangkit menyambutnya dengan pelukan hangat, “Bu Ivy kalau gak pake jilbab malah tampak lebih cantik….muuuahhhhh…” kataku diakhiri dengan kecupan hangat di pipinya.
Ia memegang pergelangan tanganku sambil tersenyum manis. Dan kuraih pinggangnya, sampai berada di atas tempat tidur yang lumayan besar.
Lalu kami bergumul mesra di atas tempat tidur itu. Bu Ivy tidak pasif. Berkali-kali dia memagut bibirku. Aku pun dengan tak sabar menyingkapkan baju lengan panjangnya. Dan…ah…rupanya tak ada apa-apa lagi di balik baju lengan panjang itu selain tubuh Bu Ivy yang begitu mulus. Payudaranya tidak sebesar payudara istriku. Tapi tampak indah di mataku. Tak ubahnya payudara seorang gadis belasan tahun. Dan ketika pandanganku melayang ke bawah perutnya…tampak sebentuk kemaluan wanita yang berambut tebal, sangat lebat….
Aku pun mulai beraksi. Mencelucupi lehernya yang hangat, sementara tanganku mulai mengelus jembut (bulu kemaluan) yang lebat keriting itu. Bu Ivy pun tidak tinggal diam, mulai melepaskan kancing kemejaku satu persatu, lalu menanggalkan kemejaku. Untuk mempermudah, aku pun menanggalkan celana panjang dan celana dalamku. Sehingga batang kemaluanku yang sudah tegak kencang ini tak tertutup apa-apa lagi.
Bu Ivy melotot waktu melihat batang kemaluanku yang sudah tak tertutup apa-apa lagi ini. “Iiiih…punya Bapak kok panjang gede gitu….mmm….si ibu pasti selalu puas ya …” desisnya.
“Emang punya suami Bu Ivy seperti apa?” tanyaku.
“Jauh lebih pendek dan kecil,” bisik Bu Ivy sambil merangkulku dengan ketat, seperti gemas.
Kembali kuciumi lehernya yang mulai keringatan, lalu turun…mencelucupi puting payudaranya. Kusedot-sedot seperti anak kecil sedang menetek, sambil mengelus-eluskan ujung lidahku di putting payudara yang terasa makin mengeras ini. Sementara tanganku tak hanya diam. Jemariku mulai mengelus bibir kemaluan wanita itu, bahkan mulai memasukkan jari tengahku ke dalam liang kemaluannya.
Bu Ivy sendiri tak cuma berdiam diri. Tangannya mulai menggenggam batang kemaluanku. Meremasnya dengan lembut. Mengelus-elus puncak penisku, sehingga aku makin bernapsu. Tapi aku sengaja ingin melakukan pemanasan selama mungkin, supaya meninggalkan kesan yang indah di kemudian hari.
Maka setelah puas menyelomoti puting payudara wanita itu, bibirku turun ke arah perutnya. Menjilati pusarnya sesaat. Lalu turun ke bawah perutnya.
“Pa jangan ke situ ah…malu…” Bu Ivy berusaha menarik kepalaku agar naik lagi ke atas. Tapi aku bahkan mulai menciumi kemaluanya yang berbulu lebat itu. Lalu jemariku menyibakkan bulu kemaluan wanita itu, mengangakan bibirnya dan mulai menjilatinya dengan gerakan dari bawah ke atas….
“Aduh Pak…ini diapain? Aaah…kok enak sekali Pak…..” Bu Ivy mulai menceracau tak menentu. Lebih-lebih ketika aku mulai mengarahkan jilatanku di clitorisnya, terkadang menghisap-hisapnya sambil menggerak-gerakkan ujung lidahku.
“Oooh Pak…oooh….Pak….iiiih….saya udah mau keluar nih….duuuhhhhhh” celotehnya membuatku buru-buru mengarahkan batang kemaluanku ke belahan memeknya yang sudah basah. Dan kudesakkan sekaligus….blessss…..agak mudah membenam ke dalam liang surgawi yang sudah banyak lendirnya itu.
“Aduuuduuuhhhh…sudah masuk Paaakk…..oooohhhh….” Bu Ivy menyambutku dengan pelukan erat, bahkan sambil menciumi bibirku sambil menggerak-gerakkan pantatnya, “Sa…saya gak bisa nahan lagi…langsung mau keluar Paaak…tadi sih terlalu dienakin…oooh…”
Lalu terasa tubuh wanita itu mengejang dan mengelojot seperti sekarat. Rupanya dia tak bisa menahan lagi. Dia sudah orgasme….terasa liang kemaluannya berkedut-kedut, lalu jadi becek.
“Barusan kan baru orgasme pertama,”bisikku yang mulai gencar mengayun batang kemaluanku, maju mundur di dalam celah kemaluan Bu Ivy.
Beberapa saat kemudian wanita itu merem melek lagi, bahkan makin gencar menggoyang-goyang pinggulnya, sehingga batang kemaluanku serasa dibesot-besot oleh liang surgawi Bu Ivy. Aku tahu goyangan pantatnya itu bukan sekadar ingin memberikan kepuasan untukku, tapi juga mencari kepuasan untuknya sendiri. Karena pergesekan penisku dengan liang kemaluannya jadi makin keras, kelentitnya pun berkali-kali terkena gesekan penisku.
“Adduuuh, duuuh….Pak…kok enak sekali sih Pak…..aaah…saya bisa ketagihan nanti Pak…..” celotehnya dengan napas tersengal-sengal.
“Aku juga bisa ketagihan,” sahutku setengah berbisik di telinganya, sambil merasakan enaknya gesekan dinding liang kemaluannya, “memekmu enak sekali, sayang…..duuuuh….benar-benar enak sekaliii….”
Aku memang tidak berlebihan. Entah kenapa, rasanya persetubuhanku kali ini terasa fantastis sekali. Mungkin ini yang disebut SII (Selingkuh Itu Indah). Padahal posisi kami cuma posisi klasik. Goyangan pantat Bu Ivy juga konvensional saja. Tapi enaknya luar biasa. Dalam tempo singkat saja keringatku mulai bercucuran.
Bu Ivy pun tampak sangat menikmati enjotan batang kemaluanku. Sepasang kakinya diangkat dan ditekuk, lalu melingkari pinggangku, sementara rengekan-rengekannya tiada henti terlontar dari mulutnya, “Ooooh….oooh…hhhh….aaaaahhhhh…oooh…aaaaah….aduuuh Paaak….enak Pak….duuuuh….mmmmhhhhh saya mau keluar lagi nih Paaak….”
“Kita barengin keluarnya yok….” bisikku sambil mempergencar enjotan batang kemaluanku, maju mundur di dalam liang kewanitaan Bu Ivy.
“I…iya Pak….bi…bi…biar nikmat…..” sahutnya sambil mempergencar pula ayunan pinggulnya, meliuk-liuk cepat dan membuat batang kemaluanku seperti dipelintir oleh dinding liang kemaluan wanita yang licin dan hangat itu.
Sampai pada suatu saat…kuremas-remas buah dada wanita itu, mataku terpejam, napasku tertahan…batang kemaluanku membenam sedalam-dalamnya….lalu kami seperti orang-orang kesurupan….sama-sama berkelojotan di puncak kenikmatan yang tiada taranya …..
Air maniku terasa menyemprot-nyemprot di dalam liang memek Bu Ivy. Liang yang terasa berkedut-kedut….lalu kami sama-sama terkapar, dengan keringat bercucuran.
“Ini yang pertama kalinya saya digauli oleh lelaki yang bukan suami saya…” kata Bu Ivy sambil membiarkan batang kemaluanku tetap menancap di dalam memeknya.
Kujawab dengan ciuman hangat di bibirnya yang sensual, “Sama…saya juga baru sekali ini merasakan bersetubuh dengan wanita yang bukan istri saya. Terimakasih sayang….mulai saat ini Bu Ivy jadi istri rahasiaku…”
“Dan Bapak jadi suami kedua saya….iiih…kenapa tadi kok enak sekali ya Pak?”
“Mungkin kalau dengan pasangan kita sendiri sudah terlalu biasa, nggak ada yang aneh lagi. Tapi barusan dilepas di dalam…nggak apa-apa ?”
“Nggak apa-apa,” sahutnya dengan senyum manis, mata bundar beningnya pun bergoyang-goyang manja, “Saya kan ikut KB sejak kelahiran anak kedua…”
“Asyik dong, jadi aman….”
“Saya pasti ketagihan Pak….soalnya punya Bapak panjang gede gitu…..”
Kata-kata Bu Ivy itu membuat napsuku bangkit lagi. Dan batang kemaluanku yang masih terbenam di dalam memeknya, terasa mengeras lagi. Maka kucoba menggerak-gerakkannya…ternyata memang bisa dipakai “bertempur” lagi.
Batang kemaluanku sudah mondar mandir lagi di dalam liang vagina Bu Ivy yang masih banyak lendirnya tapi tidak terlalu becek, bahkan lebih mengasyikkan karena aku bisa mengenjot dengan gerakan yang sangat leluasa tanpa kehilangan nikmatnya sedikit pun. Bahkan ketika aku menggulingkan diri ke bawah, dengan aktifnya Bu Ivy action dari atas tubuhku. Setengah duduk ia menaik turunkan pinggulnya, sehingga aku cukup berdiam diri, hanya sesekali menggerakkan batang kemaluanku ke atas, supaya bisa masuk sedalam-dalamnya.
Posisi di bawah ini membuatku leluasa meremas-remas payudara Bu Ivy yang bergelantungan di atas wajahku. Terkadang kuremas-remas juga pantatnya yang lumayan besar dan padat.
Tapi mungkin posisi ini terlalu enak buat Bu Ivy, karena moncong penisku menyundul-nyundul dasar liang vaginanya. Dan itu membuatnya cepat orgasme. Hanya beberapa menit ia bisa bertahan dengan posisi ini. Tak lama kemudian ia memeluk leherku kuat-kuat, seperti hendak meremukkannya. Lalu terdengar erangan nikmatnya, “Aaaahhhh….saya keluar lagi Paaaak…..”
Kemudian ia ambruk di dalam dekapanku.
Tapi aku seolah tak peduli bahwa Bu Ivy sudah orgasme lagi. Butuh beberapa saat untuk memulihkan vitalitasnya kembali. Tak perlu vitalitas. Yang jelas batang kemaluanku sedang enak-enaknya mengenjot memek teman bisnisku ini. Lalu aku menggulingkan badannya sambil kupeluk erat-erat, tanpa mencabut batang kemaluanku dari dalam memeknya yang sudah orgasme kesekian kalinya.
Bu Ivy memejamkan matanya waktu aku mulai mengenjotnya lagi dengan posisi klasik, dia di bawah aku di atas. Tapi beberapa saat kemudian ia mulai aktif lagi. Mendekapku erat-erat sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan gerakan meliuk-liuk …..
Aku pun makin ganas mengenjotnya. Tapi ia tak mau kalah ganas. Gerakan pantatnya makin lama makin dominan. Membuatku berdengus-dengus dalam kenikmatan yang luar biasa.
“Oooh…enak banget Paaak….sa…saya mau keluar lagi ….kita barengin lagi Pak…ta…tadi juga enak sekali….” celotehnya setelah batang kemaluanku cukup lama mengenjot liang memeknya.
Aku setuju. Kuenjot batang kemaluanku dengan kecepatan tinggi, maju-mundur, maju-mundur….sampai akhirnya kami sama-sama berkelojotan lagi Saling cengkram, saling lumat….seolah ingin saling meremukkan….dan akhirnya air maniku menyemprot-nyemprot lagi di puncak kenikmatanku, diikuti dengan rintihan lirih Bu Ivy yang sedang mencapai orgasme pula.
“Kita kok bisa tiba-tiba begini ya?” cetus bu Ivy waktu sudah mengenakan pakaiannya lagi.
“Iya…dari rumah aja gak ada renana….tapi tadi mendadak ada keinginan…untunglah Bu Ivvy gak menolak…terimakasih ya sayang,” sahutku dengan genggaman erat di pergelangan tangannya, kemudian kukecup mesra bibirnya yang tipis mungil itu.
Wanita itu tersenyum. Memeluk pinggangku sambil berkata perlahan, “Kita harus berterimakasih pada pemilik tanah itu, ya Pak. Gara-gara dia gak ada di tempat, kita jadi ada acara mendadak begini.”
Aku mengangguk dengan senyum. Sementara hatiku berkata, “Gara-gara sopirku gak masuk pula, aku jadi punya kisah seperti ini. Kalau ada dia, aku tentu takkan sebebas ini.”
Sore itu kami pulang ke rumah masing-masing, dengan perasaan baru. Bahkan malamnya, ketika istriku sudah tertidur pulas, aku masih sempat smsan dengan bu Ivy. Salah satu smsnya berbunyi: “Puas banget…punya saya sampe terasa seperti jebol….punya bapak kegedean sih…kapan kita ketemuan lagi?”
Kujawab singkat, “Kapan pun aku siap..”
Satu kisah indah telah tercatat di dalam kehidupanku. Yang tak mungkin kulupakan.
Episode 2
Petualanganku dengan wanita berjilbab bernama Ivy itu seperti membuka mataku selebar-lebarnya. Dalam pertemuan dengan bu Ivy yang kedua kalinya, aku mendengar curhatnya. Bahwa suaminya selingkuh dengan teman sekantornya. “Mending kalau ceweknya itu cantik…sama pembantu saya aja masih bagusan pembantu saya,” kata Bu Ivy dalam curhatnya. Banyak curhat Bu Ivy yang dituturkan padaku. Kesimpulannya, ia tak menyesali skandalnya denganku, hitung-hitung balas dendam pada perselingkuhan suaminya.
Lalu aku balas dendam kepada siapa? Bukankah istriku demikian setianya padaku? Yahhh, mungkin aku hanya menjalani naluri sebagai lelaki saja. Bahwa pada dasarnya kodrat pria itu tidak cukup dengan satu wanita saja. Hanya memang ada yang disalurkan, ada pula yang dipendam atau ditindas oleh yang bersangkutan.
Dalam perjalanan bisnisku berikutnya, aku menemukan suatu celah baru. Untuk menghubungkan owner sebuah kapal tanker kecil dan calon buyernya, aku dan team harus menginap di sebuah hotel di Jakarta. Karena kami datang sudah terlalu sore, sementara kapal itu harus disurvey siang hari. Jumlah team tidak banyak, hanya dua orang wanita muda dan dua orang pria (termasuk aku). Aku dan Agus mengambil kamar bernomor 809, sementara kedua wanita yang datang dari Semarang itu memakai kamar bernomor 810 yang bersebrangan dengan kamar kami.
Sebenarnya aku sudah tiga kali bertemu dengan Mbak Ida, nama salah seorang wanita yang istirahat di kamar 810 itu. Tentu dalam urusan bisnis yang kami tekuni. Tapi baru sekali ini aku memikirkan hal khusus tentang wanita yang satu itu. Bahwa dia cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi semampai dan usianya pun pasti di bawah 30 tahun. Aku memanggilnya dengan sebutan “Mbak” hanya karena menghormatinya saja. Padahal usianya pasti beberapa tahun lebih muda dariku.
Aku belum mendengar latar belakang kehidupannya secara jelas. Hanya menurut selentingan, suaminya sudah tua banget dan mengalami kelumpuhan, sehingga Mbak Ida harus giat mencari celah-celah bisnis seperti yang sedang kami tekuni sekarang.
Tapi aku tak peduli dengan latar belakang kehidupan wanita bernama Ida Farida itu. Yang kupikirkan, bagaimana cara untuk mendapatkannya di hotel ini? Susahnya, aku tidak sendirian. Mbak Ida juga tidak sendirian.
Sampai jam sembilan malam aku memutar otak. Temanku yang bernama Agus itu sudah tidur tengkurap di bednya. Akhirnya aku nekad mengetik sms untuk wanita itu, “Bisa ke resto sebentar? Ada yang ingin saya rundingkan, tapi temannya jangan diajak. Thanks.”
Kukirimkan sms itu ke nomor hp Mbak Ida. Tak lama kemudian kuterima balasannya, singkat saja : “Oke”
Dengan penuh semangat aku keluar dari kamar 809, menuju lift dan turun ke lantai satu, karena resto hotel itu berada di lantai satu. Sengaja aku tak menunggu dulu wanita itu muncul di ambang pintu kamarnya, supaya “gerakan” ini rapi. Tidak terlihat oleh Agus maupun Mbak Tina (teman sekamar Mbak Ida).
Agak lama aku menunggu di resto hotel, wanita itu belum muncul juga. Mungkin merapikan diri dulu di kamarnya. Aku pun baru minta juice melon, belum memesan makanan.
Setelah agak lama menunggu, wanita itu muncul dalam gaun Gaun berwarna hijau mengkilap, dengan belahan di bagian depannya, sehingga setiap melangkah tampaklah betisnya yang putih bersih itu. Gila…anggun sekali tampaknya wanita yang biasa kupanggil Mbak Ida itu. Kenapa baru sekarang kuperhatikan?
Ia menghampiriku dengan senyum manis di bibir sensualnya. “Maaf lama nunggu ya… barusan terima telepon dulu,” katanya setelah duduk di kursi sebelah kursiku.
“Mau makan apa?” tanyaku sambil menyodorkan daftar menu padanya.
“Masih kenyang, tadi kan belum lama makan malam,” sahutnya.
“Saya juga gak lapar-lapar benar. Tapi kepengen makan bareng Mbak Ida. Ayo dong tentukan dulu pilihannya,” kusodorkan lagi daftar menu yang ia letakkan kembali di meja.
“Mmm…spaghetti fisherman aja deh…biar jangan terlalu kenyang.”
“Oke, aku juga mau kompak sama panjenengan. Spaghetti juga…tapi spaghetti bolognese aja. Minumnya apa?”
“Juice strawberry juga boleh.”
“Oke,” aku mengangguk sambil memanggil pelayan. Lalu kusampaikan pesananku padanya.
“Apa yang mau dirundingkan itu Mas?” tanya wanita bernama Ida itu setelah pelayan resto berlalu.
“Nggak ada…cuma pengen ditemani wanita cantik aja….hehehe…” kataku sambil menepuk punggung tangan Ida yang terletak di pinggiran meja makan.
“Iiih…panjenengan ada-ada aja….kirain benar-benar ada yang mau dirundingkan,” cetusnya dengan senyum manis. Oh, senyum itu…gemas aku melihatnya. Kenapa dulu-dulu aku tak pernah memperhatikan semuanya ini? Apakah karena dulu-dulu aku terlalu serius ke masalah bisnis, sehingga aku tak peduli kecantikan rekanku dari Semarang ini?
“Sebenarnya ada yang sangat penting…tapi kusampaikan lewat sms aja ya. Rahasia sih,” kataku sambil mengeluarkan handphoneku. Lalu kuketik kalimat, “Sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini. Tapi baru sekarang akan kusampaikan. Bahwa Mbak Ida menarik sekali di mataku.”
Lalu kukirimkan sms itu. Lucu juga, aku mengirim sms kepada orang yang sedang duduk di sebelahku.
Dengan sorot heran wanita cantik itu membaca sms yang barusan kukirimkan.
“Gombal….” cetusnya sambil tersipu-sipu.
“Harusnya sejak ketemu dengan Mbak, saya harus menyampaikan hal itu. Tapi baru sekarang saya bisa menyampaikannya.”
Wanita itu menatapku sesaat. Lalu tertunduk sambil berkata perlahan, “Saya kan sudah punya suami Mas.”
“Saya juga sudah punya istri,” sahutku, “Biar saja. Emangnya saya gak boleh mengagumi panjenengan?”
Kuperhatikan reaksinya. Ia mengerling dengan gaya manja. Lalu katanya, “Kita urus bisnis dulu Mas.”
“Terus kalau bisnis kita sukses, gimana?” tanyaku sambil memegang pergelangan tangan wanita itu.
“Terserah panjenengan….” sahutnya perlahan.
“Kalau gak sukses gimana? Kan buyer yang menentukan besok.”
“Pokoknya kita urus dulu bisnisnya. Soal sukses nggaknya ya tergantung nasib kita aja.”
Makanan yang kami pesan sudah datang. Dua orang pelayan menata semuanya di meja makan.
“Tapi minimal sudah ada secercah harapan…terima kasih Mbak…hati saya bahagia sekali malam ini,” kataku sebelum muai menyantap spaghettiku.
Lagi-lagi kulihat kerlingan manja itu. Ah…aku seakan kembali ke masa remajaku.
Tadinya aku sepakat bahwa aku akan memikirkan bisnis dulu, yang akan ditentukan besok siang. Tapi ketika aku dan wanita itu berada di dalam lift untuk naik ke lantai delapan, suasana jadi terasa lain, karena hanya kami berdua yang berada di dalam lift itu.
Kertika kupeluk pinggang wanita itu, lalu tampak senyum manis dan tatapan matanya yang bergoyang indah, aku tak kuat bertahan lagi. Kucium bibir wanita itu dengan mesra…kehangatan terasa menjalar ke sekujur tubuhku.
Dan aku merasakan sambutan yang hangat pula. Lumatannya benar-benar membangkitkan. Sehingga ketika lift itu sudah tiba di lantai delapan, kupijat lagi nomor untuk lantai satu.
“Kenapa turun lagi?” tanya Mbak Ida sambil menatapku dengan sorot heran.
“Kita booking kamar lain, supaya teman kita pada nenyak tidurnya,” sahutku sambil mengecup pipi Mbak Ida.
“Emang mau ngapain booking kamar lagi?” tanyanya tidak bernada protes, malah menyandarkan kepalanya di dadaku.
“Pengen pacaran…mumpung masih bersama-sama…”
“Ih, bukannya urus bisnis dulu…”
“Dua-duanya kita urus kan nggak apa-apa. Bisnis kita urus besok. Malam ini kita urus perasaan kita dulu. Deal?” kataku sambil menggelitik pinggangnya. Sebagai jawaban, kuterima cubitan kecil di lenganku.
Tak sulit mendapatkan kamar baru yang kupesan di receptionist. Aku minta kamar di lantai satu saja. Ternyata masih ada kamar yang kosong.
“Nanti kalau teman-teman nyari kita gimana?” tanya Mbak Ida pada waktu bellboy membuka pintu kamar.
“Bilang aja nyari makanan dan atau nemani saya minum bir,” sahutku sambil memberi uang tip buat bellboy yang mengantarkanku ke kamar baru itu, “Atau bilang aja kita jalan-jalan ke rumah saudara…atau ke Ancol…ah…banyaklah alasannya nanti…hehehe…”
“Padahal kita di hotel ini-ini juga…” kata Mbak Ida pada waktu aku menutupkan pintu kamar, lalu sekaligus menguncikannya.
Mbak Ida duluan duduk di sofa, sambil menatapku yang tengah menghampirinya. “Mau ngapain sih bawa saya ke sini?” tanyanya sambil tersenyum.
“Pengen ciumin panjenengan tanpa diburu-buru,” sahutku sambil duduk di sampingnya, lalu mengangkat pinggangnya agar duduk di pangkuanku.
“Tadi di lift kan sudah nyiumin saya.”
“Baru nyium bibir doang,” kataku sambil melingkarkan lengan di pinggangnya.
“Emang mau nyium apa lagi?” ia menatapku dengan senyum yang makin menggoda.
Kujawab dengan gigitan lembut di daun telinganya, disusul dengan bisikan, “Pengen nyiumin semuanya, dari ujung kaki sampai ujung rambut, gak ada yang terlewat….”
“Iiih…kata-katanya merangsang…” cetus wanita itu sambil mencium pipiku. Hangat sekali rasanya ciuman wanita cantik ini.
Pandanganku tertumbuk ke belahan gaun hijau mengkilap itu. Menampakkan sebagian lutut dan paha putih mulusnya. Maka tanganku pun merayap ke situ…ke lututnya sambil berkata, “Bagian ini misalnya, kan belum diciumin….lalu ini juga belum…” tanganku sudah berada di pahanya. Kehangatan makin terasa menjalar ke telapak tanganku.
“Terus mau nyiumin yang mana lagi?” bisiknya diiringi pelukan erat di leherku.
“Semuanya,” sahutku, ”…termasuk yang sekarang masih ditutupi bra dan CD….”
“Mmmm…Mas pandai bikin perempuan jadi horny ih….” kata Mbak Ida sambil memejamakan matanya. Ini seolah signal buatku. Seolah indikator, bahwa ia siap diapakan pun olehku. Maka tanganku yang sudah sampai di pangkal pahanya mulai menyelinap perlahan-lahan ke balik celana dalamnya (yang belum kulihat berwarna apa).
Tanganku mulai menyentuh rambut tebal di antara kedua pangkal paha wanita itu. Lalu tanganku menjelajah terus…mengelus daging yang lunak dan agak membasah. Terasa makin erat pelukan Mbak Ida di leherku. Kulirik wajahnya, masih terpejam. Mungkin malu, mungkin sedang menghayati sentuhanku, entahlah. Yang jelas aku rasakan suhu badan wanita itu makin menghangat. Sementara sikapnya cuma diam pasrah. hanya elahan napasnya yang terdengar seperti tertahan-tahan.
Begitu pula ketika aku mengangkat tubuh pasrahnya dan merebahkannya di atas tempat tidur, Mbak Ida cuma menatapku dengan sorot semakin pasrah. Bahkan seperti yakin pada apa yang akan kulakukan selanjutnya, ia duduk sebentar sambil menanggalkan gaunnya, kemudian menelentang kembali, dalam keadaan tinggal bercelana dalam dan berbeha saja.
Dan aku sempat terlongong sejenak, mengagumi kemulusan tubuh wanita itu. Lalu dengan penuh semangat aku melompat ke atas tempat tidur. Menggumuli tubuh hangat itu dengan gairah yang semakin menggelegak.
“Mas….” hanya itu yang terlontar dari mulut Mbak Ida ketika aku menanggalkan behanya.
“Bukan main indahnya,” kataku sambil mengelus puting payudaranya yang sebelah kiri (karena konon mayoritas wanita lebih peka payudara kirinya daripada yang kanan), “Mbak belum punya anak?”
“Sudah,” sahutnya dengan senyum, “Sudah dua orang…emang kenapa?”
“Payudara Mbak tampak seperti belum pernah menyusui bayi.”
“Emang payudara istrinya seperti apa?”
“Pokoknya tidak sepadat ini,” kataku sambil meremas payudara mulus dan masih kencang ini. Mulutku juga tak mau diam, terkadang menjilati puting payudara yang kecoklatan itu, terkadang menghisapnya seperti bayi sedang menetek.
“Mas…saya jadi horny nich….” desah Mbak Ida sambil menatapku dengan sorot mata berharap, “Saya paling gak tahan kalau tetek saya diemut-emut gini…”
Aku menjawabnya dengan tindakan. Mulutku melorot ke bawah, mencelucupi pusar perut wanita itu, sehingga ia terkejang-kejang, mungkin karena menahan geli. Namun kedua tanganku sudah menurunkan karet celana dalam Mbak Ida yang tipis agak transparant dan berwarna mirip kulitnya yang kuning langsat.
Semua kulakukan dengan perlahan namun pasti. Sehingga mulai tampak bagian di bawah perut wanita ini…mula-mula rambut-rambut keriting yang lebat mulai tampak….lalu belahan kemerahan itu pun tampoak jelas di mataku…wow…bukan main indahnya bentuk vagina wanita yang satu ini. Dan semuanya semakin jelas ketika celana dalamnya sudah kulepaskan dari kakinya, wajahku pun makin mendekatinya, sementara kedua tanganku mulai menguakkan celah vagina itu, sehingga bagian yang berwarna pink pun seolah mengucapkan selamat datang kepada gairahku.
Gairah inilah yang membuatku lupa daratan, sehingga dengan ganas mulai kuciumi vagina yang kemerahan di antara rimbunnya hutan jembut menghitam ini. Lalu dengan lincah lidahku mulai menyelusuri labia mayora dan bagian yang berwarna pink itu….puncaknya berupa jilatan rakus di clitorisnya, terkadang disertai sedotan-sedotan agak kencang…sehingga Mbak Ida mulai merintih-rintih histeris….”Maaas….oooh…maaaasssssssss….aaaaahhhhh…maaaassssss …oughhhhhh….maaaaas……..”
Tubuh seksi itu pun mulai menggeliang-geliut, seperti belut dilemparkan ke darat. Terkadang bahu dan rambutku diremasnya. Dan kepalaku yang berada di bawah perut Mbak Ida jadi kerasan untuk tetap di tempat erotis itu…sementara tanganku mulai rajin meremas-remas buah pinggul yang lumayan besar ini.
Mungkin inilah cunnilingus yang paling mengesankan selama ini. Karena Mbak Ida pun reaktif, dengan menggerak-gerakkan pinggulnya, sehingga vaginanya ikut bergerak-gerak…maka lidahku pun semakin kencang menggesek-gesek clitorisnya….!
Apakah permainanku terlalu efektif atau Mbak Ida pas sedang mood, entahlah. Yang jelas belasan menit kemudian terdengar suara Mbak Ida bernada memohon, seperti meratap dalam hasrat kewanitaannya, “Masukin aja Mas….saya hampir orga Mas….”
Tanpa basa-basi lagi kulepaskan celana panjang dan celana dalamku. Lalu kupegang penisku yang sudah tegang sejak berada di dalam kamar ini. Kuletakkan ujung penisku di celah vagina Mbak Ida. Sementara wanita cantik itu pun membantu memegang penisku, supaya mengarah dengan tepat ke mulut vaginanya.
“Massss…!” terdengar Mbak Ida memekik tertahan, “Punyanya kok panjang gede gini sih? Iiih…Mas ada turunan Arab kali ya?”
Aku cuma menyeringai, karena sedang mendorong penisku ke depan…ke mulut vagina yang sudah basah oleh lendir kewanitaan bercampur dengan air liurku.
“Oooh…Mas….sudah masuk….oooh gede sekali…jangan disekaliin Mas ya….sedikit demi sedikit aja…..”
Kuikuti keinginan wanita itu. Setelah masuk sedikit, kugeser-geserkan penisku maju mundur, sambil berusaha makin dalam membenamkannya. Akhirnya aku merasa sudah berhasil membenamkan penisku sampai mentok di ujung liang kewanitaan Mbak Ida.
Aku pun mulai menyetubuhi Mbak Ida secara telak. Sambil mendekap lehernya yang hangat, kuayun penisku dengan gerakan maju mundur seperti pompa. Rintihan-rintihan histeris pun mulai terdengar di telingaku.
“Duuuh…Mass….ouuughhhh…Massss…ooohhhh…kok enak banget Massss…. ooohhhhh…. jangan cepat-cepat dikeluarin ya Mas….ooooh….saya ingin menikmatinya…saya sudah terlalu lama tidak merasakannya Mas……”
Rintihan-rintihan setengah bisikan itu membuatku makin garang mengayun batang kemaluanku. Ditingkah dengan goyangan pinggul Mbak Ida yang meliuk-liuk erotis, sehingga penisku seperti dibesot-besot, dipilin-pilin oleh liang kewanitaan Mbak Ida…liang yang lebih pas kalau kusebut liang surgawi.
Bibirku pun berkali-kali dipagut dan dilumat oleh bibir Mbak Ida. Aku menyambutnya dengan French Kiss. Kusedot-sedot lidah Mbak Ida, sehingga tanpa terasa ludah kami sudah berpindah-pindah tempat. Dalam keadaan seperti ini tiada lagi rasa jijik maupun ragu. Bahkan terkadang kujilati ketiak Mbak Ida yang harum, mungkin sudah disemprot parfum di kamarnya tadi. Terkadang aku pun menjilati lehernya yang mulai keringatan, bercampur dengan keringatku sendiri. Oh, indah dan nikmatnya semua yang tengah kualami ini. Sehingga andaikan ada bom meletus pun aku takkan peduli lagi.
Namun beberapa saat kemudian Mbak Ida berbisik terengah, “Saya sudah mau keluar Mas…oooh…Mas…peluk saya erat-erat Mas….ini saa…saya ke…keluarrrrrrrrrrrrr….”
Mbak Ida menggelepar. Liang kemaluannya terasa berdenyut-denyut di puncak orgasmenya. Nikmat sekali rasanya. Kubiarkan Mbak Ida menikmati masa orgasmenya. Bahkan dengan hangat kucium bibirnya, yang dibalas dengan lumatan mesra.
Lalu kudengar bisikannya, “Belum pernah saya rasakan yang sepuas ini Mas….”
Aku cuma tersenyum mendengarnya. Lalu kulanjutkan gerakan penisku, kembali memompa liang vagina Mbak Ida yang sudah becek namun tidak mengurangi kenikmatanku. Bahkan aku bisa mengenjotnya dengan gerakan cepat, lancar-lancar saja, tanpa takut menyakitinya.
Namun meski sedang nikmat-nkmatnya menggasak liang vagina Mbak Ida, aku masih sempat membisikinya, “Lepasin di dalam gakpapa?”
“Iya…” sahutnya lirih, “Saya ingin merasakan enaknya disembur sama Mas di dalam vegy saya….”
Apakah Mbak Ida sudah dekat menstruasi atau memang sudah ikut KB, entahlah. Yang jelas, biasanya wanita dalam hubungan gelap seperti ini takut sekali jika pasangan seksnya ejakulasi di dalam, karena takut hamil. Tapi Mbak Ida seperti tidak mencemaskan hal itu. Maka tenang saja aku mengayun penisku tanpa harus waspada dan cepat-cepat mencabutnya kalau sudah memprediksi akan ejakulasi.
Lucunya, dalam keadaan senikmat itu, aku masih sempat memikirkan bisnis. Sempat bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah besok bisnisku akan sukses atau tidak?”
Pikiran seperti itu justru memecahkan konsentrasiku pada kehangatan dan kenikmatan yang sedang kureguk dari tubuh mulus Mbak Id. Akibatnya, lebih dari sejam aku menyetubuhi Mbak Ida, tanpa merasa akan ejakulasi. Padahal keringatku sudah bercucuran, bergalau dengan keringat wanita itu.
Dan setahuku Mbak Ida sudah tiga kali orgasme. Tapi aku tetap asyik memompakan penisku di dalam liang surgawi Mbak Ida. Bibir dan liddahku jugatiada hentinya mencelucup dan menjilat-jilat di setiap bagian tubuh Mbak Ida yang terjangkau oleh mulutku. Sementara kedua tanganku tak mau diam juga. Meremas-remas di sana sini. Hal ini membuat Mbak Ida makin merem melek, mungkin sangat menikmati aksi seksualku.
Sampai pada suatu saat, ketika aku merasa akan ejakulasi, kubisiki telinga wanita cantik itu, “Saya sudah mau keluar Mbak…sambut ya Mbak….”
“Iya Mas….” sahut Mbak Ida sambil meliuk-liukkan pinggulnya dengan gerakan yang sangat erotis. Aku sendiri mengayun batang kemaluanku dengan gerakan yang makin cepat…makin cepat….lalu kutancap….kubenamkan sekuat mungkin…..napasku tertahan…dan…oooh….air maniku berhamburan dari penisku, membanjiri liang vagina Mbak Ida. begitu banyaknya, sampai terasa meleleh ke luar…menetes ke seprai putih bersih itu.
Mbak Ida memagut bibirku mesra. Lalu terdengar bisikannya, “Mas perkasa banget….baru sekali ini saya merasakan yang begini memuaskan…gak nyangka malam ini saya akan mendapatkannya dari Mas…”
“Sama sayang.” sahutku, “Saya juga merasa puas banget…duuuh…keringat kita sampai banjir begini ya?”
Kucabut penisku dari jepitan liang kewanitaan Mbak Ida. Benar-benar tampak air maniku meleleh dari vagina Mbak Ida.
“Kita kembali ke kamar masing-masing ya Mas,” kata Mbak Ida sambil turun dari tempat tidur, “Takut teman-teman kita nyariin…takut timbul gosip pula sepulangnya saya ke Semarang nanti…”
“Padahal saya masih ingin melanjutkan ke ronde kedua,” sahutku sambil memeluk pinggang Mbak Ida yang masih telanjang bulat.
Mbak Ida mengecup bibirku, lalu berkata, “Besok kan masih ada waktu Mas. Kalau bisnis kita sukses, biarin aja teman kita pada pulang. Kita lakukan lagi apa pun yang Mas mau. Saya sudah telanjur dimiliki sama Mas…”
Aku tersenyum bahagia. Memang bahagia hatiku karena bisa mendapatkan kehangatan dari tubuh wanita secantik Mbak Ida.
Sudah lewat tengah malam ketika kami kembali ke kamar masing-masing. Dengan kenangan indah akan apa yang baru saja kami nikmati di kamar lantai satu itu.
Setelah wanita berjilbab bernama Ivy itu, aku mendapatkan kenikmatan dari wanita cantik bernama Ida Farida itu. Siapa lagi wanita yang akan singgah dalam petualanganku?
Aku tersenyum sendiri. Lalu tertidur dengan nyenyaknya. Dengan batin puas. Sangat puas.
Tapi…kisah ini bukan kisah terakhir. Entahlah aku ditakdirkan seperti ini. Bahwa di dalam perjalanan bisnisku, ada saja wanita yang berhasil kurenggut seperti dalam episode berikutnya.
Episode 3
Tadinya aku tak pernah memperhatikan cewek bernama Mona itu. Menurut pengakuannya, ia sudah berumur 32 tahun. Tapi mungkin sebenarnya lebih dari itu, karena perempuan banyak yang suka menyembunyikan usia yang sebenarnya. Terlebih status Mona itu belum pernah menikah. Soal masih perawan atau tidaknya, entahlah.
Mona memang bukan sosok yang menarik. Bentuk tubuh dan wajahnya biasa-biasa saja. Sikapnya pun terlalu pendiam dan serius, sehingga di dalam link bisnisku tak pernah ada yang berusaha mendekatinya lebih daripada teman bisnis.
Maka ketika aku menerima telepon darinya pada suatu hari, aku yakin ada masalah penting yang akan disampaikan:
“Mas…pabrik yang bangkrut itu memang mau dijual. Lumayan besinya lebih dari seribu ton. Apa mau diolah?” tanya Mona di telepon.
“Beneran lebih dari seribu ton?” aku balik bertanya dengan nada kurang percaya.
“Bener Mas. Tapi supaya gak sangsi mending timbang bayar aja, sesuai dengan barang yang kita dapatkan.”
“Kita survey aja dulu. Lokasinya kan jauh juga dari sini ya?”
“Yaaa….kurang lebih seratuslimapuluh kilometer Mas. Kalau mau disurvey harus secepatnya. Takut keburu tercium sama bandar-bandar besi. Mas kan sudah punya buyer ya?”
“Iya. Kapan kita survey?”
“Lebih cepat lebih baik. Sebaiknya sekarang juga kita ke sana Mas.”
“Mbak Mona mau ikut di mobil saya kan?”
“Ya iyalah. Saya kan cuma punya motor Mas. Masa ke sana pakai motor.”
“Oke deh. Mau dijemput dimana?”
“Di depan SMA dua-dua aja. Mas kan belum tau rumah kost saya, masuk ke dalam gang, bisa nyasar nanti.”
“Oke. Sejam lagi saya jemput di depan SMA itu.”
“Baik Mas. Thank you.”
Aku bergegas ke depan garasi. Herman, sopirku sedang mengelap kaaca mobilku dengan kanebo. “Her…kita ke luar kota sekarang,” kataku
“Siap Pak !” sahut sopirku.
Aku bergegas ke kamar mandi, lalu cepat-cepat mandi.
Waktu keluar dari kamar mandi, kulihat istriku sedang nonton televisi sambil rebahan di sofa panjang kamar tidurku. “Aku mau ke luar kota, sayang,” kataku sambil mengecup kening istriku.
“Ke luar kota ke mana?” tanya istriku.
Kusebutkan nama kota itu. Lalu kataku, “Doakan aku sukses ya. Kalau sukses, untungnya bisa beli mobil baru yang jauh lebih keren.”
“Iya, pasti aku doakan Bang. Mau nginep di sana?”
“Lihat-lihat situasinya nanti. Kalau deal, pasti aku nginep. Nunggu sampai big boss datang.”
“Kalau nginep berarti sukses ya Bang?”
“Kira-kira begitulah.”
“Bawa pakaian buat ganti di sana dong.”
“Iya, tolong masukin dua setel aja ke tasku, sayang.”
Tak lama kemudian aku sudah duduk di jok belakang mobilku yang dikemudikan oleh Herman dan sudah jauh meninggalkan rumahku.
“Yang mau dijemput siapa Pak?” tanya Herman ketika lampu merah menghentikan mobilku.
“Mbak Mona. Kamu sudah tau dia kan?”
“O, yang perawan tua itu Pak?”
“Hush ! Jangan pakai julukan perawan tua lah. Nanti kalau kedengaran orangnya gak enak.”
Herman terdiam. Dia memang kubebaskan bergaul dengan teman-temanku. Bahkan sesekali dia suka ikutan menawar-nawarkan barang kepada teman-temanku. Jadi tak aneh kalau dia tahu banyak mengenai orang-orang yang kukenal.
“Tapi Mbak Mona itu beneran masih perawan atau statusnya aja yang masih gadis, Pak?” tanya Herman lagi.
“Wah, mana kutahu perawan gaknya sih,” sahutku dingin.
“Test aja Pak. Cewek nganggur gitu, pasti ada hasrat pengen dilibas sama lelaki. Hahahaa…”
“Gila kamu Her ! Kamu aja yang libas dia gih.”
“Wah, sama saya mana mau Pak? Saya kan cuma sopir. Ohya Pak…kalau jam segini baru berangkat, bisa malam tibanya di lokasi nanti. Emang mau langsung pulang lagi?”
“Kita lihat-lihat aja nanti. Di kota yang terdekat dengan lokasi kan pasti ada hotel. Kalau perlu nginap, ya nginap aja di hotel.”
Tak lama kemudian kami tiba di depan SMA yang dijanjikan. Gadis bernama Mona itu tampak sudah berdiri di trotoar, mengenakan celana panjang berwarna coklat tua, dengan kaus kuning muda, sambil menjinjing sebuah tas.
Herman turun dan membukakan pintu belakang kiri. Mona masuk ke dalam dan duduk di sisiku.
“Bawa pakaian ganti?” tanyaku.
“Cuma bawa buat tidur, Mas. Soalnya ada kemungkinan harus nginap nanti ya?”
“Iya. Gak apa-apa kalau harus nginap kan?” tanyaku.
“Gak apa-apa. Saya sudah minta izin sama ibu kost tadi.”
Tak lama kemudian Herman sudah meluncurkan lagi mobilku. Perjalanan yang kami tempuh cukup lama. Jam sembilan malam kami baru tiba di kota terdekat dengan lokasi pabrik yang mau disurvey itu.
“Bagaimana nih? Kayaknya kita harus istirahat dulu, besok pagi saja kita surveynya ya?” kataku sambil menepuk lutut Mona yang bercelana panjang corduroy coklat tua itu.
“Iya, bagaimana baiknya saja Mas,” sahut Mona sambil merapikan rambutnya.
“Cari hotel aja Her,” perintahku pada sopirku.
“Siap Pak. Tapi…setahu saya di kota ini hanya ada satu hotel.”
“Ya…yang penting bisa dipakai istirahat aja, jangan sampai harus tidur di mobil.”
Herman membelokkan mobil ke jalan yang tidak kukenal. Dan akhirnya berhenti di pekarangan sebuah hotel kecil, tapi pekarangannya cukup luas.
“Ini satu-satunya hotel di kota ini Pak,” kata Herman sambil mematikan mesin mobil.
“Iya,” sahutku sambil membuka pintu mobil di samping kananku, “yang penting bisa istirahat aja.”
Aku langsung menuju ruang resepsionis. Menanyakan apakah masih ada kamar kosong. Dan jawabannya membuatku kecewa, “Kamar tinggal satu Pak,” kata resepsionis, “Tapi lumayan besar kamarnya, dengan dua tempat tidur luas.”
Aku tercenung sesaat. Balik lagi ke mobilku yang diparkir di pekarangan hotel kecil ini. “Kamarnya tinggal satu dengan dua tempat tidur,” kataku pada Mona.
“Saya sih gak usah dipikirin Pak,” Herman nyeletuk, “saya tidur di mobil aja.”
“Gimana?” tanyaku sambil memandang Mona lagi.
“Gimana baiknya aja Mas,” sahut gadis 32 tahunan itu.
“Ya udah kalau gitu, kita sekamar kan gak apa-apa ya?”
Mona mengangguk perlahan. Lalu kusuruh Herman mengeluarkan tasku dari bagasi.
Kamar itu bernomor 29. Kulihat hotel ini hanya memiliki 40 kamar. Tapi di dalamnya lumayan bagus. Pakai AC dan shower air panas. Itu sudah cukup bagiku.
Mona pun masuk ke dalam kamar. Meletakkan tasnya dan mengamati keadaan di sekeliling kamar itu. Herman sudah keluar lagi.
“Kasian juga sopirnya Mas. Dia akan tidur di mobil ya?” kata Mona sambil membuka tasnya.
“Emang udah biasa dia tidur di mobil, tapi sebentar….mau ngasih duit rokok dulu, Mbak.”
“Ah, panggil Mona aja Mas. Gak usah pake mbak-mbakan,” kata Mona sambil mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya.
“Oke,” kataku sambil tersenyum. Lalu keluar dari kamar dan menghampiri Herman. Ternyata dia sedang nonton tv di lobby. Kuberikan uang alakadarnya sambil berkata, “Nih buat makan dan rokok.”
“Makasih Pak,” Herman tampak girang mendapatkan uang jajan itu, “Pak…kesempatan tuh…”
“Kesempatan apa?” tanyaku dengan kernyitan.
Setengah berbisik Herman menyahut, “Mbak Mona itu…libas aja Pak. Mumpung ada kesempatan.”
“Gila kamu ah ! Macem-macem aja,” kataku sambil mengacungkan kepalan tangan ke depan wajah sopirku.
Herman memang sering lancang dan lupa tatakrama. Dia juga sok akrab kalau berhadapan dengan teman-temanku, sehingga ia lupa bahwa ia cuma seorang sopir. Tapi yang kusukai dari pribadinya, dia tak pernah mengeluh capek, meski harus nyetir 24 jam tanpa istirahat.
Aku masuk lagi ke dalam kamar 29. Kulihat Mona sudah mengenakan kimono sutra berwarna biru langit dengan corak berwarna biru tua. Dia memang tidak cantik. Tapi setelah kuperhatikan, kulitnya putih bersih.
“Gak nyangka kita bakal tidur sekamar ya,” kataku sambil menatapnya dengan sikap menggoda.
“Iya, tapi bednya kan misah.”
“Kalau saya ngelindur, lalu pindah ke bed Mona nanti gimana?”
“Mmm…gimana ya? Kalau sekadar tidur sih gakpapa juga, Mas,” sahutnya dengan senyum.
“Sini dong ngobrolnya,” kataku sambil menepuk kasur di kiriku, “Mumpung lagi santai, kita bisa ngobrol banyak.”
“Ngobrol apa Mas?” Mona menghampiriku dan duduk di sebelah kiriku, di pinggiran tempat tidur.
“Mona udah punya pengalaman dengan lelaki?” tanyaku sambil memegang pergelangan tangannya.
“Maksud Mas?” Mona menatapku dengan sorot bingung.
“Soal seks….udah ada pengalaman?”
Mona menggeleng dengan sorot sedih, “Soal itu sih saya masih nol besar Mas.”
“Masa sih?”
“Berani sumpah….saya belum pernah.”
“Zaman sekarang kan anak SMA juga udah banyak yang pernah mengalaminya.”
“Tapi saya tidak seperti mereka Mas. Lagian siapa yang mau kepada saya yang jelek gini.”
“Emang belum pernah pacaran?”
“Waktu masih kuliah pernah juga ada cowok mendekati saya. Tapi ya gitu deh…belok ke cewek yang jauh lebih cantik dari saya.”
“Wah…padahal kulit Mona putih bersih gini….” kataku sambil mengelus lutut Mona yang muncul dari belahan kimononya.
Kutunggu reaksinya. Dia diam saja. Dan aku makin ingin tahu. Tanyaku, “Pernah membayangkan indahnya berhubungan seks?”
“Ya…sering juga Mas. Tapi saya kan perempuan. Gak bisa aktif seperti laki-laki.”
Aku rayapkan tanganku ke pahanya. Terasa hangat. Tanyaku lagi, “Kalau diraba-raba gini bagaimana rasanya?”
“Mmm…degdegan, Mas.”
“Kita bikin kisah indah di antara kita yok….” kataku sambil memeluk pinggangnya, lalu kudekatkan bibirku ke bibirnya.
Mona malah memejamkan matanya. Ini kuanggap bahwa ia siap mengikuti keinginanku, tapi masih malu mengatakannya secara lisan. Maka aku pun tak banyak basa-basi lagi. Kupagut bibirnya dengan hasrat biologisku yang mulai berdesir-desir.
Mona diam saja. Tidak bereaksi pada waktu bibirnya mulai kulumat. Waktu tanganku merayap ke dalam belahan kimononya pun, dia tidak bereaksi. Dan aku senang sekali ketika langsung menyentuh payudaranya yang berukuran sedang-sedang saja.
Mona mulai bereaksi. Ia memelukku erat-erat ketika tanganku mulai mempermainkan pentil payudaranya. Dan aku mulai tak sabaran lagi. Kulepaskan ikatan tali kimononya, lalu kudorong dadanya agar rebah terlentang. Ia benar-benar pasrah. Kubuka belahan kimononya, sehingga sepasang payudaranya mulai tampak di depan mataku. Ketika pandanganku menurun ke bawah, kusaksikan tubuh berkulit putih bersih. Tidak mengecewakan. Kenapa pula tubuh seindah ini tidak pernah menarik perhatian kaumku?
Aku semakin jauh melangkah. Kucelucupi pentil payudara Mona, sementara tanganku mulai merayapi pusar perutnya….menurun dan menyelinap ke lingkarat karet celana dalamnya. Wow, kusentuh gundukan rambut keriting yang lebat sekali. Mungkin ia tak pernah mencukur jembutnya.
Ketika jemariku mulai mengelus2 belahan vagina yang masih tertutup celana dalam itu, sementara mulutku makin ganas menjilati dan menyedot-nyedot pentil teteknya, tubuh Mona terasa semakin menghangat. Tangannya pun mulai meremas-remas bahuku, sementara napasnya tertahan-tahan.
Tapi aku mulai menurunkan kepalaku. Bibir dan lidahku mulai mencelucupi pusar perutnya. Mona hanya bisa mengeus-elus rambutku. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Dan mulutku menurun terus, sementara kedua tanganku menurunkan celana dalam gadis berkulit putih bersih ini.
“Mas….” terdengar suara Mona seperti protes ketika celana dalamnya sudah kulemparkan ke dekat bantal.
“Kenapa?” tanyaku sambil menatapnya.
“Malu…” sahutnya.
“Gak usah malu-malu,” sahutku sambil menanggalkan celana panjang dan celana dalamku, “Tuh lihat….aku juga gak malu kan?” kupegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng sekali ini. Kudekatkan ke tangannya. Tapi ia tak berani menyentuhnya. Lalu matanya tampak terpejam lagi.
“Mona mau kan merasakan enaknya bersetubuh?” tanyaku sambil memegang ergelangan tangannya.
“Emang Mas mau?” ia menatapku dengan sorot malu-malu.
“Mau banget,” kataku, “tapi kalau Mona benar-benar masih perawan, semuanya harus dilakukan dengan sama-sama ikhlas.”
“Saya memang masih perawan Mas. Silakan aja buktikan…”
“Mona rela kalau perawannya saya ambil?”
“Terserah Mas…soalnya jujur aja….saya juga ingin….” kata-katanya terputus begitu saja. Tapi aku sudah mengerti maksudnya. Dan menurutku, ucapannya itu sudah merupakan pengakuan yang luar biasa. Bahwa ia ingin merasakan digauli oleh lelaki.
Setelah melepaskan baju kaus, aku jadi telanjang bulat juga, seperti yang sudah terjadi pada Mona.
Ketika wajahku berada di depan kemaluannya yang berbulu lebat itu, terdengar suaranya, “Mas…mau ngapain? Saya malu dong punya saya dipelototin gitu.”
“Sttt…diam aja ya….saya ingin membuktikan virginitasmu…hmmm…memang masih perawan, Mon,” sahutku sambil mengangakan mulut vagina gadis itu. Memang kulihat hymennya masih utuh. Berarti kemaluan gadis ini belum pernah diapa-apain.
Ini sesuatu yang langka di zaman sekarang. Bahwa gadis berusia 32 tahun masih benar-benar perawan.
Maka tanpa basa basi lagi, kuserudukkan mulutku ke vagina yang masih virgin itu. Kuciumi beberapa kali. Lalu kujilati labia mayoranya (bibir besar kemaluan wanita).
“Duuuh…Mas…ini diapain? Iiih…Mas gak jijik? Iiiih….Mas…..oooh….Mas….” Mona menggeliat-geliat dengan tangan mengepak-ngepak ke kasur. Terlebih lagi setelah aku memusatkan jilatan dan isapanku ke bagian clitorisnya. Semakin menggeliat-geliat mona dibuatnya. Bahkan lalu terdengar suara histerisnya, “Duuuh…Mas…ini enak sekali…tapi…oooh…Mas…..oooh…iya…geli tapi enak Mas…..oooh…hsssshhhh…..”
Diam-diam kukeluarkan air liurku sebanyak mungkin, supaya liang kemaluan Mona jadi becek, karena untuk pertama kalinya akan ditembus oleh batang kemaluan lelaki….batang kemaluanku. Cukup lama aku melakukan cunnilingus (lelaki ngemut kemaluan wanita). Sehingga rintihan-rintihan histeris Mona makin menjadi-jadi. Apakah ia sempat mengalami orgasme waktu kemaluannya kujilati ini, entahlah. Sulit memastikannya, karena ia benar-benar pemula.
Setelah Mona kuanggap siap untuk melakukan persetubuhan yang sebenarnya, kurentangkan sepasang kakinya selebar-lebarnya, lalu aku naik ke atas perutnya, sambil berkata, “Sekarang mulai penetrasi ya….”
Lalu kutempelkan puncak penisku di mulut kemaluan Mona yang sudah basah kuyup oleh air liurku, “Yang pertama pasti agak sakit….tahan ya Mon…”
“Iya,” sahutnya lirih, “tapi ajarin ya Mas….saya kan masih bodoh banget dalam soal ini…”
Aku mulai mendesakkan batang kemaluanku agak kuat…makin kuat…makin kuat…terasa sudah membenam sedikit….kudorong terus…terasa sempit sekali, padahal sudah kubikin basah tadi dengan air liurku…tapi dengan pengalamanku yang sudah cukup banyak, aku berhasil melakukannya….kuenjot sedikit demi sedikit, sambil berusaha agar penisku semakin jauh membenam di liang kemaluan Mona.
Aku pun merapatkan dadaku ke dada Mona. Memeluk lehernya sambil melumat bibirnya. sementara penisku makin lama makin lancar maju-mundur dalam jepitan liang kemaluan Mona yang masih sangat sempit ini.
“Memek perawan…bukan main enaknya….” kataku sambil menjilati leher Mona.
“Masa sih?”
“Beneran. Mona sendiri gimana? Enak kan?”
“Iya Mas…enak banget…duuuh….rasanya kayak gini ya….denyutnya sampai ke lutut-lutut…tapi…Mas…..Mas….seperti ada yang mau keluar……”
“Nikmati aja…mungkin itu pertanda mau orgasme….”
“Maaas….” Mona meremas-remas bahuku sambil memejamkan matanya. Liang kemaluannya terasa berdenyut-denyut…lalu terasa jadi banyak lendir hangat. Berarti dia sudah mengalami orgasme.
Mona baru sekali ini mengalami persetubuhan. Mungkin liang kemaluannya akan terasa sakit kalau aku berlama-lama menyetubuhinya. Maka aku pun mempercepat gerakan penisku, dengan tujuan ingin cepat-cepat ejakulasi, supaya Mona tak tersiksa dibuatnya.
Dan ketika aku merasa sudah mau ejakulasi, cepat kucabut penisku dari liang kemaluan Mona. Dan sambil memegang penisku yang kuarahkan ke atas perut Mona, kurasakan penisku mengejut-ngejut sambil memuncratkan air maniku….crooot….crrooot…croooot….crooot….
Meski merasa lemas, aku turun dari tempat tidur. Kuambil handuk putih yang disediakan hotel untuk menyeka air mani yang menggenangi perut Mona. Dan ketika melirik ke arah seprai., kulihat ada genangan darah di situ. Hmmm…darah perawan Mona.
“Mona benar-benar masih perawan…terimakasih ya….aku jadi sayang sama Mona….” kataku sambil menciumi pipinya.
Mona cuma tersenyum, lalu menyahut lirih, “Ntar kalau kepengen lagi gimana?”
“Gampang. Tinggal bbm aja….nanti namamu akan kureset jadi nama cowok.”
“Supaya istri Mas jangan curiga?”
“Iya. Kalau Mona kangen, bbmin aja aku…bunyi bbmnya…pak barang itu harus disurvey, kapan bapak bisa ke sana?”
“Lalu?”
“Setelah di luar rumah, aku akan nelepon dan janjian ketemu di hotel mana, gitu.”
“Iya Mas.”
“Paling juga dalam tiga hari lagi Mona bakal kepengen lagi.”
“Kenapa bisa dipastikan begitu?”
“Kan lukanya dalam tiga hari akan sembuh. Kalau luka mengering kan suka gatal. Nah…saat itulah Mona akan merasa pengen digesek….heheheee….”
“Mas…” Mona mendekatkan bibirnya ke bibirku, “minta kiss dong…yang mesra…”
Aku terlongong sesaat. Kasihan juga Mona ini. Ia telah menyerahkan sesuatu yang paling berharga di dalam dirinya padaku. Dan aku tak boleh menyepelekan hal itu. Minimal aku harus memperlakukannya dengan penuh kasih sayang.
Maka dengan hangat kupeluk tubuhnya, dengan lembut kukecup bibirnya dan kulanjut dengan lumatan mesra dan hangat.
Tapi karena kami masih sama-sama telanjang, saling peluk begini membuat kemaluan kami bersentuhan terus. Penisku pun menegang lagi dibuatnya. Maka bisikku, “Mau lagi?”
Mona menatapku dengan sorot pasrah, “Terserah Mas…” sahutnya.
Maka kugumuli gadis yang barusan kuperawani itu dengan sepenuh gairahku. Mona pun mulai pandai membalas gumulanku, dengan melumat bibirku sambil memegang batang kemaluanku dan terkadang meremasnya pelan-pelan.
Ketika aku masih saling lumat dengan Mona, diam-diam kumasukkan lagi batang kemaluanku ke dalam liang surgawinya.
Tidak terlalu sulit membenamkan senjata pusakaku, karena liang vagina Mona masih berlendir. Tapi enaknya kemaluan yang baru saja kuperawani, memang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Masih sangat menjepit, sehinggga terasa sekali nikmatnya waktu aku mulai mengayun batang kemaluanku, maju-mundur dan maju mundur….
Mona pun tampak menikmatinya. Terlebih setelah aku mengenjotnya sambil mengulum dan menjilati pentil teteknya, mata Mona jadi merem melek dibuatnya.
“Mas…oooh…kok enak sekali Massss…..ooooh…..”
Mendengar rintihan dan desahan erotis Mona, aku jadi makin bergairah mengenjot penisku. Sehingga Mona semakin merem melek, sementara kedua tangannya sering meremas-remas kain seprai, terkadang juga meremas-remas rambutku sambil menahan-nahan napasnya.
Beberapa saat kemudian kurasakan sekujur tubuh Mona menggeliat….mengejang….disusul dengan hembusan nafas panjangnya… …..aaaaaaahhhh….dan aku merasakan liang kewanitaannya berkedut-kedut. Disusul dengan membasahnya lubang yang tengah kunikmati ini….sehingga terasa menjadi hangat sekali…terasa tidak terlalu sempit lagi…..
Dan aku tahu apa yang sedang terjadi…….
Episode 4
Di dalam dunia bisnisku, ada rekan yang kuanggap sebagai sahabat terdekatku. Edo namanya (maaf, bukan nama sebenarnya). Tapi ia seperti rekan-rekan yang lain, Edo pun selalu memanggilku Boss. Entah kenapa orang-orang di kelompokku selalu memanggilku boss. Padahal rekan-rekan semuanya kuanggap sejajar denganku, tidak ada yang atasan dan tidak ada yang bawahan. Tapi mungkin karena aku selalu berusaha murah hati, mereka lalu menganggapku sebagai boss. Dalam setiap perjalanan jarak jauh, misalnya, aku tak pernah berhitung-hitung untuk memakai mobilku berikut masalah bensinnya selalu aku yang menanggungnya. Meski urusan bisnis belum clear, aku tak pernah pelit untuk mentraktir makan kepada siapa pun yang sedang bersamaku. Apalagi soal rokok, aku tak pernah pelit-pelit.
Yah, maklumlah di antara rekan-rekan bisnisku tidak banyak yang sudah lumayan mapan seperti aku. Kebanyakan justru masih payah hidupnya, sehingga banyak yang mati-matian mencari informasi untuk target bisnis kelompokku. Sementara aku lebih banyak duduk manis, sambil menunggu informasi baru dari rekan-rekanku.
Kalau aku dianggap “number one” di dalam kelompok bisnisku, maka mungkin yang bisa dianggap “number two” adalah Edo itu. Karena rumahnya selalu dijadikan tempat kumpul-kumpul kelompok bisnisku, sehingga rumahnya sering mendapat julukan basecamp bagi kelompokku.
Edo memang pantas mendapat gelar orang kedua setelah aku. Karena selain pintu rumahnya selalu terbuka untuk rekan-rekan lain, ia juga tak pernah pelit-pelit untuk menyuguhi makanan-minuman kepada siapa pun yang sedang berkumpul di rumahnya.
Usia Edo boleh disebut sebaya denganku, sama-sama 30an lebih sedikit, begitu. Kami juga sama-sama sudah punya anak yang masih kecil.
Di antara kelompok bisnisku, Edo dan aku boleh disebut yang paling muda. Karena rekan-rekan yang lain rata-rata usianya di atas 40 tahun. Bahkan ada yang sudah 60 tahun lebih, tapi masih giat mencari duit dan bergabung dengan kelompokku.
Pada suatu hari, seperti biasa aku mendatangi rumah Edo untuk kumpul-kumpul sambil mencari-cari info bisnis. Tapi hari itu rumah Edo terasa sepi, belum ada rekan lain yang datang. Aku dan tuan rumah duduk di teras depan, yang biasa dijadikan tempat ngobrol. Kalau ada yang serius, barulah tamunya dipersilakan masuk ke dalam.
Setelah ngobrol ke barat ke timur, akhirnya Edo menanyakan sesuatu yang di luar masalah bisnis, “Boss….kelihatannya Mona itu udah dapet ya sama Boss?”
Aku terhenyak, sedikit kaget, karena tadinya kupikir tiada orang lain yang tahu masalah yang satu itu. Tapi sebagai seorang lelaki, yang terkadang bangga dalam “prestasi mendapatkan cewek”, aku malah mengiyakannya.
Kataku, “Abis…teman-teman lain gak ada yang minat, ya kumanfaatkan aja.”
“Boss kan selalu paling cepat mendapatkan cewek. Yang dari Malang itu juga tau-tau udah jadi milik Boss aja,” kata Edo sambil tersenyum, “Ngomong-ngomong, waktu pertama Boss embat, dia masih perawan?”
“Iya,” aku mengangguk, “kasihan kan umur segitu belum pernah merasakan lelaki.”
“Padahal kulitnya putih bersih gitu ya Boss.”
“Iya…putih dan mulus banget.”
“Wajahnya juga gak jelek. Tapi penampilannya terlalu judes, makanya cowok-cowok jadi males mendekati dia.”
“Iya. Sebenarnya dia itu lugu. Bukan dingin atau judes.”
“Terus…Boss mau serius sama dia?”
“Serius?”
“Iya. Maksudnya…Boss mau nikahin dia?”
“Gak lah. Aku kan udah punya istri.”
“Nah…kalau takkan menjurus ke hubungan resmi kenapa gak sharing sama saya Boss?”
Aku agak kaget mendengar “usul” sahabatku itu. Memang aku sudah banyak membaca pengalaman orang-orang, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tentang swinger, threesome, gangbang dan sebangsanya. Tapi saat itu aku belum pernah melakukannya. Maka aku menjawab, “Ya berjuang aja sendiri. Siapa tau dia mau.”
“Bukan gitu Boss. Maksudnya…kita bikin acara bertiga…biar seru. Tentu harus Boss yang memfasilitasi dan membujuknya dulu supaya mau.”
Aku tercenung. Usul Edo cukup menarik. Tapi apakah Mona takkan menolak? Lalu bagaimana caranya supaya dia mau dithreesome?
“Boss,” kata Edo lagi ketika aku masih tercenung, “Hari Minggu kita kan mau eksekusi pabrik bangkrut yang di Bogor itu.”
“Terus?” aku memandang sahabatku.
“Kita ajak aja Mona,” sahut Edo, “Dia kan teliti sekali kalau soal hitung menghitung. Kita terjunkan saja dia ke lapangan, sementara kita cukup hadir saja.”
“Pembongkaran pabrik itu takkan cukup seminggu.”
“Justru itu….kita nginep di hotel…lalu siangnya kita bekerja di lokasi, malamnya nginep di hotel.”
“Hahahaa….sampeyan ini ada aja akalnya Do. Oke….nanti Mona kuajak. Mudah-mudahan aja dia lagi bersih pada waktunya.”
“Maksud Boss bersih gimana?”
“Ya bersihlah, gak sedang datang bulan. Kalau lagi menstruasi kan gak bisa diapa-apain.”
“Oh…iya…iyaaa….”
Pintu depan terbuka. Raisha (istri Edo) muncul, dengan dua cangkir kopi mengepul dan sepiring kue lapis legit di atas bakinya. Spontan kuhentikan pembicaraan mengenai Mona itu.
“Wah, kalau bertamu ke sini selalu merepotkan ya?” kataku ketika Raisha meletakkan cangkir-cangkir kopi dan piring kristal dengan kue lapis legitnya di atas meja kecil.
“Aaah…seadanya aja Pak,” sahut Raisha sambil tersenyum, Silakan diminum…”
“Iya,” aku mengangguk, “terimakasih.”
Ketika istri Edo masuk lagi ke dalam, hpku bergetar. Ada BBM. Cepat kubuka. Ternyata dari Mona. Isinya, ” Pak, barang itu harus disurvey, kapan bapak bisa ke sana?”
Itu kode yang kuanjurkan kalau ia merasa kangen padaku. Karena ada Edo, aku balas dengan bbm lagi, “Nanti jam 4 sore standby di tempat yang tempo hari ya.”
“Oke.”
Tak lama kemudian rekan-rekanku berdatangan satu persatu. Lalu kami tenggelam dalam pembahasan bisnis.
Jam 15.30 aku pamitan kepada rekan-rekanku. Edo mengantarkanku sampai di mobil yang kuparkir di depan rumahnya. Setengah berbisik ia bertanya, “Gimana Boss acara kita hari Minggu? Sudah pasti?”
“Sekarang kan baru Senin. Harus tau dulu jadwal menstruasinya. Kepastiannya mungkin besok. Oke?” sahutku perlahan juga, sambil menepuk bahu Edo.
“Oke Boss,” Edo mengangguk-angguk dengan sorot ceria.
Belasan menit kemudian mobilku sudah kuparkir di depan sebuah rumah makan kecil. Inilah tempat yang sudah kujanjikan dengan Mona. Waktu melangkah masuk ke dalam rumah makan itu, pandanganku mencari-cari ke setiap sudut rumah makan. Mona belum datang. Langsung saja kupesan makanan, karena kebetulan perutku lapar juga.
Setelah kuhabiskan makanan yang kupesan, barulah Mona muncul. Dalam gaun terusan berwarna krem. Wow…ternyata kalau berdandan, Mona itu tampak manis juga.
“Udah lama menunggu?” tanyanya sambil duduk di kursi yang bersebrangan denganku.
“Lama sih gak, seperempat jaman gitu lah. Makan dulu ya.”
“Masih kenyang, tadi makan dulu sebelum pergi ke sini.”
Beberapa saat kemudian aku sudah di belakang setir mobilku bersama Mona yang duduk di sampingku.
“Mona kalau berdandan kelihatan manisnya,” kataku sambil merayapkan tangan kiriku ke lutut gadis itu.
“Ah…Mas bisa gombal juga ya.”
“Beneran, itu bukan gombal. Ohya…kira-kira hari Minggu yang akan datang lagi M gak?”
“Baru aja bersih dua hari yang lalu Mas. Emang kenapa?”
“Ada kerjaan di Bogor. Mungkin bisa semingguan di sana. Bisa ikut kan?”
“Iya,” Mona mengangguk, “dari dulu saya kan gak pernah menolak ajakan Mas.”
“Masalahnya kerjaan di Bogor itu butuh waktu agak lama.”
“Gak apa-apa. Demi Mas…berbulan-bulan juga saya siap menemani.”
Aku cuma tersenyum mendengar pernyataan itu.
Di mulut jalan kecil, kubelokkan mobilku. Lalu kuparkir di pelataran parkir sebuah hotel yang tersembunyi, tidak kelihatan dari jalan raya. Aku senang memakai hotel ini, karena suasananya tenang dan nyaman. Memang bukan hotel berbintang, tapi fasilitasnya lumayan bagus. Ada air panas, pakai AC dsb. Ekonomis tapi manis.
Mona sudah dua kali dibawa cek in di hotel ini. Dan kini untuk ketiga kalinya aku membawa Mona ke hotel ini.
Aku mendapat kamar di sudut lantai dua. Setelah memberikan tip kepada bellboy yang mengantarkanku ke kamar ini, kututupkan pintu, langsung kukunci. Dan duduk di pinggiran tempat tidur sambil menarik pergelangan tangan Mona.
Kududukkan Mona di atas pangkuanku, dengan wajah saling berhadapan.
“Sudah ke dokter?” tanyaku. Maksudku agar ia ikutan KB.
“Udah. Tapi untuk sementara hanya dikasih pil untuk sebulan. Kalau tidak ada reaksi negatif, baru nanti disuntik tiga bulan sekali atau enam bulan sekali katanya.”
“Jadi sekarang aman buat dilepasin di dalam?!” kataku sambil mendekap pinggangnya erat-erat.
“Iya selama sebulan aman,” sahutnya, “Nanti kalau udah disuntik si lebih lama lagi amannya.”
“Sipppp !” cetusku sambil menyingkapkan gaunnya, lalu menanggalkannya.
Kucermati tubuh Mona yang tinggal mengenakan celana dalam dan bra itu. Sesungguhnya mulus sekali tubuh gadis ini. Tiada bekas luka atau apa pun di tubuhnya yang putih bersih ini. Aku beruntung bisa memiliki gadis ini, meski ia bukan istriku. Tapi mendadak aku teringat kata-kata Edo tadi: “….kalau takkan menjurus ke hubungan resmi kenapa gak sharing sama saya Boss?”
Dan ketika aku telah melepaskan branya, kuciumi leher dan puting payudara Mona, sementara khayalanku melayang-layang….membayangkan ketika aku sedang sharing dengan Edo di Bogor nanti. Apakah aku akan rela melihat tubuh semulus ini disetubuhi oleh Edo nanti? Ah…kenapa tidak rela? Toh Mona ini bukan istriku. Tapi benarkah aku akan merelakannya?
Entahlah. Yang jelas aku sudah menanggalkan celana dalam gadis ini. Kelihatan bulu kemaluannya sudah dirapikan, diguntingi di sana-sini. “Wow….kapan jembut lebat ini dirapikannya?”
“Kemaren,” sahut Mona yang sudah menelentang pasrah di atas tempat tidur, “Kan Mas yang nyuruh dirapiin, biar jangan berantakan…”
“Iya, iya…ini lebih bagus…” kataku sambil mengelus-elus bulu kemaluan Mona yang sudah tampak rapi tapi tidak dibuang habis ini.
Mona pun mulai memberanikan diri menarik ritsleting celana corduroy abu-abuku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Dan akhirnya ia berhasil menyembulkan batang kemaluanku. Terasa telapak tangannya hangat waktu menggenggam batang kemaluanku yang sudah tegang ini.
Aku jadi teringat dalam pertemuan sebelumnya aku sudah mengajarinya cara-cara felatio (menyelomoti penis). Dan tampaknya ia ingin semakin mahir. Batang kemaluanku dimasukkan ke dalam mulutnya. Terasa ia mengisap-isap, lalu mengeluarkan lagi dari mulutnya, kemudian ia menjilati testicleku…leher penisku dan moncongnya juga.
“Hmmm…ternyata Mona cerdas sekali ya….sudah enak nih permainan mulutnya,” kataku sambil melepaskan baju kaus putihku.
“Siapa dulu dong gurunya?” sahut Mona sambil tersenyum, kemudian menarik celana panjang dan celana dalamku, sehingga kami jadi sama-sama bertelanjang bulat kini.
“Mau nyobain enam sembilan?” tanyaku.
“Gimana caranya?” ia tampak bingung.
Lalu aku menelentang. Kusuruh dia mengambil posisi sungsang, menelungkup di atas perutku dengan wajah menghadap ke penisku, sementara vaginanya berada di atas mulutku.
Tak sulit mengarahkan posisi yang baru buat Mona ini. Aku jadi bersemangat untuk menjilati kemaluan Mona yang sudah kungangakan di atas mulutku, karena aku tahu Mona sangat menjaga kebersihan, sehingga ketika lidahku mulai menjilati celah kemaluannya, tiada aroma yang tak sedap sedikit pun. Memang kata para pakar, kalau suka main oral, alat vital harus dijaga agar tetap hygienis.
Mona pun mulai aktif mengoral penisku, sesuai dengan yang pernah kuajarkan. Jemarinya mengurut-urut batang kemaluanku, sementara moncongnya dijilati tanpa canggung-canggung lagi. Tapi kurasakan selomotannya sering berhenti ketika aku mulai aktif menjilati clitorisnya. Bahkan terkadang pinggulnya menghempas, menekan wajahku sehingga aku jadi sulit bernapas.
Namun aku tak mau complain. Aku harus memakluminya, karena “jam terbang”nya masih sedikit sekali. Maka akhirnya kusuruh Mona menelentang, kemudian aku merayap ke atas perutnya sambil memegangi penisku yang sudah ngaceng berat ini.
Akibat permainan 69 tadi, walau cuma sebentar, vagina Mona jadi basah. Tak sulit bagi penisku untuk menerobos lubang hangatnya, langsung masuk setengahnya….disusul dengan dekapan erat gadis itu, dengan nafas yang tertahan.
Aku pun mulai mengayun penisku. Dan setiap kudorong sengaja kubenamkan lebih dalam. Sehingga akhirnya aku berhasil membenamkan sepenuhnya.
Mulailah aku menyetubuhi gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Yang paling menyenangkan, aku akan bisa melepaskan air maniku di dalam vagina gadis itu, takkan lagi harus ngecrot di mana-mana.
Dan kali ini kelihatannya Mona seperti sedang meresapi benar nikmatnya hubungan badan kami. Mungkin karena sekarang ia sudah dibentengi oleh pil anti hamil dari seorang dokter yang kukenal baik. Sehingga seberapa rakus pun ia bersetubuh denganku, takkan menimbulkan kehamilan. Mungkin hal itulah yang membuatnya jadi leluasa menikmati setiap jelajahan seksual dariku.
Ketika aku mulai mengayun penisku dengan garangnya seorang lelaki, Mona menyambutku dengan remasan-remasan di bahuku, terkadang pula di kepalaku, sehingga pastilah rambutku mulai acak-acakan. Meski perlahan, desahan-desahan histerisnya pun mulai berkumandang di telingaku. Desahan histeris itu kadang-kadang terpaksa kuhentikan dengan ciuman ganasku. Dan ia tampak menikmatinya. Menikmati indahnya saling lumat ketika kemaluan kami sedang bergesekan dengan irama yang khas.
Dan kali ini aku ingin “uji coba” meletuskan spermaku di dalam vagina Mona, karena selama ini aku belum pernah melakukan bersamanya. Maka ketika Mona mulai berkelejotan secara khas, yang kukenal sebagai tanda-tanda akan mencapai orgasme, aku pun mempercepat ayunan penisku. Aku tak ingin berlama-lama lagi…ingin secepatnya menikmati indahnya ejakulasi dalam jepitan liang kemaluan gadis itu.
Lalu…kami seperti orang-orang yang sedang kerasukan…sama-sama mengejang, saling cengkram….saling remas…..dan ketika kurasakan lubang kewanitaan Mona berkedut-kedut, saat itu pula aku sedang membenamkan batang kejantananku sedalam mungkin…..lalu terasa moncong penisku menyemprot-nyemprotkan air mani ke dalam liang surgawi Mona.
Lalu kami sama-sama terkapar dalam kepuasan, karena berhasil mencapai titik ternikmat secara berbarengan. Tapi pelukan Mona tetap ketat, seolah tak mau berpisah lagi denganku. Maka kuciumi bibirnya berkali-kali. Lalu aku pun terkapar di atas perutnya.
Episode 5
Lokasi pabrik yang akan dibongkar dan dijual besi-besi tuanya itu belasan kilometer di luar kota Bogor. Tapi aku sudah booking kamar hotel di kota Bogor. Sengaja cuma pesan 1 kamar dengan dua bed, yang satu bed besar, satunya lagi bed medium. Sengaja kuatur seperti itu. Kepada Mona kuterangkan bahwa bed yang besar untuk aku dan dia, sementara bed yang kecilan untuk Edo. Ternyata Mona tidak complain. Mungkin karena ia belum tahu rencanaku dengan Edo.
Ketika aku datang di lokasi, pembongkaran besi-besi di bekas pabrik bangkrut itu sudah mulai dilaksanakan. Pak Gatot dan Pak Hamid (dua orang teamku) sudah dari kemaren nongkrong di lokasi, untuk mengawasi pembongkaran pabrik. Karena kalau tidak diawasi dari awal, biasanya banyak besi-besi yang raib. Maklum saat itu besi tua sedang jadi primadona bagi para pebisnis.
Aku percayakan kepada Pak Gatot dan Pak Hamid untuk mengawasinya, karena Pak Gatot seorang purnawirawan TNI, sementara Pak Hamid purnawirawan polisi. Mereka tidur di lokasi, karena pembongkaran itu biasanya dilaksanakan siang malam, untuk mengejar target waktu yang telah ditentukan.
Dalam hal ini aku bertindak sebagai mediator yang bermodal. Karena sebelum dibayar oleh buyer, duitku yang dipakai untuk menalangi setiap kilogram besi yang sudah ditimbang dan dimuat ke truk-truk. Karena itu orang-orang menyebutku sebagai arranger. Bukan mediator lagi. Tapi terserahlah julukan apa yang mereka berikan padaku. Yang penting, aku mendapatkan duit dari selisih harga pembelian dan penjualan.
Itu sekilas latar belakang bisnisku di dekat Bogor ini. Tapi di sini aku bukan mau bicara soal bisnisku. Aku mau menceritakan rencanaku dengan Edo, sahabatku.
Di hari pertamaku berada di daerah Bogor, sampai sore aku berada di lokasi pembongkaran pabrik bangkrut itu.
Kami tiba di hotel ketika langit sudah menuju gelap. Mona minta izin untuk mandi duluan, karena badannya sudah berlepotan keringat katanya. Aku pun memaksa ikut ke dalam kamar mandi, meski Mona seperti tak mengizinkan.
“Kan ada Bang Edo, Mas,” kata Mona setelah pintu kamar mandi kututupkan dari dalam, “Nanti dia merasa heran.”
“Dia sudah tau,” sahutku, “Entah siapa yang ngasih tau.”
“Mungkin sopir Mas itu yang ngasih tau.”
“Mungkin. Tapi biar ajalah,” kataku sambil melepaskan celana panjang, baju kausku dan celana dalamku. Mona pun sudah menanggalkan celana jeans dan baju kausnya, lalu bra dan celana dalamnya juga.
Gila…meski tidak cantik, Mona kalau sudah telanjang begitu senantiasa memancarkan daya rangsangan yang kuat buatku. Tak ayal lagi penisku langsung tegang dan seperti menunjuk ke arah Mona waktu aku berhadapan dengannya.Tapi aku harus menahan diri, harus menyiapkan potensi untuk “acara” bersama Edo nanti.
Tapi nafsuku tak bisa dikendalikan lagi. Pada waktu menyabuni tubuh mulus Mona, sengaja kuambil sabun cair banyak-banyak untuk menyabuni kemaluan gadis itu.
Mona diam saja. Bahkan kelihatan mulai horny. Terlebih setelah tanganku mulai menyelusup-nyelusup ke dalam celah kemaluannya yang sudah licin oleh sabun cair.
“Mas….aaah…” Mona seperti makin dikuasai oleh nafsunya, karena tangannya mulai memegang batang kemaluanku yang sudah licin dan penuh busa sabun.
Dan ia sendiri yang mengarahkan batang kemaluanku ke vaginanya. Saat itu timbul ilham di benakku. Pintu kamar mandi tak jauh dari jangkauan tangan kiriku. Lalu kubuka tanpa sepengetahuan Mona. Kugerak-gerakkan telunjukku di luar pintu kamar mandi. Sebagai isyarat agar Edo mendekat. Mudah-mudahan saja Edo melihat isyaratku.
Ya ! Ternyata Edo melihat isyaratku, karena kudengar langkah kakinya mendekati pintu kamar mandi, justru pada saat aku seudah berhasil membenamkan batang kemaluanku ke dalam vagina Mona yang berdiri menyandar ke dinding dekat pintu kamar mandi ini.
Dalam posisi sama-sama berdiri, aku mulai mengayun batang kemaluanku di dalam jepitan liang kewanitaan Mona.
Mona mulai terpejam-pejam sambil memeluk pinggangku erat-erat, tanpa menyadari bahwa Edo sudah berada di dalam kamar mandi ini.
Terus terang, semuanya ini di luar skenario yang sudah kusepakati bersama Edo. Persetubuhan di dalam kamar mandi ini terjadi begitu saja, tanpa direncanakan sebelumnya.
Edo tak berani bersuara. Ia cuma berdiri dengan pandangan tertuju pada penisku yang sedang mengenjot liang kemaluan Mona. Justru aku yang buka suara, “Main di kamar mandi begini fantastis banget Do,” kataku.
“Iya….waduuuh…bikin saya jadi ngiler ni Boss,” sahut Edo dengan mata seolah tak berkedip.
Mona tampak kaget melihat kehadiran Edo di dalam kamar mandi ini. “Mas…aaah…ada Bang Edo…” kata Mona tersengal.
“Biar aja dia nonton kita. Kan dia sahabat kita,” sahutku.
Mona yang telanjur keenakan dienjot oleh penisku, tidak berusaha menghentikan persetubuhan ini. Ia bahkan berbisik ke telingaku, “Kalau dia ngiler nanti gimana, Mas?”
Aku tidak menjawab pertanyaan Mona. Aku bahkan menoleh ke arah Edo sambil berkata, “Kalau mau nonton boleh. Tapi harus telanjang juga dong. Masa kami berdua telanjang sementara sampeyan pakaian lengkap gitu?”
“Baik Boss,” sahut Edo sambil melaksanakan permintaanku. Menanggalkan seluruh pakaiannya lalu menggantungkannya di dekat pakaianku dan pakaian Mona.
Mona cuma memejamkan matanya, karena selanjutnya aku sudah mempergencar enjotan penisku lagi. Pasti kenikmatan yang dialaminya membuat Mona lupa segalanya.
Meski sambil mengenjot liang kemaluan Mona, aku masih sempat memberi isyarat kepada Edo agar semakin mendekat di sebelah kananku. Dan kulihat penis Edo sudah ngaceng sekali. Maka ketika aku masih asyik mengayun penisku, kusempatkan menarik tangan Mona agar memegang batang kemaluan Edo.
Mona agak kaget. Tapi aku cepat berkata padanya, “Remas-remas aja…kocokin juga boleh…biar dia gak gila melihat kita beginian.”
Mona memejamkan matanya lagi. Tapi tangannya mulai meremas-remas batang kemaluan Edo seperti yang kuanjurkan. Entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran gadis itu.
Yang jelas, pada suatu saat Mona berkata padaku, “Mas…berdiri di kamar mandi gini, pegel dan kedinginan….”
“Oke…kita selesaikan dulu mandinya, lalu kita blanjutkan di atas kasur ya,” kataku.
Mona mengangguk dan sesekali melirik ke arah Edo dengan sikap canggung.
Kalau aku membandingkan Edo dengan diriku sendiri, rasanya kami ini selevel dalam beberapa hal. Dalam usia, kami sebaya. Soal bentuk tubuh dan wajah, nilainya kira-kira sama lah. Juga kalau kubandingkan ukuran penis Edo dengan penisku, juga sama panjang dan gedenya.
Shower air hangat mulai memancarkan airnya. Kami bertiga saling menyabuni di dalam kamar mandi ini. Ketika Edo tampak asyik menyabuni sepasang payudara Mona, aku berkata, “Asyik kan punya cowok dua orang begini? Pasti lebih hangat daripada cuma memiliki aku seorang. Pokoknya kita bikin suasana di Bogor ini jadi sesuatu yang sangat indah, yang sangat mengesankan.”
Mona tak menyahut. Tapi kulihat dia diam saja ketika Edo mulai menyabuni kemaluannya. Mungkin itu bisa dijadikan indikator, bahwa Mona sudah menerima kehadiran Edo.
Bahkan ketika aku sudah mengeringkan tubuhku dengan handuk, kulihat Edo menarik tangan Mona ke arah penisnya…lalu kulihat Mona menurut saja… memegang batang kemaluan Edo yang sudah sangat ngaceng itu.
“Nah begitu dong….mulai saat ini aku dan Edo jadi milik Mona…” kataku sambil mencium pipi Mona, “Ayo kita lanjutkan di atas bed, biar jangan pegel dan kedinginan.”
Mona mengikuti anjuranku paling duluan, keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk hotel di pinggangnya.
“Jangan terlalu ekstrim ya, kasian,” kataku kepada Edo, “giliran aja seorang demi seorang.”
“Oke Boss,” Edo mengangguk, “Tapi saya udah gregetan…pengen jilatin memeknya.”
“Ya udah…duluan aja maju sana…”
“Lho…Boss kan tadi belum selesai.”
“Santai aja,” kataku sambil menepuk bahu Edo, “waktu kita kan masih lama. Bisa sepuluh harian kita stand by di kota ini.”
“Woookeeee….thank you Boss,” Edo tampak bersemangat, lalu bergegas ke luar, dalam keadaan telanjang, karena handuk yang disediakan hotel cuma 2 helai. Yang satu sudah dipakai olehku, yang satu lagi dipakai oleh Mona.
Aku pun keluar dari kamar mandi. Kulihat Edo sudah menerkam Mona di atas tempat tidur, lalu menghimpitnya, menciuminya…lalu menciumi putting payudaranya….menurun lagi…melorot terus sampai akhirnya Edo berhasil menempelkan mulutnya pada vagina Mona.
Mona menurut saja ketika sepasang pahanya direnggangkan lebar-lebar oleh kedua tangan Edo. Lalu gadis itu mulai menikmatinya. Menikmati jilatan dan celucupan Edo di vaginanya yang jembutnya sudah dirapikan itu.
Cukup lama Edo menjilati kemaluan Mona, sambil sesekali tangannya menjangkau sepasang payudara Mona dan meremas-remasnya.
Dan akhirnya Edo merayap ke atas…sambil memegangi batang kemaluannya. Lalu kulihat Edo sedang berusaha memasukkan batang kemaluannya ke dalam vagina Mona.
Aku pun duduk di sofa sambil menonton adegan-adegan berikutnya. Bahwa Edo mulai mengayun penisnya, memompa liang kemaluan Mona. Dan Mona mulai mendesah-desah, sambil sesekali melirik ke arahku, tapi selalu kuacungkan jempolku (meski sebenarnya diam-diam aku merasa cemburu juga menyaksikan persetubuhan mereka itu).
Aku menyaksikan persetubuhan mereka sambil memegangi penisku sendiri, karena sebenarnya aku belum selesai ML sambil berdiri di kamar mandi tadi. Aku mengalah agar Edo maju duluan, meski aku belum selesai. Masalahnya, aku ingin tahu dulu apakah Mona siap dithreesome apa tidak. Ternyata ia mau menerima kehadiran Edo. Hitung-hitung “ikatan”, biarlah Edo maju duluan, supaya nanti takkan ada penolakan apa pun dari Mona.
Tapi egoisku mendadak timbul dominan di dalam batinku. Masalahnya, si dede nagih terus karena di kamar mandi tadi belum terselesaikan. Maka dengan nafsu tak terkendalikan lagi, aku menghampiri Edo dan memberi isyarat padanya, pertanda ngajak change place.
Untungnya Edo mengerti keadaanku yang sedang tersiksa ini. Dengan sigap ia mencabut penisnya dari vagina Mona. Membuat mata Mona terbuka, tapi lalu terpejam lagi setelah tahu bahwa aku akan menggantikan posisi Edo. Dan Edo langsung menuju kamar mandi.
Waktu memasukkan batang kemaluanku ke lubang kewanitaan Mona yang terasa sudah basah sekali (mungkin dia sudah orga waktu disetubuhi oleh Edo tadi), aku masih sempat berbisik, “Lebih enak kan dengan dua orang lelaki?”
Mona menatapku. Memelukku erat-erat sambil berkata perlahan, “Saya kan nurutin keinginan Mas aja.”
“Tapi lebih enak kan?”
“I…iya sih…” sahutnya sambil memejamkan mata lagi.
Dan aku mulai mengayun batang kemaluanku, untuk melanjutkan kenikmatan yang tertunda tadi.
Mata Mona terbuka lagi. Bertanya tersengal, “Mas…ka…kalau saya kecapean, boleh minta istirahat?”
“Tentu aja dong. Kita bertiga kan sejajar,” sahutku dengan perasaan ingin ketawa merasakan keluguannya, “Mona bukan budak kami. Mona boleh minta rehat kapan saja….boleh minta ML juga kalau udah horny lagi…” ucapanku itu kususul dengan ciuman hangat di bibirnya.
Mona memeluk leherku dengan hangatnya. Dan merenggangkan sepasang pahanya lebar-lebar, seolah mempersilakanku mengenjotnya seganas mungkin.
“Sekarang udah kecapean?” tanyaku sambil memperlambat gerakan penisku.
“Belum Mas…justru lagi enak-enaknya…” sahutnya tersipu.
Mendengar pengakuannya itu aku pun semakin bergairah untuk memperganas ayunan penisku.
Tiba-tiba terdengar suara musik dangdut koplo. Rupanya suara musik itu dari hp Edo yang sudah duduk di sofa lagi, sambil mengamati persetubuhanku dengan Mona. Aku tidak begitu suka musik dangdut. Tapi dalam suasana seperti ini, rasanya irama koplo itu cocok sekali untuk kuikuti…..ya, kusesuaikan gerakan penisku dengan irama koplo itu….ternyata asyik sekali ! Dangdut…mundur maju…dangdut…mundur maju…..dst.
“Wooooow….enak tenaaaan…..” terdengar komentar Edo yang menyaksikan semuanya ini. Namun aku tak mempedulikannya. Aku cuma peduli bahwa makin lama batinku serasa makin melayang-layang di langit….langit ketujuh mungkin….memang pantas apa yang sedang kulakukan ini dijuluki “surga dunia”……dan rintihan-rintihan histeris Mona makin lama makin menjadi-jadi…di telingaku malah seakan-akan nyanyian merdu bidadari yang sedang menaburkan bunga-bunga surgawi ke sekujur batinku…
Belasan menit kemudian, terasa sekujur tubuh Mona mengejang….kedua tangannya meremas-remas kain seprai….matanya terbeliak, nafasnya tertahan dan…..ia merengek manja…terdengar erotis di telingaku: “Maaaaas…….a…..a…..aaaaaaaaaaaaahhhhh….”
Terasa liang kemaluan Mona berkedut-kedut…lalu menjadi basah licin, sehingga penisku terasa lebih gampang diayun….dan menimbulkan suara kecipak-kecipak….
Aku tahu apa yang sudah terjadi. Mona sudah mencapai orgasmenya. Aku pun tak mau berlama-lama lagi menyetubuhinya, karena Edo pasti sudah tak sabar menunggu. Maka meski liang kemaluan Mona jadi terasa longgar buat penisku, aku malah semakin gila mengenjotnya…sodok-tarik-sodok-tarik-sodok-tarik….dan kubenamkan penisku sekuat mungkin…sambil menikmati enaknya ejakulasi di dalam liang kemaluan yang baru mencapai orgasme itu.
Waktu kucabut penisku yang mulai melemas ini, kulihat mulut kemaluan Mona ternganga dan mengalirkan cairan putih kental…spermaku yang bercampur dengan lendir kewanitaan Mona….
Edo langsung menghampiriku, “Dilepasin di dalam? Gak apa-apa?” tanyanya seperti mencemaskan sesuatu.
“Aman…karena sudah dijaga pil kontrasepsi,” sahutku.
“Wah asyik dong,” kata Edo sambil melompat ke atas tempat tidur dan langsung menerkam tubuh Mona yang masih telanjang bulat.
Jelas tampak membenamnya batang kemaluan Edo ke dalam liang vagina Mona (yang pasti masih kebanjiran air maniku). Tampaknya Edo sudah tak kuasa lagi menahan nafsunya, sehingga tak mau bersusah-susah lagi, langsung main sodok aja.
Dan gilanya, baru beberapa menit Edo mengenjot Mona, penisku langsung tegang lagi. Padahal baru saja memuntahkan lahar panasnya. Mungkin ini salah satu sisi positifnya buat lelaki yang melakukan threesome MMF. Bahwa ketika melihat persetubuhan Edo dengan Mona, rasanya jauh lebih effektif daripada nonton bokep !
Konon pula threesome FFM (2 cewek 1 cowok), biasanya tidak menimbulkan kepuasan bagi kedua ceweknya. Mungkin karena sebenarnya fisik cewek ditakdirkan untuk bisa memuaskan lebih dari 1 orang cowok. Bukankah sambil tidur pun seorang cewek bisa membuat cowok ngecrot?
Maka ada orang yang bilang, threesome FFM itu hanya buat gaya-gayaan aja bagi cowoknya. Padahal cowok itu takkan bisa memuaskan 2 cewek sekaligus. Apalagi kalau ceweknya 3 orang atau lebih.
Jadi…kalau dibebaskan memilih, secara fisik mungkin polyandri lebih ngepas daripada polygami. Karena kalau polyandri, kedua belah pihak akan puas. Hahahaaaa !
Bagaimana mungkin Mona tidak puas? Setelah Edo ejakulasi, aku maju. Tapi aku ingin melakukannya dengan posisi doggy. Mona kusuruh nungging, aku masukkan penisku dari belakang. Sementara Edo hanya beristirahat sebentar, lalu celentang sambil merentangkan kedua pahanya, sehingga penisnya persis berada di bawah mulut Mona yang sedang menungging.
Edo memberi isyarat agar Mona mengoral penisnya. Mona pun mengerti, lalu mengulum dan menyelomoti penis Edo seperti anak kecil menikmati permen loli.
Semuanya itu membuatku semakin bersemangat untuk mengayun penisku seganas mungkin. Sampai terasa pangkal pahaku menabrak-nabrak buah pantat Mona…dug…dugh….dugh…dugh…..
Malam itu sebenarnya merupakan pengalaman pertama bagiku, pengalaman pertama menthreesome seorang perempuan. Entahlah bagi Edo, mungkin dia pernah melakukannya dengan cewek lain.
Dan yang jelas, malam itu kami puas-puaskan nafsu birahi kami dengan segala posisi. Sampai akhirnya Mona minta istirahat karena sudah ngantuk sekali, katanya.
Lalu kami tidur bertiga di bed yang luas itu, sementara bed yang kecil jadi nganggur.
Kelihatannya Mona senang juga tidur diapit oleh dua orang lelaki. Meski selimut dihamparkan untuk menyelimuti tubuh kami, namun di balik selimut itu kami semua bertelanjang.
Walaupun kami semua terkapar dalam kepuasan, namun esok paginya kami tetap bangun pada waktunya. Karena kami harus bertanggungjawab pada bisnis kami. Tapi di malam hari, kami juga punya urusan dengan birahi kami…..
Episode 6
Seperti kutulis di episode sebelumnya, perjalanan bisnisku selalu diwarnai oleh kehadiran perempuan-perempuan yang seolah dikirim untuk mengisi lembaran kehidupanku. Padahal aku tak pernah sengaja mencarinya. Tapi mereka berdatangan satu persatu di dalam kehidupanku. Hal itu membuat semangatku selalu berkobar-kobar….maju terus untuk menekuni bisnisku sambil memetik bunga-bunga yang berdatangan sendiri ke pangkuanku.
Pada suatu hari, aku berada di sebuah café di bandara Soekarno Hatta, untuk menunggu kedatangan utusan dari Samarinda yang membutuhkan perusahaan pengembang untuk perumahan di Kaltim.
Sudah agak lama aku menunggu di café itu. Waktu aku menanyakan ke petugas bandara, kudapat informasi “Pesawatnya delay Pak. Mungkin sekarang baru take off dari Sepinggan.”
Huh…lumayan menjengkelkan juga. Aku harus menunggu di bandara lebih lama daripada waktu penerbangan dari Sepinggan ke Soekarno-Hatta. Kalau tahu harus menunggu lama-lama begini, mending kusuruh sopirku saja menjemputnya tadi.
Tapi…yah…dalam bisnis kesabaranku memang sering diuji. Sabar…sabar….orang sabar tititnya lebar….Uff….
Aku nongkrong terus di café itu, malas untuk bertanya-tanya lagi kepada petugas bandara. Biarlah. Sedatangnya saja. Kalau sudah datang, nanti juga pasti ada yang menghubungiku lewat handphone.
Setelah cukup tersiksa menunggu di café itu, akhirnya hpku berdering. Ada nomor tak dikenal meneleponku. Agak ragu aku mengangkatnya, karena biasanya ada saja yang iseng menelepon tanpa tujuan yang jelas.
Terdengar suara perempuan di hpku, “Dengan Pak Yadi? Ini saya utusan Pak Burhan, dari Samarinda.”
“Oh, yayaya,” sambutku gembira. Lalu kusebutkan nama café tempatku menunggu.
“Baik Pak….saya sedang menunggu tas pakaian saya dulu. Nanti saya ke situ. Maaf ya Pak Yadi harus menunggu gini.”
“Gak apa-apa. Oke, saya tunggu di sini,” kataku berusaha ramah. Meski heran, kenapa Pak Burhan mengutus ibu-ibu segala ke Jakarta? Jangan-jangan nanti malah merepotkanku saja.
Tapi…begitu seorang wanita muda bertubuh tinggi semampai dan bergaun hijau tosca menegurku, “Pak Yadi?”
“Iya…iya…mmm…yang dari Samarinda?” sahutku tergagap. Masalahnya, maaak, kusangka ibu-ibu tua yang datang dari Samarinda itu, ternyata ia seorang wanita muda sekali. Aku yakin usianya belum 25 tahun Dan…cantik banget perempuan muda yang berdiri di depanku itu.
Wanita muda itu menjabat tanganku, ” Rahmi,” katanya memperkenalkan namanya, “Pak Burhan itu abang saya. Kebetulan dia lagi ada kesibukan di Tenggarong, jadi menyuruh saya ke sini.”
“Oh..iya…iya…” aku mengangguk-angguk, agak gugup jadinya, sementara jabatan tangannya belum kulepaskan.
“Saya pikir Pak Yadi sudah tua…eee…ternyata masih muda.” kata waniita muda itu.
“Hehehe…sama. Tadi juga waktu terima telepon dari anda, saya pikir mau ketemu ibu-ibu. ternyata masih muda banget.”
Setelah berada di mobilku yang dikemudikan oleh Herman (sopirku), Rahmi bercerita betapa melelahkannya penerbangan tadi. Karena ia harus naik mobil dulu dari Samarinda ke Balikpapan, jauh lebih cepat daripada waktunya. Tapi penerbangan dari Balikpapan ke Jakarta justru delay lebih dari sejam.
Lalu ia juga bercerita bahwa ia sengaja menawarkan diri untuk menjadi utusan abangnya ke Jakarta, karena ingin sekalian belanja celana jeans dan brownies kukus di Bandung.
“Kalau begitu sekarang kita langsung ke Bandung saja, gimana?” kataku.
“Ya atur-atur aja gimana baiknya,” jawab Rahmi yang duduk di sampingku di jok belakang, “Saya kan gak keburu-buru Pak.”
Rasanya gak enak juga Rahmi memanggilku Pak-Pak terus. Karena aku belum tergolong tua. Tapi biarlah. Mungkin itu tanda bahwa ia menghormatiku.
“Emang lama-lama di Bandung gak marah suaminya?” tanyaku pada saat mobilku sedang meluncur dengan cepatnya di jalan tol.
“Hmm…saya gak punya suami Pak,” kata Rahmi bernada sendu.
“Ooo…belum menikah?”
“Aaah….malu nyeritainnya. Saya ini janda Pak….”
Aku terhenyak. Janda? pikirku, semuda gitu sudah menjadi janda?
“Perkawinan saya cuma berlangsung beberapa bulan,” kata Rahmi lagi, “suami saya meninggal setahun yang lalu.”
“Sakit apa?”
“Yah…sudah tua aja Pak. Perbedaan umur kami jauh sekali. Waktu saya nikah, umur saya baru duapuluh dua, suami saya sudah hampir enampuluh tahun. ”
Pengakuan Rahmi itu tidak membuatku heran. Karena yang aku tahu, banyak petambang di Kalimantan beristri lebih dari seorang. Bahkan ada petambang yang kukenal, punya istri muda yang baru lulus SMP. Maklum, duit punya kuasa.
Ya, sebenarnya pengusaha di Kalimantan, kalau sudah kaya tak kepalangan kayanya. Rumah cuma terbuat dari kayu ulin (kayu ulin mahal lho), tapi jip Hammer berderet di depan rumahnya. Pesawat jet pribadinya selalu nongkrong di bandara. Pilot pribadinya juga selalu stand by, menunggu tugas dari sang boss.
Aku bahkan pernah menerima pesanan khusus dari seorang petambang Kalsel. Ia minta dikirim tenaga satpam untuk keamanan perusahaannya. Jumlah pesanannya tidak tanggung-tanggung….minta 800 orang !
“Ini langsung ke Bandung Pak?” tanya Herman membuyarkan terawanganku.
“Iya. Nanti istirahatnya di kilometer limatujuh aja. ”
“Iya,” Herman mengangguk, “Kalau di kilometer sembilanbelas sering susah parkir. Terlalu banyak yang istirahat di situ.”
Aku tak menanggapi ucapan sopirku itu. Bahkan sering curi-curi pandang pada Rahmi yang berkulit putih bersih itu. Diam-diam aku pun menghitung-hitung umurnya. Nikah di usia 22, hanya beberapa bulan kemudian suaminya meninggal. Dan suaminya meninggal setahun yang lalu. Berarti umurnya sekarang di bawah 24 tahun.
Lalu kenapa otakku jadi berpikir yang bukan-bukan setelah mendengar pengakuannya, bahwa statusnya janda?
Tapi dari mana aku harus memulainya?
“Ohya, master plan dan surat-surat penting ada di dalam koper saya,” kata Rahmi ketika aku masih memutar-mutar otakku, “Nanti aja di Bandung saya serahkan ya.”
“Iya,” aku mengangguk, “kebetulan calon developernya kakak saya sendiri. Takkan banyak prosedur, karena semuanya sudah dipercayakan pada saya.”
“Wah, kebetulan dong. Pemilik tanahnya kakak saya, developernya kakak Pak Yadi. Jadi kita ini sama-sama ring satu dong.”
Aku cuma tersenyum. Tapi pandanganku tertumbuk pada cincin bermata blue sapphire yang melingkari jari tangan kanan Rahmi. Aku merasa punya jalan untuk memegang tangannya sambil berkata, “Wah, blue sapphirenya bagus banget…!”
Rahmi tersipu, “Cuma blue sapphire Martapura kok Pak.”
“Hush…permata buatan Martapura bagus-bagus kok. Apalagi kalau dipakai oleh tangan yang begini halusnya,” kataku sambil mengelus punggung tangan Rahmi.
Wanita muda yang cantik itu menatapku dengan senyum. Dan membiarkan tangannya tetap kupegang. Aku pun enggan melepaskannya. Maka tangan berjemari lentik-lentik itu kuletakkan di atas pahku, sambil kugenggam dengan penuh kehangatan.
Lalu kudengarkan semacam biodata Rahmi dari mulutnya sendiri, “Saya sebenarnya asli orang Martapura, tapi sejak kecil saya ikut kakak saya di Samarinda.”
Aku cuma mendengarkannya dengan sikap serius, tanpa membuka identitasku sendiri. Tanpa menjelaskan bahwa sebenarnya ibuku juga orang Banjar. Biarlah ia mengiraku orang Jawa saja. Karena namaku memang mirip nama orang Jawa.
Dan…tangan gemulai yang hangat ini tetap berada di dalam genggamanku. Bahkan terkadang kuarasakan tangannya meremas tanganku. Hmmm…kisah apa lagi yang akan terjadi pada diriku? Que serra serra…what ever will be, will be…apa yang mau terjadi, terjadilah….!
Di KM 57, kami hanya istirahat sebentar. Untuk minum kopi dan makan snack saja. Sengaja aku mengajak sopirku minum kopi, supaya tidak ngantuk waktu nyetir sampai Bandung nanti.
“Di Bandung ada famili?” tanyaku ketika mobilku sudah meninggalkan rest area dan melaju kencang lagi di jalan tol.
“Gak ada,” Rahmi menggeleng.
“Kalau gitu nanti di Bandung nginap di hotel aja?”
“Iya,” ia mengangguk, “Bagaimana baiknya aja Pak.”
Terawanganku melayang-layang lagi. Gila, pikirku, cewek ini punya daya tarik yang luar biasa bagiku. Membuatku berkhayal terus. Tapi tangannya sering meremas tanganku. Bukankah ini pertanda “welcome” darinya?
Terawanganku makin membubung di langit khayalanku. Memang terkadang wajah istriku terkilas dalam khayalanku. Tapi aku seakan berkata di dalam hatiku, “Maafkan suamimu ini sayang. Barangkali lelaki memang ditakdirkan seperti ini. Bahwa secara spiritual lelaki bisa merasa cukup dengan seorang wanita saja. Tapi secara biologis, tidak bisa.”
Hari mulai malam ketika mobilku keluar dari p[intu tol Pasteur, Bandung.
Seperti yang kuperintahkan, sopirku membelokkan mobil ke pintu gerbang sebuah hotel bintang lima. Entah kenapa, aku tak berani membawa Rahmi ke hotel yang biasa kupakai kencan dengan Mona. Karena sepintas pun sudah kelihatan bahwa Rahmi itu kelasnya lain.
Setelah memberi uang makan kepada sopirku dan pesan agar ia tidur di mobil seperti biasa, aku melangkah ke dalam hotel. Pada waktu melangkah ke bagian reservation, aku bertanya kepada Rahmi, “Berani tidur sendirian di hotel ini?”
“Ya nggak lah. Saya kan perempuan Pak,” sahutnya dengan tatapan bergoyang.
“Oke,” aku mengangguk, “akan saya temani selama Rahmi ada di Bandung ya.”
“Makasih,” Rahmi tampak ceria dan menggenggam pergelangan tanganku lagi.
Kami mendapatkan kamar di lantai 8. Bellboy mengantar kami masuk lift dan menuju pintu kamar yang sudah disediakan. Setelah bellboy itu menyimpan koper Rahmi dan tas kerjaku yang selalu berisi pakaian 2-3 set, kuberikan tip padanya. Bellboy itu meninggalkan aku berdua dengan Rahmi.
Setelah pintu ditutupkan, kuhampiri Rahmi yang sedang memandang ke luar jendela, memandang gemerlapannya kota Bandung di malam hari.
Entah dari mana datangnya keberanian ini. Meski ada resiko besar dalam bisnisku, seandainya ia marah, tapi aku yakin ia pun menunggu sikap jantanku. Kuawali dengan sergapan di pinggangnya dari belakang. Terasa badannya mengejut. Membuat harum parfum yang ia kenakan semakin tersiar ke penciumanku.
“Gak mau mandi dulu?” kataku semakin mempererat pelukanku.
“Mau…” sahutnya sambil mengelus kedua tanganku yang berada di daerah perutnya.
“Mandi pengen ditemeni juga?” bisikku di dekat telinga kirinya.
“Nanti kalau saya jadi horny gimana Pak?”
“Untuk tamu kehormatan, akan saya lakukan apa pun, asalkan tamunya senang. Tapi jangan panggil pak-pakan ah….saya kan belum tua-tua bener.”
Tiba-tiba ia membalikkan badannya. Menatapku dengan senyum yang sangat menawan. Kurasa tinggi badannya hampir sama dengan tinggiku, karena bibirnya terasa sejajar dengan bibirku. Dan bibir indah itu terbuka, seperti menunggu terkaman bibirku.
Tanpa berpikir panjang lagi kupagut bibir indah itu. Oh, kehangatannya membuatku serasa melayang-layang. Indah sekali. Maka kulumat bibir itu dengan sepenuh
Setelah lumatanku terlepas, terdengar suaranya, “Mandinya nanti aja ya Pak…emmm…Mas…”
“Iya,” sahutku sambil membuka kancing kait di bagian punggung gaun hijau toscanya. Lalu dengan hati-hati kutarik ritsleting di bawah kancing kait itu. Dan ia diam saja. Bahkan semakin mempererat pelukannya. Makin terasa kehangatan tubuh wanita muda ini.
Namun ketika aku berusaha menurunkan gaunnya, ia melepaskan pelukannya, agar bisa meloloskan lengannya dari gaun hijau tosca itu. Lalu dengan mudah kuturunkan gaun itu sampai jatuh di sekitar kakinya. Ia pun melangkah mundur. Dan aku membungkuk, memungut gaunnya, lalu kulemparkan ke atas tempat tidur.
Kini wanita muda bernama Rahmi itu tinggal mengenakan bra dan cd saja. Semakin tampak betapa mulusnya tubuh tinggi semampai itu.
Dan tiba-tiba ia menarik lenganku…mengajakku melangkah ke arah pintu kamar mandi.
“Mendingan mandi dulu ah,” katanya, “biar seger.”
Sekilas terbayang di dalam ingatanku, kejadian di dalam kamar mandi hotel di Bogor dengan gadis bernama Mona itu. Tapi apa yang terjadi di hotel mewah ini, sungguh beda suasananya. Perasaanku juga lain, jauh berbeda dengan waktu mandi bersama Mona.
Lanjutan Episode 6
Di dalam kamar mandi, aku masih berpakaian lengkap. Sementara Rahmi sudah menanggalkan branya. Tinggal celana dalam yang masihmelekat di tubuhnya. Ia menutupi sepasang payudaranya dengan sikap malu-malu. Dan bertanya, “Mas mau mandi gak?”
“Iya. Pengen nyabunin Rahmi juga, kalau boleh.”
“Lha…masa mandi pakaian lengkap gitu?”
“Terpesona melihat keindahan tubuh Rahmi. Cemerlang sekali.”
“Dari awal jabatan tangan di bandara, saya udah tau kalau mas tertarik pada saya,” kata Rahmi pada waktu aku sedang menanggalkan celana panjang dan kemeja tangan pendekku.
“Dan saya yakin, Rahmi juga gak nolak,” kataku ketika tubuhku tinggal mengenakan celana dalam saja. Seperti Rahmi itu.
“Kalau nolak, masa saya biarkan Mas masuk ke sini,” kata Rahmi dengan senyum manja.
Aku pun tak tahan lagi. Ingin segera memeluknya. Dan ia tetap menutupi sepasang payudaranya dengan kedua telapak tangannya. Ketika aku memeluknya, srrrr….rasanya ada desir hasrat yang dahsyat di dalam batinku. “Kenapa ditutupin? Kan sudah mau direlakan untuk saya,” kataku sambil berusaha menepiskan kedua tangan Rahmi dari payudaranya.
“Malu Mas. Tetek saya kecil,” kata Rahmi setelah sepasang payudaranya terbuka.
“Ah…ini payudara ideal…kecil tidak, toge juga gak. Sempurna….!” kataku sambil membungkuk dan menciumi payudara janda muda itu.
“Cowok kan biasanya seneng yang gede.”
“Ah siapa bilang? Saya malah suka yang sedang-sedang begini. Mmmm…masih padat pula, seperti belum pernah netekin,” kataku sambil mengelus-elus payudara Rahmi dengan lembut.
“Lho…saya emang belum pernah melahirkan Mas.”
“Ohya?” aku makin senang. Mulai membayangkan betapa kecilnya lubang yang masih tertutup celana dalam itu.
“Katanya mau mandi…kok masih pake celana dalam?” cetusku sambil menunjuk ke celana dalam Rahmi yang putih bersih itu.
Rahmi malah memegang kewdua pergelangan tanganku dengan sikap manja, “Mas aja yang bukain….”
“Dengan senang hati…” sahutku sambil menurunkan celana dalam putih itu dengan hati-hati. Sedikit demi sedikit kemaluan Rahmi mulai tampak di mataku. Sebentuk kemaluan perempuan yang indah, ditumbuhi bulu yang agak jarang, sehingga tidak menutupi pandangan ke arah kulit permukaan kemaluannya. Karena ingin mengamati lebih jelas lagi, aku sampai berjongkok di depan kemaluan Rahmi.
“Iiiih…dipelototin gitu….malu iiih…” Rahmi memegang bahuku.
Tapi aku malah sengaja mendekatkan mataku, memperhatikan indahnya kemaluan Rahmi…lalu menciuminya….sehingga terdengar suara Rahmi, “Maaaas…mas…iiih…saya sampai merinding nih.”
Aku pun bangkit, menanggalkan celana dalamku, sehingga tiada rahasia lagi bahwa penisku sudah ngaceng berat ! Lalu kuputar kran shower air hangat. Air hangat pun memancar dengan derasnya, membasahi tubuh kami yang sudah telanjang ini.
Ketika aku memeluk pinggangnya, sehingga penisku bersentuhan dengan vaginanya, ia berkata, “Mas punya ilmu apa sih? Begitu ketemu di bandara tadi, saya langsung tertarik sama Mas….”
Bangga juga aku mendengar pengakuannya. Lalu kataku, “Ah, di sini sih gak ada ilmu-ilmuan seperti di Kalimantan. Mungkin karena Rahmi type saya dan….”
“…Dan Mas type saya,” Rahmi memotong kata-kataku.
Aku tersenyum. Lalu mematikan pancaran shower sambil menuangkan sabun cair ke telapak tanganku. Dan mulai menyabuni tubuh tinggi semampai berkulit putih cemerlang itu.
Aku senang benar waktu menyabuni sepasang payudara Rahmi, yang kutaksir ukuran branya 34…masih padat, putingnya mancung meruncing…membuatku bergairah untuk menyabuni sambil meremasnya.
Pada saat yang sama kedua tangan Rahmi malah asyik mempermainkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, “Gede banget,” cetusnya, “panjang pula…”
aku tidak menyahutnya. Bahkan kuambil lagi sabun cair kental bening itu, untuk menyabuni sesuatu yang terindah di bawah perut Rahmi.
Wuiih ! Masih kecil banget liang kemaluan Rahmi ini….membuatku makin bernafsu menyabuninya, mengelusnya dengan jemari yang terkadang menyelusup ke dalam. Lalu kuputar kran shower. Air hangat memancar lagi, untuk membersihkan busa sabun dari tubuh kami. Tapi selanjutnya kukecilkan pancaran air hangat itu, sampai tinggal mengalir sebesar lidi…..dan kuambil lagi cairan sabun bening itu, kubalurkan ke kemaluan Rahmi sebanyak mungkin, dibantu dengan air hangat sedikit…hingga semakin licin kemaluan rahmi dibuatnya. Setelah licin sekali, kusentuhkan moncong penisku ke mulut vagina Rahmi…..dan ia diam saja.
Aku agak menekuk lututku supaya moncong kemaluanku tepat pada sasarannya. Licinnya liang vagina Rahmi membuatku tak terlalu sulit membenamkannya….blessss…..
“Massss….” Rahmi memekik perlahan sambil memeluk leherku, “Kok dimasukin?”
“Sudah gak tahan…” sahutku, “Rahmi terlalu merangsang sih…”
“Aduuuh Mas………Mas…aaaah…” Rahmi mulai mendesah-desah ketika aku mulai menggeser-geserkan penisku, maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur….wow ! Setelah dilicinkan dengan sabun sebanyak-banyaknya pun terasa liang vagina Rami begini sempitnya. Terasa seperti mencengkram sekali. Apalagi kalau tidak dilicinkan dulu…gak kebayang sempitnya.
Masih sempat tanganku menjangkau kran shower, lalu air hangat memancar lagi dengan derasnya. Namun aku tetap asyik mengayun batang kemaluanku. tetap asyik menggeser-geserkannya dalam jepitan liang kemaluan yang begini sempit dan menjepitnya.
Tapi tampaknya Rahmi merasa terganggu dengan pancaran air hangat dari shower itu, karena airnya mengepul dan uapnya memenuhi ke setiap sudut kamar mandi. Satu saat ia berkata, “Mas…lanjutkan di kamar aja yuk….sesek napas nih kalau di sini…”
“Oke, kita selesaikan mandi dulu ya.”
Meski malas menunda kenikmatan ini, terpaksa kucabut dulu batang kemaluanku dari jepitan liang sempit itu. Lalu kami membasahi sekujur tubuh kami dengan air hangat sepuas mungkin. Lalu kuambil handuk putih yang tersedia di dekat meja washtafel. Kuberikan sehelai kepada Rahmi, yang sehelai lagi untuk kupakai mengeringkan tubuhku.
Setelah mengeringkan sekujur tubuhnya, Rahmi berlari-lari kecil keluar dari kamar mandi, dalam keadaan masih telanjang bulat. Aku pun membelitkan handuk di pinggangku, lalu mengikutinya.
Di atas tempat tidur, Rahmi sudah rebah dengan selimut menutupi tubuhnya. Aku pun masuk ke dalam selimut itu, lalu menciumi pipi dan bibirnya berulang-ulang.
“Kita ini aneh ya Mas,” kata Rahmi sambil merayapkan tangannya ke pahaku, lalu menyelinap ke balik lilitan handukku dan akhirnya menggenggam batang kemaluanku yang masih sangat tegang ini, “Kita baru kenal jam-jaman tapi udah melangkah jauh banget.”
“Sebenarnya untuk zaman sekarang sih gak aneh-aneh banget. Orang lain banyak yang kenalan di dunia maya, lalu janjian, lalu ML di pertemuan pertama,” kataku ketika kurasakan tangan Rahmi mulai meremas-remas penisku di balik selimut kami. “Tapi yang jelas, hari ini hati saya sangat bahagiaaaaaa….” ucapan ini kulanjutkan dengan ciuman mesra di bibir Rahmi. Dan Rahmi menanggapi dengan pelukan erat ketika aku mulai berada di atas tubuhnya, dengan bibir tetap saling lumat dengannya.
Entah kenapa, sekali ini aku seperti kena batunya. Bahwa gairahku begini dahsyatnya, hal yang tak pernah kualami sebelumnya manakala berhadapan dengan wanita-wanita yang singgah dalam kehidupanku.
Karena itu aku ingin melakukannya dengan hati-hati sekali (walaupun tadi di kamar mandi langsung kebablasan, karena ingin meyakinkan saja bahwa aku boleh memiliki tubuhnya sampai puncaknya).
Setelah cukup lama bibirku saling lumat dengannya, kukecupi leher jenjangnya yang tercium harum, bahkan kujilati dengan perasaan yang semakin mendayu-dayu. Rahmi pun menyambutku dengan elusan-elusan lembut di rambutku. Elusan-elusan lembut itu tetap kurasakan ketika aku mulai asyik mencelucupi puting payudaranya yang kecil tapi menonjol ini. Sementara tanganku mulai mengelus kemaluannya yang berbulu halus dan jarang itu…oooh…ini indah sekali. Rahmi pun terasa menikmatinya, karena tubuhnya mulai menghangat, napasnya mulai tertahan-tahan…terlebih setelah jemariku mulai mengelus celah kewanitaannya…menyelusup ke dalam lubang kecilnya yang mulai membasah….
Tapi ketika aku sudah menurunkan kepalaku, sudah menciumi pusar perutnya, Rahmi mengangkat kepalaku, menariknya ke atas sambil berkata terengah, “Udah Mas…masukin aja,” ucapan itu disertai genggaman pada penisku yang sudah tegang sekali.
Aku biarkan Rahmi mengarahkan “topi bajaku” agar tepat arahnya. Setelah ada isyarat mata Rahmi, baru aku mendorongnya, sementara sepasang paha Rahmi sudah direntangkan lebar-lebar. “Pelan-pelan ya…biar jangan sakit….” desisnya.
Meski sulit, namun akhirnya aku berhasil membenamkan penisku sampai lehernya. Sesak sekali rasanya. Mungkin karena kemaluan Rahmi sudah dikeringkan oleh handuk di kamar mandi tadi. Aku berusaha melakukannya dengan hati-hati. Kuayun dulu penisku sedikit demi sedikit….makin lama enjotanku makin jauh ke dalam, sampai akhirnya aku berhasil mengenjot sampai penisku terbenam full (pada waktu didorong).
Selimut yang menutupi tubuh kami tadi, sudah tersingkir sendiri, bahkan akhirnya terjatuh ke lantai. Dan aku makin lancar mengayun penisku di dalam jepitan liang kemaluan Rahmi yang terasa sempit sekali, namun justru membuatku nikmat sekali.
“Mas…aaaaah….Mas…..aaah….gede banget sih tititnya…..aaaaahhhh….” Rahmi mulai berceloteh-celoteh histeris, dengan mata merem melek, dengan remasan-remasan gemas di bahuku….bahkan terkadang menjambak dan mengacak-acak rambutku.
Aku pun sering melumat bibirnya sambil meremas-remas payudaranya yang kencang kenyal, dan Rahmi membalas dengan gigitan-gigitan kecil di leherku. Wow, mungkin ini persetubuhan paling indah dalam hidupku.
Aku pun menghentikan enjotan penisku dan berbisik ke telinga Rahmi, “Jujur….punya Rahmi enak sekali…”
“Punya istri Mas gimana?” Rahmi menatapku dengan sorot menyelidik.
“Pokoknya punya Rahmi jauh lebih enak…sungguh…”
“Punya Mas juga jauh lebih enak daripada punya almarhum suami saya.”
“Masa sih?” cetusku yang dilanjutkan dengan ayunan penisku kembali.
Obrolan singkat itu membuatku bisa mengatur potensiku sendiri. Sehingga ketika Rahmi menggeliat sambil berbisik tersengal, “Mas….saya udah mau nyampe….” aku justru belum apa-apa. Dan bukan lelaki ego. Aku ingin agar persetubuhan pertama ini berkesan di hati Rahmi. Maka ketika Rahmi mengejang sambil menahan napasnya, aku percepat ayunan batang kemaluanku….lalu kurasakan liang vaginanya berkedut-kedut disusul dengan menggenangnya lendir di dalam lubang surgawi Rahmi.
Lalu kubenamkan batang kemaluanku sedalam-dalamnya, tanpa kugerakkan dulu. Sementara kedua tanganku sejak tadi sudah aktif meremas-remas payudaranya, kemudian kucium bibirnya dengan mesra.
Dan terdengar elahan napasnya, “Aaaaah…..luar biasa Mas…..makasih ya.”
“Udah orga kan?” bisikku.
“Udah…masa gak terasa?”
Aku diamkan dulu penisku tertanam di dalam liang vagina Rahmi. Hitung-hitung ngasih kesempatan untuk rehat pada Rahmi dan juga untuk diriku sendiri.
Setelah Rahmi kelihatan pulih fisiknya, aku pun mulai mengayun penisku kembali. Dan aku tidak mengajaknya ke posisi-posisi lain. Biarlah, aku mau menikmatinya dengan posisi klasik saja.
Beberapa saat kemudian, “Mas….aaaah….Mas kuat banget sih? Mmm….jangan dilepasin di dalam ya Mas.”
Aku mengangguk sambil memperganas ayunan penisku. Biasanya kalau pihak wanita sudah orgasme, liang kemaluannya suka jadi becek. Tapi vagina Rahmi tidak. Entah apa rahasianya. Memang basah dan licin tapi tidak becek.
Tapi aku tak mau persetubuhan ini menjadi siksaan buat Rahmi. Maka setelah Rahmi orgasme lagi yang kedua kalinya, aku pun buru-buru “menyelesaikannya”. Kupercepat gerakan batang kemaluanku. Dan ketika terasa sudah mau ejakulasi, buru-buru kucabut batang kemaluanku dari liang vagina Rahmi. Aku bergerak cepat, meletakkan batang kemaluanku di antara sepasang buah dada Rahmi. Tadinya aku ingin melepaskan di buah dada Rahmi. Tapi ia cepat menangkap batang kemaluanku yang sedang gawat-gawatnya ini, kemudian menyelomotinya dengan binal sekali. Dan oooohhh….moncong penisku menembak-nembakkan air mani ke dalam mulut Rahmi. Yang membuatku terharu, Rahmi menelan seluruh air mani yang terpancar ke dalam mulutnya. Tak disisakan setetes pun.
Jujur…ini luar biasa buatku.
Episode 7
Speaker hpku sengaja kuaktifkan, supaya Rahmi bisa mendengar pembicaraanku dengan Bang Yana :
“Bang, ini orang dari Samarinda sudah datang. Copy semua sertifikat dan master plan sudah diserahkan,” kataku di dekat hpku.
“Baguslah. Kapan kamu mau survey ke Samarinda?”
“Kapan juga bisa. Tapi apa orangnya gak usah dipertemukan dengan Abang?”
“Lho…aku kan lagi di Papua.”
“Abang di Papua? Kapan terbang ke Papua? Kok aku gak dikasih tau?”
“Baru tadi pagi tibanya juga. Ada acara mendadak sih. Gak sempat ngasitau siapa-siapa. Masalah yang di Samarinda, kamu survey aja ke sana. Lalu kamu yang putuskan kelanjutannya. Kamu kan adikku. Lagian kamu bukan pemula di dunia bisnis apa pun.”
“Iya Bang. Jadi masalah M.O.U dan M.O.Anya tandatangani sama aku aja, gitu?”
“Ya iyalah. Pokoknya handle semuanya.Kamu decision makernya lah. Kamu cuma wajib lapor aja sama aku nanti. Oke?”
“Oke Bang. Mungkin dua hari lagi juga aku mau terbang ke Kaltim.”
“Oke. Uang transport dan untuk notaris segala macam nanti talangin aja dulu ya.”
“Beres Bang. Yang penting digantinya harus dua kali lipat. Hahahahaaa…”
“Alaaa….itu si soal gampang, Yad. Izin-izin sudah lengkap kah?”
“Sudah lengkap Bang. Kalau sudah clear surveynya, tinggal start aja.”
“Oke. Yang teliti kerjanya nanti ya. Pandai-pandai juga adaptasi sama penduduk setempat. Ohya, kamu harus ajak Bu Arini yang arsitek itu, supaya kalkulasinya akurat. Nanti aku telepon Bu Arininya, supaya siap-siap untuk dampingi kamu di Samarinda. Ini aku sudah mau meeting sama orang-orang Amerika.”
“Iya Bang…semoga sukses ya.”
“Amien.”
Setelah percakapan dengan Bang Yana ditutup, aku menoleh kepada Rahmi, “Dengar sendiri kan?”
Rahmi mengangguk dengan senyum manis sekali, lalu menelungkupi dadaku yang masih telanjang, mencium bibirku dengan mesra dan tanyanya, “Yang ditelepon tadi kakak kandung?”
“Iyalah, namanya juga dekat, dia Yana, saya Yadi.”
“Nama panjangnya Suryana dan Suryadi, gitu?”
Aku mengiyakan. Lalu kami tertidur pulas.
Rasanya kebersamaanku dengan Rahmi terlalu singkat. Karena dua hari kemudian kami harus terbang ke Balikpapan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Samarinda. Mbak Arini, arsitek yang selalu dipercaya untuk merancang dan melaksanakan pembangunan beberapa perumahan milik Bang Yana, masih ada kesibukan di Bandung dan baru menjumpaiku di Samarinda sehari berikutnya.
Semuanya berjalan mulus. Dengan cepat Mbak Arini melakukan tugasnya, sehingga dua hari kemudian aku dan Mbak Arini bisa meninggalkan Samarinda, menuju Balikpapan, kemudian terbang ke Jakarta.
Dalam penerbangan dari Balikpapan ke Jakarta ini, aku lebih banyak tercenung, membayangkan segala yang telah terjadi dengan Rahmi. Sampai hatiku mengumpat,”Ada apa dengan diriku ini? Kenapa wajah Rahmi terbayang-bayang terus? Apakah aku sudah jatuh cinta padanya? O, jangan! Jangan sampai ada cinta dengan siapa pun, karena aku sudah punya istri ! Aku hanya boleh mencintai istriku seorang ! Tapi kenapa wajah Rahmi terbayang-bayang terus?”
Pada saat masih berada di dalam penerbangan itulah tiba-tiba kurasakan tanganku digenggam oleh Mbak Arini yang duduk di sampingku, disertai ucapannya perlahan, “Sebenarnya saya takut naik pesawat terbang. Makanya waktu bolak-balik ke Surabaya juga selalu naik kereta api.”
“Baca-baca doa aja, Mbak…” sahutku sambil berusaha menenangkan dengan mengelus punggung tangan yang sedang meremas tangan kiriku ini.
Tapi…justru pada saat itulah otak kotorku tiba-tiba saja memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya kukhayalkan. Mengkhayalkan seperti apa rasanya kalau aku meniduri perempuan setengah baya seperti Mbak Arini ini? Jauh…jauh benar aku mengkhayalkannya.
Sampai kami mendarat dengan mulus di bandara Soekarno-Hatta pun khayalan itu tetap menggodaku. Soalnya aku belum pernah merasakan menggauli wanita setengah baya. Padahal sering aku mendengar bincang-bincang di antara teman-temanku sejak masih di SMA sampai sekarang, tentang kelebihan-kelebihan wanita setengah baya. Bahkan sering juga aku membaca di situs-situs dewasa, yang sengaja membuat wanita setengah baya sebagai salah satu kategorinya. Dan otak ngeresku lalu bertanya, “Seperti apa ya rasanya meniduri perempuan empatpuluh tahunan seperti Mbak Arini ini?”
Lalu, ketika kami duduk di café, sambil menunggu kedatangan sopirku, yang katanya terjebak macet di jalan, terlontar begitu saja tawaranku kepada arsitek kepercayaan Bang Yana itu, “Sudah malam begini, bagaimana kalau kita istirahat aja dulu di Jakarta, Mbak?”
Mbak Arini menatapku sesaat, lalu berkata, “Boleh juga tuh. Tapi besok pagi anterin saya ke Tanah Abang dulu…ada yang mau dibeli di sana.”
“Boleh,” kataku sambil mengangguk. Dan diam-diam memperhatikan Mbak Arini dengan sudut mataku. Sebenarnya dia seksi juga. Bertubuh tinggi, berkulit kuning langsat dan berwajah lumayan cantik. Dan yang paling menonjol pada dirinya, adalah bahwa tubuhnya itu tinggi montok. Seperti apa ya payudara wanita setengah baya itu? Apakah aku akan berhasil dengan tujuan ngeresku ini?
Di saat aku masih membayangkan semuanya itu, tiba-tiba hpku berdering. Herman meneleponku, “Saya sudah di depan, Pak. Apakah saya harus parkir dulu dan jemput Bapak?”
“Oh, gak usah. Tunggu aja di situ, sebentar kami ke sana,” kataku sambil bangkit dan menoleh ke arah Mbak Arini, “Mari Mbak….sopir saya sudah datang,” ajakku.
Mbak Arini pun segera bangkit dan menjinjing tas pakaiannya yang tidak terlalu besar. Lalu kami menuju ke depan, di mana mobilku sudah menunggu.
“Langsung ke Bandung, Boss?” tanya Herman setelah aku dan Mbak Arini duduk di jok belakang, sementara Herman sudah menghidupkan mesin mobilku.
“Jangan…masih ada yang mau diurus di Jakarta. Ke Palmerah aja,” sahutku.
“Siap Boss,” kata Herman sambil menjalankan mobilku di jalan ke luar.
Rasanya tanganku sudah gatal…ingin menggerayangi Mbak Arini di dalam mobilku yang sudah berada di jalan tol ini. Tapi aku hanya berani memegang tangannya sambil berkata, “Sekarang udah hilang rasa takutnya kan?”
Mbak Arini tersenyum, “Tadi, begitu mendarat juga hati saya udah plong.”
Lalu kubisiki telinganya, “Kalau masih ada takut-takutnya, nanti saya pelukin semalam suntuk.”
Mbak Arini menatapku. Dan mencubit pahaku. Lalu membisiki telingaku, “Emang mau melukin perempuan yang udah tua gini?”
Kujawab dengan bisikan lagi, “Mau banget…Mbak kan belum tua…masih sedeng-sedengnya. Umur Mbak paling juga baru tigapuluh.”
“Ngaco, saya udah tigapuluhdelapan Dek.”
“Masa?! Tapi kelihatannya seperti masih tigapuluhan kok,” kataku, sengaja ingin membuat dia senang.
Seperti diberi angin, tanganku mulai berani mengelus lututnya yang tak tertutup gaun hitamnya. Ia diam saja. Tapi ketika tanganku mau merayap ke pahanya yang terasa masih kencang, ia memberi isyarat dengan telunjuk ke arah sopirku. Maksudnya jangan melakukan sesuatu yang kurang pantas, karena sopirku bisa melihat dari kaca spion.
Terpaksa aku menahan diri, meski diam-diam batang kemaluanku sudah mulai menegang.
Gilanya, aku mulai nakal. Kutaruh bantal dari sandaranku ke atas pahaku. Lalu kutarik tangan Mbak Arini ke bawah bantal bujur sangkarku, sampai menyentuh ritsleting celana jeansku. Lalu berbisik ke telinga wanita itu, “Si ade udah bangun. Kasihan.”
Lalu kutarik ritsleting celanaku, supaya tangan Mbak Arini bisa menyentuh sesuatu yang sudah ngaceng ini. Mudah-mudahan saja ia mau melakukan yang kupikirkan.
Dan…benar-benar tangan Mbak Arini menyelusup ke dalam…ke balik celana dalamku.
Ia melotot lalu membisikiku, “Gede banget…..!”
“Nanti saya kasihin buat Mbak,” bisikku.
Ia tak berkata-kata lagi. Tapi tangannya kerasan, memegang batang kemaluanku sambil meremasnya perlahan. Membuat batang kemaluanku semakin tegang.
Tapi tak lama kemudian mobil sudah membelok ke pekarangan sebuah hotel yang sering kujadikan tempat nginap kalau sedang berada di Jakarta. Konon hotel ini dulunya sebuah apartment, namun lalu dijadikan hotel bintang tiga.
Buru-buru kutarik lagi ritsletingku sambil berkata kepada Mbak Arini, “Sudah sampai.”
Herman selalu senang kalau mengantarku ke hotel seperti ini. Karena aku selalu memberinya uang makan yang lebih banyak daripada semestinya. Hitung-hitung uang tutup mulut aja.
Kami kebagian kamar di lantai tiga. Di dalam lift, sikap Mbak Arini jadi jauh berbeda. Ia terus-terusan menggandeng lenganku. Tapi tidak lama kemudian lift itu sudah berhenti dan buka pintu di lantai tiga.
Seperti biasa, kuberi tip kepada bellboy yang mengantarkan dan menjinjing tas kami. Kemudian kututupkan pintu kamar hotel dari dalam.
Kupeluk pinggang Mbak Arini dengan nafsu yang semakin bergejolak, “Akhirnya….yang saya khayalkan sejak kita berada di Samarinda….sekarang terwujud juga,” kataku berbohong.Padahal sebenarnya pikiran ngeres itu baru timbul waktu berada di dalam pesawat terbang dari Balikpapan ke Jakarta tadi.
“Tapi…saya punya suami Dek,” kata Mbak Arini bernada membentengi diri, tapi lengannya malah mendekap pinggangku.
“Biar aja. Kan saya juga punya istri…” kataku sambil meremas-remas bokongnya yang masih tertutup gaun hitamnya.
“Saya mau mandi dulu ah. Keringat Samarinda dan Balikpapan harus dibersihkan dulu.”
“Iya,” aku mengangguk, “Saya juga harus mandi dulu. Biar badan kita bersih dan seger.”
Lagi-lagi aku berniat mengawalinya di kamar mandi. Seperti dengan Mona dan Rahmi.
Mbak Arini tidak menolak sedikit pun ketika aku mengikutinya, masuk ke dalam kamar mandi. Tenang saja ia melucuti dirinya sendiri, sampai tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. “Tuh lihat….badan yang sudah tua gini gak menarik lagi kan?” cetusnya sambil melepaskan kancing kemeja tangan pendekku satu persatu.
“Siapa bilang? Berani sumpah….Mbak sangat seksi di mata saya,” kataku sambil meremas buah dada montoknya yang ternyata masih kencang juga. Pasti ada perawatan khusus yang membuat payudara montoknya masih kencang.
Ketika aku sudah telanjang, Mbak Arini pun melepaskan celana dalamnya. Hmmm…indah sekali tubuh wanita setengah baya ini. Ia punya sepasang payudara yang gempal, pinggang yang kecil dan bokong yang besar. Sehingga kalau diumpamakan, tubuh Mbak Arini itu laksana biola stradivarius.
Dan ketika pandanganku tertumbuk ke bagian di antara kedua pangkal paha Mbak Arini, wow….tampak sebentuk kemaluan berbulu lebat sekali. Aku suka banget melihatnya. Dan tak sabar lagi, ingin segera menjamahnya.
Tapi Mbak Arini malah mendahuluiku. Ia memegang batang kemaluanku yang masih berdiri kencang ini sambil geleng-geleng kepala, “Edan…ternyata ada juga ya penis yang sebesar dan sepanjang gini…”
AKu membalasnya dengan mengelus kemaluan Mbak Rini sambil berkomentar, “Ternyata ada juga ya kemaluan berjembut selebat gini…merangsang sekali Mbak…oooh….bisa berhari-hari saya tahan Mbak di sini nanti.”
“Boleh aja. Saya malah belum telepon suami. Saya gak bilang kalau hari ini sudah terbang ke Jakarta. Pasti disangkanya saya masih di Samarinda. Karena saya minta izinnya seminggu. Ternyata dua hari juga tugas saya sudah selesai.”
“Oke, berarti Mbak masih punya waktu lima hari lagi. Mulai malam ini kita punya tugas yang sama selama lima hari.”
“Apa tuh tugasnya?”
“Harus saling memuasi satu sama lain.”
“Hmmm….siapa takut?” desis Mbak Arini sambil memegang penisku dengan tangan kanan, lalu mencolek-colekkan ke belahan kemaluannya yang dingangakan oleh tangan kirinya.
Tiba-tiba terdengar bunyi hp berdering. Mbak Arini kaget dan bergegas lari ke luar kamar mandi dalam keadaan telanjang. Memang hp dia yang berbunyi. Aku pun ikut nguping di ambang pintu kamar mandi.
Mbak Arini berkata di dekat mic hp yang ditempelkan ke kupingnya,”Iya Mas…sehat…Mas sama anak-anak sehat juga kan?……..banyak banget kerjaannya Mas…sepertinya sepuluh hari lagi baru selesai. Gakpapa kan? Iya…iya….makasih Mas. Iya…Mas juga take care ya. Emwuaaah….”
Mbak Arini menutup sambungan teleponnya. Lalu melemparkan hpnya ke atas kasur. Lalu menghampiriku sambil berjingkrak-jingkrak, “Asyiiiik ! Saya dikasih izin sepuluh hari lagi ! Hihihihi….asyiiiiik !:”
Aku ikut senang mendengarnya.Karena kata-kata Mbak Arini itu kuanggap sebagai gambaran, bahwa ia ingin berlama-lama denganku di hotel ini. Bodoh sekali kalau aku menolak makanan lezat yang sudah tersaji di depan mataku ini. Aku akan bisa menikmatinya selama sepuluh hari sepuluh malam. Pasti aku akan kenyang menggasaknya kapan saja aku mau.
Mungkin besok aku pun akan menelepon istriku dan kasih laporan bahwa pekerjaanku di Samarinda masih banyak sekali.
Ketika Mbak Arini sedang mengikat rambut panjangnya, aku mulai memutar kran shower air panas. Membersihkan badanku dengan sabun cair yang selalu kubawa tiap kali bepergian.
Ketika Mbak Arini menghampiriku, langsung kupeluk pinggangnya sambil mendaratkan kecupan di bibir sensualnya. Air hangat memancar dari shower, membasahi tubuh kami. Aku pun jadi bersemangat untuk menyabuni tubuh yang masih terasa padat itu.
“Mbak suka senam ya?” cetusku waktu menyabuni buah dada Mbak Arini.
“Iya,” Mbak Arini mengangguk, “Kan biar jangan cepat gembyor…”
Aku tak mau berkata-kata lagi, karena mulai asyik menyabuni kemaluan Mbak Arini seperti pernah kulakukan kepada Rahmi beberapa hari yang lalu. Di sini aku bisa menyimpulkan, bahwa lain perempuan lain rasa dan kesannya. Jadi salah sekali kalau orang bilang “Perempuan kan sama saja rasanya. Makanya satu istri aja takkan habis”. Tapi biarlah ada orang berpendapoat seperti itu. Yang jelas, waktu menyabuni kemaluan Mbak Arini ini sensasi yang ditimbulkan berbeda dengan penyabunan kemaluan Mona maupun Rahmi. Terasa empuk-empuk kenyal waktu dua jariku menyelusup ke dalam liang kemaluan arsitek ini. Apalagi Mbak Arini makin lama makin aktif. Terus-terusan menyabuni batang kemaluanku dan menggerak-gerakkan genggamannya seperti sedang mengocok penisku. Bahkan pada suatu saat ia berjongkok di depanku. Menyelomoti batang kemaluanku dengan lahapnya.
Tapi aku tak mau berlama-lama dioral olehnya, takut ngecrot sebelum waktu yang kuinginkan. Maka kugerakkan tubuhnya agar berdiri lagi. Kukecilkan pancaran shower air hangat itu. Lalu dengan sigap kumainkan lagi liang kemaluannya dengan jemariku, dibantu oleh licinnya air sabun. Dan ketika ia mencolek-colekkan lagi batang kemaluanku ke mulut vaginanya, aku tak mau pasif lagi. Kudorong batang kemaluanku dan…..blesssssssssssss….langsung masuk dengan mudahnya ke dalam liang yang empuk dan hangat dan licin itu.
“Duuuh…dimasukin?! Aaaaah…terasa banget panjang gedenya….” Mbak Arini berdiri menyandar di dinding kamar mandi, sementara aku langsung lancar mengentotnya. Batang kemaluanku lancar sekali maju mundur di dalam liang kemaluan wanita setengah baya ini. Dan kedua tanganku bebas menggerayangi toge dan bogenya.
Mbak Arini pun tidak bersikap pasif. Meski sambil berdiri menyandar ke dinding, ia masih bisa meliuk-liukkan pinggulnya, sehingga batang kemaluanku serasa dibesot-besot, diperas-peras dan dipilin-pilin oleh liang kemaluannya.
Ketika aku meremas-remas bokongnya, ia pun membalas dengan meremas-remas bokongku. Dan desahan-desahan histerisnya mulai mengalahkan bunyi gemericik air yang terpancar kecil dari shower. Aaaah….hhhh….shhhhhh….hsssssss….shhhhhhh…hssssssss….shhhhhhh…..
Terkadang ia pun berkata tersengal-sengal, “Aaaa….aaaah Deeek…..ini ee…enak bangeeet…Deeek……..ooooh…………”
Dan: “Uuuuhhhh….sa….ssaya udah mau….mau lepas Deeek…ooooh….iya…entot yang kencang Deeeek…iya…iya gitu…oooooh….mmmmmmmmmmhhhhh…”
Sebenarnya aku pun tak mau berlama-lama lagi bersetubuh sambil berdiri begini. Karena itu aku berusaha mempercepat ejakulasiku dengan mempercepat dan memperkeras enjotanku…sampai akhirnya kubenamkan sekuat-kuatnya….disusul dengan berloncatannya semprotan air mani dari moncong meriamku……ooooh…fantastis sekali ngecrot berbarengan dengan orgasme partner seksualku…..sehingga kami saling cengkram seolah ingin meremukkan tubuh partner kami….
“Maaf, tadi dilepas di dalam, gakpapa kah?” tanyaku setelah mencabut batang kemaluanku yang sudah melemah.
“Gakpapa,” sahut Mbak Arini, “saya kan ikutan KB. Duuuh…barusan kok edan banget sih rasanya? Punya Dek Yadi panjang gede gitu sih….”
Aku cuma tersenyum lesu, karena letihnya habis ejakulasi.
Tapi kami mandi lagi sebersih-bersihnya. Mbak Arini lebih teliti lagi membersihkan setiap sela di tubuhnya, termasuk kemaluannya yang berlepotan spermaku.
“Segerrrr…” kata Mbak Arini setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
“Tapi jadi lapar,” kataku yang sudah duluan mengenakan pakaian.
“Restorannya di bawah ya?”
“Iya, di lantai satu. Ngapain turun ke bawah? Pesan aja, nanti dikirim ke sini.”
Aku keluar duluan. Mendekati pesawat telepon yang terletak di atas meja kecil dekat tempat tidur. Lalu kupijit nomor restoran hotel.
“Saya mau nasi goreng seafood,” kata Mbak Arini sambil menghampiriku, dengan cuma melilitkan handuk hotel di pinggangnya.
“Sama,” aku mengangguk, “minumnya apa?”
“Air jeruk panas aja. Jangan jus dingin.”.
Lalu aku bicara dengan bagian dapur, “Minta nasi goreng seafood dua, air jeruk panas satu, bir hitam dingin tiga botol ya.”
Setelah makan dan menghabiskan bir hitam dua botol, aku mengajak Mbak Arini jalan-jalan, tapi ia menolak, “Udah kemaleman…Mending juga di sini…besok siang aja kalau mau jalan-jalan sih.”
“Iya ya…mendingan juga berduaan gini…tenang, gak ada yang ganggu,” kataku sambil memasukkan tanganku ke belahan kimononya yang terbuat dari kain handuk biru muda. Dan berhasil menyentuh kemaluannya yang berbulu lebat itu, karena ia tidak mengenakan celana dalam.
“Mbak…” kataku waktu tanganku sedang mengelus bulu kemaluan Mbak Arini di balik kimononya, “punya Mbak enak banget…sangat mengesankan….”
“Punya Dek Yadi juga enak banget,” katanya sambil memasukkan tangannya ke balik celana piyamaku dan langsung menggenggam batang kemaluanku. Lalu kurasakan remasan lembutnya, membuat penisku menegang lagi.
“Mbak…dalam semalem kuat berapa kali?” tanyaku sambil menyelinapkan jemariku ke celah kemaluannya yang terasa hangat.
“Saya kan perempuan. Yaaa…sekuatnya suami saya aja…”
“Delapan kali semalam kuat gak?”
“Sepuluh kali juga kuat…perempuan kan gak perlu nunggu ngaceng dulu seperti laki-laki.”
“Ohya?! Pernah threesome gak?”
“Dua cewek satu cowok maksudnya?”
“Kebalik. Dua cowok satu cewek.”
“Belum sih. Nonton di bokep mah sering.”
“Gangbang gimana?”
“Ah, gak mau gangbang mah. Nontonnya aja takut.”
“Kalau threesome mau?”
“Iiih…sama siapa?”
“Saya punya sahabat. Kalau diajak pasti mau Mbak.”
“Iiih…masa sih?”
“Kan jangan kepalang bikin petualangan. Mbak bisa dibikin sangat puas lho.”
“Iyalah…pasti kenyang…dipuasin sama dua cowok. Tapi gak usah mengkhayal deh.”
“Saya gak mengkhayal. Kalau sobat itu saya telepon, besok juga pasti datang ke sini.”
Mbak Arini terlongong. Seperti mempertimbangkan tawaranku.
“Umurnya sebaya dengan umur saya. Orangnya juga ganteng, kayak saya lah. Dan…penisnya kira-kira sama dengan punya saya. Malah rada panjangan dikit…”
“Masa?” Mbak Arini menatapku. Dan aku yakin dia sudah mulai tertarik.
“Kita telepon sahabat saya itu ya,” kataku sambil melihat-lihat reaksi Mbak Arini. Tapi ia tidak bereaksi.
Lalu kuambil hpku dan kupijat nomor Edo. Speakernya sengaja kuaktifkan supaya Mbak Arini bisa ikut mendengarkan.
“Lagi di mana?”
“Di Jakarta, Boss. Saya dengar Boss lagi di Samarinda ya?”
“Iya, lagi ngurus pekerjaan kakak saya. Tapi sekarang sudah di Jakarta juga.”
“Ohya?! Kalau gitu saya bisa numpang pulang ke Bandung dong Boss.”
“Gampang itu sih. Hihihihi…ada kabar baik nih…ada ibu arsitek sekarang sedang bersama saya. Mau join?”
“Serius Boss?!”
“Kapan saya pernah bohongin sahabat sendiri?”
“Oke… saya segera merapat. Di mana Boss sekarang?”
Lalu kusebutkan nama dan alamat hotel tempatku menginap. Sekalian kusebut nomor kamarku juga.
Setelah menutup hubungan telepon, aku menoleh ke arah Mbak Arini, “Kebetulan sahabat saya itu lagi ada di Jakarta. Berarti kita akan menghabiskan malam ini dengan sesuatu yang luar biasa.”
“Dek Yadi pernah maen threesome sama cewek lain ya?”
“Jujur aja pernah. Tapi cuma satu kali itu. Dengan sahabatku itu juga. Wuiih….pokoknya seru Mbak. Potensi saya seolah meningkat drastis. Yang biasanya paling kuat cuma dua kali sehari, bisa jadi lima kali. Teman saya juga sama….”
“Wow, kalau dijumlahkan jadi sepuluh kali cewek itu digauli sama Dek Yadi dan temannya?”
“Hehehe…memang iya.”
“Tapi ceweknya bukan PSK dan sejenisnya kan?”
“Oh, sorry Mbak. Seumur hidup saya belum pernah menyentuh PSK, perek dan sebangsanya.”
“Takut kena penyakit ya?”
“Ya iyalah. Seninya juga gak ada.”
Mbak Arini tersenyum. Lalu menciumi pipi dan leherku.
“Mbak udah siap threesome kan?” tanyaku.
“Hmmm…gimana ya? Mmmm…Iya deh. Kepalangan basah. Tapi…teman Dek Yadi itu ganteng gak?”
“Ganteng Mbak. Lihat aja nanti.”
“Ih…saya jadi degdegan. Soalnya belum pernah gitu-gituan. Yang namanya selingkuh aja baru ngalami sekarang.”
“Ohya? Tapi jujur deh…yang tadi enak kan?” kataku sambil menanggalkan kimono Mbak Arini, lalu mendorong dadanya agar celentang.
“Kalau gak enak, saya udah ngajak pulang sekarang,” katanya sambil merenggangkan sepasang paha mulusnya, karena aku mulai mendekatkan wajahku ke kemaluannya yang berbulu lebat.
Dan Mbak Arini cuma menatap plafon kamar hotel, tak berkata-kata lagi, karena tanganku mulai menyibakkan bulu kemaluannyabibir dan lidahku, sementara bibir dan lidahku mulai menggasak bibir kemaluannya….lalu menjilati kelentitnya…mula-mula lembut saja….tapi makin lama makin menggila….sehingga kurasakan kedua kakinya mulai terkejang-kejang.
Baru beberapa saat kulakukan itu, Mbak Arini sudah memberi isyarat agar aku mulai memainkan peran penisku. Aku pun naik ke atas tubuh Mbak Arini yang sudah siap untuk kusetubuhi lagi ini. Dengan sekali dorong saja batang kemaluanku berhasil kubenamkan ke dalam liang surgawi Mbak Arini….blesssssssssssssssssssss…….
DIsusul dengan dekapan hangatnya arsitek kepercayaan kakakku itu. Maka aku pun mulai mengayun batang kemaluanku….makin lama makin cepat…..membuat Mbak Arini terengah-engah lagi.
Namun tiba-tiba terdengar dering hpku yang kuletakkan di dekat bantal. Kulambatkan gerakan penisku, karena aku sedang mengambil hpku. Lalu kudengar suara Edo di hpku, “Boss…saya sudah di depan pintu kamar Boss.”
“Buka aja, gak dikunci,” sahutku singkat. Lalu kulanjutkan mengenjot Mbak Arini yang terasa makin nikmat ini.
“Gak… dikunci?” tanya Mbak Arini heran.
“Iya…biar kita jangan terganggu,” kataku sambil mempercepat ayunan batang kemaluanku.
“Tapi…ki…kita lagi telanjang….lagi beginian…”
“Sttt…jangan ribut….dia kan bakal gabung sama kita….”
Pintu kamar hotelku terbuka. Tampak Edo masuk, dengan celana denim dan baju kaus yang sama-sama hitam warnanya. Jujur kuakui, Edo itu ganteng. Mungkin aku kalah sedikit kalau dibandingkan dengan dia.
“Waaah…pertandingannya sudah dimulai,” Edo menghampiriku setelah menutupkan dan mengunci pintu.
Mbak Arini tampak canggung waktu Edo mulai mendekati kami. Mungkin karena ia malu, ada orang yang belum dikenal melihatnya dalam keadaan telanjang dan sedang disetubuhi pula.
Aku sengaja mengangkat kepala dan dadaku dengan menahankan kedua telapak tangan di kasur. Kataku kepada Edo, “Kenalan dulu dong…ini Mbak Arini….ini Edo…tapi kenalannya jangan pake tangan….harus pake bibir….biar langsung akrab.”
Mbak Arini seperti terkejut mendengar usulku itu. Tapi Edo langsung membungkuk dan mengarahkan wajahnya ke wajah Mbak Arini, lalu mencium bibir arsitek seksi itu. Bahkan agak lama mereka berciuman.
“Oke….cukup…” kataku, “kami mau selesaikan dulu ya….nanggung nih….tapi kalau mau nonton, harus telanjang dulu, biar fair…”
Edo melepaskan ciumannya di bibir Mbak Arini, lalu menanggalkan baju kaus dan celana denimnya. TInggal celana dalam yang masih tersisa di tubuhnya. Lalu ia duduk di dekat kapala Mbak Arini, menyandar ke sandaran bed.
Dan…ternyata Mbak Arini tidak tinggal diam. Tangannya diam-diam merayap ke pangkal paha Edo yang sedang duduk melonjorkan kaki di dekat kepalanya. Lalu kulihat tangan Mbak Arini masuk ke balik celana dalam Edo. Padahal aku sudah mempercepat ayunan penisku lagi.
Mungkin Mbak Arini ingin membuktikan ucapanku, bahwa penis Edo panjang gede seperti punyaku.
Di sisi lain, aku punya penilaian tersendiri mengenai Mbak Arini ini. Mungkin sebenarnya ia seorang wanita hypersex, namun selama ini cuma mendapatkan persetubuhan yang biasa-biasa saja. Maka mungkin Mbak Arini di dalam hatinya menyambut ide threesome ini, meski sikapnya pura-pura begini lah begitulah….hahahaaa…maklum perempuan, suka pura-pura ogah padahal pengen. Terbukti kini, ketika aku masih asyik mengenjot vaginanya, Mbak Arini malah asyik memainkan tangannya di balik celana dalam Edo. Bahkan lalu ia menyembulkannya dari balik celana dalam itu.
Mungkin Mbak Arini sudah gemas, ingin segera merasakan terjangan batang kemaluan Edo. Aku pun tak mau egois. Kupercepat enjotan batang kemaluanku, dengan maksud ingin cepat-cepat ejakulasi, agar Mbak Arini segera bisa menikmati kehangatan sahabatku.
Aku pun merasakan hendak ejakulasi. Cepat kucabut batang kemaluanku dari liang vagina Mbak Arini, secepatnya juga kuurut-urut penisku di atas perut perempuan seksi itu. Dan….sretttt…sraaaaattt…sret….srottttt…..sret…sret… moncong penisku menembak-nembakkan spermaku ke atas perut Mbak Arini.
Sengaja hal itu kulakukan, agar Edo tidak cuma kebagian lubang becek. Hahahaaa…
Ada perasaan cemburu ketika melihat Edo disambut dengan sikap bergairah waktu sudah telanjang dan mulai menggumuli Mbak Arini dengan garangnya. Namun itu cuma salah satu resiko berthreesome. Karena mungkin saja Mbak Arini sekarang lebih tertarik pada figur Edo.
Biarlah. Toh aku sudah ejakulasi. Mendingan juga ke kamar mandi, lalu mandi dengan air hangat, supaya badanku segar lagi.
Episode 8
Rasanya aku sudah jauh sekali melangkah dalam perselingkuhan demi perselingkuhan. Seolah-olah aku ini tak punya istri dan anak yang sedang lucu-lucunya. Namun aku selalu berhasil menutupi semuanya itu, sehingga istriku tak pernah curiga. Istriku terlalu yakin bahwa cintaku hanya untuknya seorang. Maka takkan ada wanita lain yang bisa mengganggu kerukunan kami.
Memang dalam soal kerukunan itu aku selalu menjaganya. Sering aku merasa harus mengalah jika ada perbedaan pendapat antara aku dan istriku.
Untungnya bisnisku selalu dinaungi bintang terang, sehingga aku selalu berhasil “menyetorkan” uang kepada istriku, sebagai tanda keberhasilanku dalam berbisnis. Karena itu istriku tak pernah mempermasalahkan kalau aku pulang tengah malam, bahkan meski aku berhari-hari tidak pulang, istriku tak pernah complain. Soalnya aku selalu meneleponnya dan melaporkan sedang di mana dan sedang ngapain. Padahal seringkali laporan itu cuma suatu kebohonganku, tapi aku selalu berhasil meyakinkan istriku, mungkin karena pandainya aku memoles “laporan”ku.
Aku ingat kata-kata mutiara yang selama ini kujadikan pegangan. Bahwa “Wanita percaya pada cerita, tapi lelaki percaya kepada fakta”. Dengan senjata itu aku selalu berhasil meyakinkan istriku. Misalnya, “Sayang ini aku sudah sampai di anu, take care selama aku belum pulang, ya sayang”. Lalu…setiap aku pulang, aku tahu makanan apa yang sangat disukainya. Maka dengan membawa oleh-oleh makanan kesukaannya itu saja istriku sudah tampak gembira. Apalagi kalau ditambah dengan sejumlah uang hasil bisnisku. Padahal sebenarnya uang yang kusetorkan kepada istriku hanya sekian persen dari hasil usahaku yang sebenarnya. Tapi untungnya istriku juga punya usaha yang bisa diandalkan, sehingga ia tak terlalu mempersoalkan penghasilanku. Dan memang penghasilanku sering meledak-ledak, sering jauh lebih besar daripada penghasilan istriku. Karena itu aku selalu bisa menyembunyikan sebagian daripaada penghasilanku, untuk keperluan pribadiku.
Memang dari lubuk hatiku yang terdalam, aku merasa bersalah…katakanlah merasa berdosa kepada istriku yang begitu setianya padaku. Aku sering berselingkuh secara fisik, sering berselingkuh pula dalam hal keuangan. Bahkan aku memiliki beberapa buku tabungan yang selalu kusimpan rapi, yang tak mungkin terjangkau oleh istriku. Aku juga bisa menyembunyikan kartu-kartu ATMku di bawah ban serep di bagasi sedanku. Kalau sedang membutuhkannya, baru kusiapkan diam-diam sebelum berangkat.
Pernah waktu sedang di luar kota sopirku menemukan amplop berwarna coklat muda dari bawah ban serep, “Pak…ini apa?” tanyanya. Membuatku agak kaget, karena amplop itu berisi ATM-ATMku. Tapi enak saja aku menemukan jawabannya, “Hush ! Kamu jangan sentuh-sentuh amplop itu ! Itu jimat dari dukun. Biar rejeki kita selalu mengalir.”
“Oh…maaf Pak,” kata sopirku, tanpa mengetahui bahwa hatiku sedang menertawai diriku sendiri, karena aku tak pernah percaya kepada perdukunan.
Terkadang aku merasa sangat berdosa kepada istriku. Karena aku sudah terlalu banyak berselingkuh dan membohonginya. Dan yang paling kusesalkan adalah sering hilangnya gairah seksualku manakala sedang bersamanya. Mungkin karena di luaran aku sering mengalami yang luar biasa, sehingga potensiku seolah dikuras habis-habisan. Setelah pulang ke rumah, aku seolah cuma jadi lelaki loyo. Tak bertenaga lagi untuk memuasi istriku.
Untungnya istriku tak pernah menuntut kepuasan batin padaku. Ia seolah diciptakan hanya untuk mengikuti kemauanku. Dan tidak mau complain kalau aku tidak menggebu-gebu di ranjang.
Erni, istriku, memang berasal dari salah satu propinsi di Sumatra, yang terkenal taat beribadah, setia, selalu siap membantu suami, siap bahu membahu dalam mencari uang, tak selalu cuma menengadahkan telapak tangan kepada suami. Dan aku sudah membuktikan semuanya. Bahwa ia setia padaku. Bahwa ia tidak mau berpangku tangan, lalu berusaha membantuku dengan membuka toko yang makin lama makin besar itu. Sementara dalam soal seks, sepertinya ia tidak mempermasalahkannya.
Tapi apakah benar ia tidak mempermasalahkannya? Bukankah ia sering memutar dvd-dvd bokep koleksiku secara diam-diam kalau aku tak di rumah? Aku tahu itu, karena ia suka cerita mengenai adegan bokep yang baru ditontonnya setelah anakku tertidur.
Ketika aku curhat kepada Edo, ternyata ia juga mengalami hal yang mirip dengan yang kualami.
“Sama,” kata Edo, “Saya juga seperti kehilangan gairah dengan istri saya sendiri. Mungkin karena kita terlalu banyak melakukan yang fantastis di luaran.”
Begitulah awalnya. Awal kisah baru di dalam kehidupanku.
Berlanjut dengan percakapan bersama Edo di sebuah rumah makan.
“Sebenarnya kasihan juga istri kita ya Boss. Kita enak-enakan di luar dengan mangsa-mangsa kita. Sementara istri kita dibiarkan nganggur,” kata Edo setelah mencuci tangannya di washtafel rumah makan.
“Mungkin kita harus minum viagra kalau punya niat mau meniduri istri,” kataku.
“Jangan Boss,” sanggah Edo, “Kita kan masih muda. Kita harus yang alamiah aja. Jangan pakai obat-obatan segala.”
“Iya sih.” sahutku, “tapi gimana ya….film-film bokep aja seperti gak mempan lagi. Saya sudah gak terangsang sama film-film gituan. Malah istri saya yang sering nonton sendirian sehabis menidurkan anak saya.”
Edo mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Boss…maaf nih ya…saya ada usul…”
“Usul apa?” tanyaku penasaran.
“Sekali lagi maaf ya….saya cuma usul….”
“Iya…usulnya apa?”
“Gimana kalau kita swing aja?”
Aku terkejut mendengar usul sahabatku itu. Jujur, aku tak pernah memikirkan sejauh itu sebelumnya. Tapi diam-diam aku tertarik juga pada usul sahabatku itu. Membayangkannya saja sudah deg-degan, apalagi kalau sudah benar-benar dilaksanakan. Bahwa aku akan menikmati tubuh Raisha, sementara Edo akan menikmati tubuh istriku.
“Usul bagus !” kataku sambil menepuk bahu Edo, “Tapi perlu waktu untuk membuat istri kita setuju.”
“Tapi Boss sendiri setuju?” Edo memandangku.
“Setuju,” aku mengangguk.
“Nah…kalau gitu saya akan berusaha membujuk istri saya. Mudah-mudahan dia mau. Kalau gak mau, kita cari sasaran baru aja, ya?”
“Hihihi…iya. Saya juga harus bisa membujuk istri saya dulu. Mungkin rada alot…karena dia sangat tradisional orangnya.”
“Saya punya banyak koleksi film swinger, Boss. Apa Boss membutuhkannya untuk sarana bujuk-bujuk?”
“Boleh…boleh…nanti saya pinjam ya,” kataku, “Akan saya ajak nonton bareng, sambil mempengaruhi dia…pokoknya supaya dia bisa dibujuk.”
Aku sudah banyak bertualang dari perempuan satu ke perempuan lain (Bahkan banyak yang tidak kutuliskan di sini, karena kuanggap tak terlalu penting). Tapi kalau bertukar istri seperti yang Edo usulkan itu, belum pernah kulakukan. Bahkan membayangkannya pun belum pernah. Karena itu aku masih bingung, darimana aku harus memulainya?
Ketika memutar dvd-dvd swinger itu bersama istriku, diam-diam aku memperhatikan reaksinya pada waktu menonton adegan pertukaran istri itu. Kebetulan filmnya masih konvensional, jadi pertukaran itu lewat proses dulu. Tidak ujug-ujug heboh ML aja.
“Iiih….tukeran istri ya Bang?” cetus istriku yang tampak serius nonton film itu.
“Iya…asyik juga ya? Mereka melakukan semacam refreshing gitu…”
“Orang barat sih bisa semaunya. Tapi bangsa kita sih gak gitu Bang.”
“Ah…kamu gak tau aja…bangsa kita juga banyak yang melakukannya. Malah sekarang sudah ada club-club swinger di kota-kota besar.”
“Masa sih?”
“Betul. Makanya buka-buka internet dong. Supaya tau perkembangan.”
“Ah…waktuku gak ada Bang. Dari pagi sampai malam waktuku dihabisin sama urusan toko.”
Aku tidak membantahnya. Sementara istriku tampak serius menonton film yang tengah diputar itu.
“Kayaknya sih asyik juga tukar pasangan gitu ya,” kataku sambil menyelusupkan tanganku ke balik daster istriku, lalu menyelinap ke balik celana dalamnya.
“Emang Abang rela kalau aku digituin sama lelaki lain?” cetus istriku dengan pandangan tetap tertuju ke layar monitor DVD playerku.
“Rela lah…malah bisa jadi perangsang hebat buatku,” sahutku sambil mulai mencelupkan jemariku ke liang kemaluan istriku yang mulai membasah, “Lagian kalau tukar pasangan gitu kan adil. Tidak ada yang dirugikan.”
“Iiih…Abang mengkhayal….” cetus istriku sambil melepaskan celana dalamnya, sengaja memberi keleluasaan padaku untuk menjelajahi kemaluannya. Bahkan lalu ia mengoral penisku, membuatku jadi agak bergairah juga.
Kemudian aku memaksakan diri menyetubuhiku, meski sebenarnya gairahku kurang full. Tapi…ketika aku membayangkan istriku sedang disetubuhi Edo, wuih…gairahku mendadak berkobar dengan hebatnya. Bahkan segala posisi kami lakukan.
Lebih dari sejam aku menyetubuhi istriku. Sampai keringatku bercucuran. Istriku juga sepertinya mengalami orgasme lebih dari satu kali.
“Tumben…lain dari biasanya,” kata istriku setelah semuanya selesai.
“Tau gak? Tadi aku bayangkan kamu sedang disetubuhi oleh lelaki lain. Aneh tapi nyata. Ketika kubayangkan hal itu, gairahku mendadak muncul….”
“Hihihi…Bang Yadi ada-ada aja.”
Kucium bibir istriku. Biasanya dengan ciuman begini ia bisa kubujuk, terutama kalau aku sedang menginginkan sesuatu.
Lalu kuelus payudaranya yang masih kencang, karena selalu dirawat. “Sayang,” kataku, “Sebenarnya ada orang yang mengajak swing…minta tukar istri semalam saja..”
Istriku terlongong. Lalu bangkit dan duduk menghadapiku. “Serius ini Bang?” tanyanya sambil menatapku dengan sorot tajam.
Aku mengangguk, “Sangat serius. Dan aku sudah telanjur menyetujuinya.”
“Gila ! Masa Abang gitu?”
“Orangnya sangat dekat denganku. Dia memiliki masalah yang sama denganku. Jadi kurang bergairah dalam soal seks dengan istrinya.”
“Siapa orangnya? Pak Tino?”
“Hush…bukan. Pak Tino sih udah tua. Gak seimbang dong dengan kita.”
“Lantas siapa?”
“Edo.”
“Hah?! Edo? Istrinya kan cantik….”
“Kalau soal rupa dan kulit, kamu menang, sayang.”
“Terus…abang setuju pada ajakan gila itu?”
“Bukan ajakan gila. Orang-orang sudah banyak yang melakukan swing. Malah ada clubnya segala. Kita kan masih terbatas, mau melakukan dengan orang yang dekat dengan kita. Orang yang sudah bertahun-tahun kita kenal.”
“Iiih…emangnya Bang Yadi udah gak cinta lagi ya padaku?”
“Aku sangat-sangat-sangat cinta padamu, sayang. Kita hanya akan melakukan refreshing. Gak ada hubungannya dengan cinta.”
Istriku tertunduk.
“Kalau kamu sudah setuju, kita sewa aja villa yang kecil…yang punya kamar dua juga cukup. Jadi kita gak berjauhan. Malah kalau keadaan memungkinkan, kita lakukan di satu ruangan juga bisa.”
Istriku memegang kedua pipinya, “Iiiih…gak kebayang….emangnya Abang serius?”
Aku peluk istriku semesra mungkin, “Aku sangat serius sayang. Jangan anggap ini suatu kegilaan. Ini justru akan membuat perkawinan kita semakin bergairah.Percayalah.”
“Jadi…nanti ngapain aja sih?” istriku menatapku lagi dengan sorot tajam.
“Kita kan cari villa yang punya dua kamar saja. Jadi setelah ngobrol-ngobrol, kamu masuk ke salah satu kamar, bersama Edo.”
“Dan Abang masuk ke kamar satunya lagi dengan istri Edo? Gitu?”
“Ya, begitulah kira-kira. Kita pisah kamar, supaya jangan pada canggung. Setelah kita sudah kuat mental sih, kita lakukan di satu ruangan juga bisa aja.”
Tiba-tiba hpku berdering. Call dari Edo. Kubuka:
“Boss….Raisha sudah setuju…meski alot juga membujuknya. Mbak Erni gimana?”
“Kelihatannya 90% sudah oke. Agak sabaran dikit ya.”
“Oke Boss. Tapi kalau bisa, kita tukaran foto…pake hp aja. Saya sudah foto Raisha beberapa kali. Kalau bisa Boss juga fotoin Mbak Erni….mmm…maaf, Boss…maksud saya foto dalam keadaan nude.”
“Oke,oke….Besok saya ke rumah deh.”
Setelah pembicaraan dengan Edo ditutup, kuminta istriku berpose di depan kamera hpku. Kebetulan ia masih telanjang. Ia kebingungan, tapi diikutinya juga permintaanku.
10 foto istriku dalam keadaan telanjang sudah tersimpan di hpku. Ia tidak terlalu heran, karena aku sering memfotonya dalam keadaan telanjang. Bahkan waktu sedang hamil pun kufoto dalam keadaan bugil. Tapi kalau dia tahu bahwa foto-foto itu untuk barter dengan foto-foto bugil istri Edo, entah bagaimana reaksinya.
“Bang…nanti setelah masuk ke kamar masing-masing, harus ngapain aja?” tanya istriku, membuatku gembira, karena ada tanda bahwa hatinya sudah bisa mengikuti jalan pikiranku.
“Ya saling cumbu aja….lalu…selanjutnya apa pun yang bisa terjadi, lakukan aja. Asal kamu jangan merasa terpaksa.”
“Kalau Edo pengen ML gimana?”
“Hehehe…emang tujuannya ke situ. Tapi hadapi aja dengan santai. Kan aku juga gak jauh, cuma beda kamar doang.”
Istriku tercenung, seperti berpikir jauh. Rasanya membujuk istriku jauh lebih sulit daripada merayu perempuan di luaran sana.
Tapi esok paginya aku mengunjungi rumah Edo. Kebetulan Raisha sedang ke pasar, sehingga aku bisa ngobrol bebas dengan sahabatku itu. Bisa saling lihat foto istrinya dan istriku.
Ketika kami tukaran hp dan sama-sama melihat foto-foto telanjang istri kami, kami sama-sama terlongong. Aku terlongong menyaksikan foto-foto Raisha dalam keadaan telanjang, sementara Edo juga terlongong menyaksikan foto-foto istriku dalam keadaan telanjang.
Kalau aku menilai secara objektif, baik Raisha maupun istriku sama-sama punya kelebihan masing-masing. Istriku berwajah cantik, berkulit putih bersih dan agak montok. Sementara Raisha berwajah manis, bertubuh tinggi langsing dan berkulit *saya-tukang-spam*.
“Waduh Boss…..istri Boss ini….seksi banget….” komentar Edo sambil memperhatikan foto-foto istriku seakan mau menelannya.
Aku tak menanggapinya. Tapi hatiku berkata, wah….Raisha ini benar-benar typeku. Manis dan bertubuh semampai gini…mmmm….
Meski aku tidak memberi komentar apa-apa, sebenarnya penisku diam-diam langsung ngaceng setelah mengamati foto-foto Raisha dalam keadaan telanjang bulat itu.
Lalu kami sharing semuanya itu lewat bluetooth di hp kami. Hpku sudah pnuya foto-foto naked Raisha, sementara hp Edo pun sudah berisi foto-foto naked istriku.
Hari itu adalah hari Kamis. Kami sepakat untuk melaksanakan rencana kami dua hari berikutnya. Edo bertugas untuk mencari villa yang kami inginkan di daerah yang tak terlalu jauh dari kota kami. Lalu kami rundingkan bagaimana skenario terbaik untuk melaksanakan swing itu. Maklum, ini pertama kalinya kami akan melakukan swing, sehingga kami harus memikirkan cara yang sehalus mungkin, jangan terlalu vulgar seperti di film-film bokep.
Sebelum Raisha pulang dari pasar, aku sudah meninggalkan rumah Edo, dengan rencana yang sudah dimatangkan. Bahwa pada hari Sabtu lusa, jam sepuluh pagi kami akan bertemu di villa yang tak jauh dari kota kami.
Aku tidak langsung pulang. Mampir dulu di toko obat, membeli “obat khusus pria” untuk hari Sabtu lusa.
Dua jam kemudian aku belum pulang juga. Malah asyik nongkrong di foodcourt sebuah mall. Pada saat itulah kuterima telepon dari Edo:
“Villa sudah dapat Boss. Dua kamar tapi besar-besar kamarnya. Tiap kamar ada sofa, meja makan, kamar mandi dan ada juga bagian untuk menikmati view di villa itu,” kata Edo di telepon, “Kualitasnya malah lebih mewah daripada kamar di hotel-hotel bintang lima. Halaman belakangnya luas, ada kolam renangnya segala. Tapi tarifnya….tiga kali prediksi kita Boss.”
“Gakpapa,” sahutku, “Kita kan hanya mau pakai semalam-dua malam. Takkan bikin kita jatuh miskin lah….hahahaaa…”
“Iya…ini saya mau booking. Tapi kita mau pakai berapa malam? Semalam apa dua malam?”
“Mmmm…” aku berpikir sesaat, “Gimana kalau kita pulang Senin aja?”
“Jadi booking dua malam ya?”
“Iya. Biar semuanya kenyang.”
“Iya Boss. Saya hari Sabtu sebelum jam sepuluh pagi juga sudah ada di villa itu.”
“Sip lah. Yang penting semuanya berjalan sesuai dengan rencana yang sudah kita sepakati.”
“Siap Boss.”
Setelah hubungan telepon ditutup, aku termenung sambil menikmati asap rokokku. Jujur, ini rencana yang paling berat bagiku. Memang banyak langkah yang telah kulampaui. Tapi yang namanya tukar istri…belum pernah kulakukan…dan sungguh mendebarkan. Ada perasaan tidak rela. Tapi ada penasaran dan gairah aneh yang menyelinap ke dalam batinku.
Aku mulai membayangkan istriku (yang sangat kucintai) ditelanjangi oleh Edo. Lalu digumuli dan disetubuhi. Aaah…bayangan itu pasti membuatku sangat cemburu. Tapi kenapadi balik cemburu itu ada gejolak birahi yang hebat di dalam diriku?
Lagipula bukankah aku akan mendapat kompensasi yang setimpal dengan diizinkannya aku memiliki Raisha yang manis dan tampak gemulai itu?
Aku dan Edo juga sepakat, bahwa sebelum aku menggauli Raisha, diam-diam aku harus menyalakan video recorder di hpku. Begitu juga Edo, harus menyalakan video recorder hpnya sebelum menggauli istriku. Hasil rekamannya akan kami sharing, biasa…lewat bluetooth.
Malam Sabtunya kuceritakan kepada istriku, tentang semua rencana yang sudah disepakati oleh aku dan Edo.
Istriku sudah mulai berusaha memahami tujuanku. Tapi tak urung dia bertanya juga, “Abang yakin nantinya perkawinan kita tetap utuh?”
“Sangat yakin,” kataku sambil mengelus rambutnya yang agak ikal, “Bahkan aku akan semakin sayang padamu…percayalah.”
Istriku merebahkan kepalanya di dadaku. Dan berkata, “Bang…aku hanya akan berusaha mengikuti keinginan Abang. Tapi aku minta…jangan sampai ada akibat buruk di kemudian hari ya.”
“Iya,” sahutku tegas, “Aku jamin itu. Buktikan aja nanti.”
Esoknya, pagi-pagi sekali istriku sudah pergi ke salon yang cuma terhalang 3 rumah dari rumahku. Memang kusuruh ia berdandan secantik mungkin, seolah-olah mau menghadiri pesta pernikahan, reuni dan sebangsanya.
Aku pun berdandan seperti biasa saja. Cuma mengenakan celana denim hitam dan baju kaus abu-abu. Tas pakaianku dan pakaian istriku sudah kutaruh di bagasi mobilku. Hari itu Herman kuliburkan 3 hari. Kusuruh masuk lagi hari Selasa. Masalahnya rencanaku sekali ini sangat peka dan privasi kami harus terjaga. Jadi aku tak membutuhkan sopir, karena yang akan kulakukan ini bukan petualangan biasa.
Waktu istriku pulang dari salon, aku tertegun menyaksikan betapa cantiknya milikku yang sangat kucintai itu. Ia mengenakan gaun terusan berwarna kuning muda, muda sekali, mirip dengan warna kulitnya yang putih kekuningan.
Lagi-lagi batinku bergulat. Istriku cantik sekali. Apakah aku benar-benar sudah rela untuk membiarkannya digauli oleh sahabatku nanti? Apakah aku bukan sedang menyiapkan suatu kesalahan besar? Tapi…kenapa gejolak aneh ini berdesir-desir terus? Kenapa aku terus-terusan membayangkan fantastisnya pengaruh semua yang telah kurencanakan itu?
“Mau sarapan dulu Bang?” tanya istriku sambil berkaca di cermin.
“Masih kenyang. Tadi abis makan roti agak banyak,” sahutku, “mending kita berangkat aja. Kasian kalau mereka menunggu terlalu lama. Eh…kamu sendiri belum sarapan kan?”
“Udah tadi di salon beli bubur ayam, sambil nunggu pasien yang udah duluan dirawat.”
Beberapa saat kemudian kami sudah berada di dalam mobil yang sudah mulai meninggalkan pekarangan rumah. Toko ditutup, pintunya ditempeli tulisan, TUTUP – 3 HARI – BUKA LAGI HARI SELASA. Anakku sudah dititipkan di rumah mertuaku. Semuanya sudah diatur sebaik mungkin. Jangan sampai ada hal yang bisa mengganggu perasaan kami di villa nanti.
Lanjutan Episode 8
VILLA yang sudah dipilih oleh Edo itu memang kelihatan megah sekali. Dari pekarangannya pun kelihatan artistik dan megahnya villa itu. Entah siapa pemiliknya.
Edo dan istrinya benar-benar sudah menunggu kami di dalam villa itu.
Istriku berpelukan dengan istri Edo sambil cipika-cipiki. Ini adalah suasana ganjil dan penuh tanda tanya di dalam benakku. Entah seperti apa pikiran dan perasaan mereka saat ini. Karena mereka sebentar lagi akan berganti kedudukan.
Memang kami merasa agak kaku. Tapi di ruang cengkrama tampak beberapa botol minuman dan beberapa gelas kecil yang sudah disiapkan oleh Edo. Aku sudah mentransfer sejumlah rupiah ke rekening Edo untuk menyiapkan semuanya itu.
Lalu kami duduk di sofa putih yang diletakkan berbentuk L di ruang cengkrama itu.
Edo langsung menuangkan minuman ke dalam gelas-gelas kecil itu. Istriku dan Raisha kebagian red wine, sementara aku dan Edo memilih yang jauh lebih keras lagi kandungan alkoholnya.
Kami membuat toast, mennyentuhkan gelas kami , “Tring….tring….tring….tring….”. Lalu kami teguk isinya.
Kami mulai menukar posisi di sofa berwarna putih bersih itu. Edo duduk merapat ke sisi istriku, sementara aku duduk merapat ke sisi Raisha yang saat itu tampak manis sekali di balik gaunnya berwarna hitam dengan pernak perniknya yang gemerlapan.
Tampaknya Edo sudah tak sabar lagi. Setelah menghabiskan isi gelas kecilnya, ia bangkit sambil memegang pergelangan tangan istriku.
“Silakan mau pilih kamar yang mana,” kata Edo sambil menunjuk kedua pintu kamar yang terbuka.
Setelah memperhatikan kedua kamar itu, kulihat keduanya sama persis. Jadi tak penting bagiku untuk memilih kamar yang mana. Tapi kupilih juga salah satu kamar sambil berkata, “Kami di kamar ini ya,” kutunjuk pintu kamar yang di sebelah kananku.
Edo mengangguk, menghampiri istrinya sambil mencium kedua pipinya. Aku pun melakukan hal yang sama, kuhampiri istriku dan mencium bibirnya lalu berbisik di telinganya, “Enjoy aja ya…jangan canggung….”
Istriku tak menjawab. Cuma terasa pergelangan tanganku diremasnya.
Kemudian Edo menggandeng pinggang istriku dan masuk ke dalam kamar yang sebelah kiri, kemudian pintunya ditutupkan dan terdengar bunyi kunci diputar….klik.
Aku pun menggandeng pinggang Raisha sambil melangkah ke dalam kamar yang sudah kupilih tadi. Setelah berada di dalam kamar yang benar-benar luas itu, kututupkan pintu sekaligus menguncikannya.
“Raisha kelihatan cantik sekali pagi ini,” bisikku sambil memeluk lehernya yang terasa menghangat.
Raisha menatapku dengan senyum manis. Dan membiarkanku mencium bibir sensualnya. Bahkan membalasku dengan lumatan hangat.
“Sebenarnya saya suka banget sama Pak Yadi,” kata Raisha setelah ciumanku terlepas.
“Masa sih? Kan Edo juga ganteng,” kataku sambil berusaha melepaskan kancing gaun Raisha yang terpasang di punggungnya.
“Pak Yadi lebih macho,” kata Raisha.
“Jangan panggil Pak terus dong….mulai saat ini panggil Mas aja….biar sama dengan panggilan ke Edo.”
Raisha tersenyum saja ketika aku sudah berhasil menarik ritsleting gaun di bagian punggungnya. Bahkan lalu ia sendiri yang menanggalkan gaun dan rok dalamannya.
“Wow…tinggi semampai,” pujiku sambil memperhatikan Raisha yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam, “Ideal banget tubuhnya…”
“Tapi saya gak seputih dan semontok Mbak Erni, Mas,” sahut Raisha dengan kerlingan memikat.
“Tapi saya suka yang bertolak belakang dengan istri saya,” kataku sambil meraih pinggang Raisha ke atas sofa, “yang putih dan montok sudah saya miliki. Jadi saya ingin yang agak iteman dan langsing seperti Raisha…”
“Dan Mas Edo mungkin penasaran sama wanita yang putih dan montok seperti Mbak Erni,” ucap Raisha tanpa reaksi ketika aku melepaskan kancing kait branya.
Dan setelah bra itu kutanggalkan, aku tertegun menyaksikan indahnya sepasang payudara Raisha ini. Tidak terlalu besar, tapi kelihatan masih kencang, seperti belum pernah meneteki bayi.
Tak mau buang-buang waktu lagi, kupagut puting payudara yang sebelah kanan, sementara tanganku meremas payudara yang sebelah kiri. Dan Raisha membalasnya dengan membelai rambutku, sementara badannya mulai terasa menghangat.
Aku mau menyelinapkan tanganku ke balik celana dalam Raisha, tapi ia berkata, “Mas…jadi langsung horny nih…tapi sebentar…mau pipis dulu ya.”
Aku cuma mengiyakan. Raisha bergegas menuju kamar mandi.Dan tiba-tiba aku teringat bahwa kesepakatanku dengan Edo antara lain: harus menyalakan video recorder hp sebelum persetubuhan dimulai. Buru-buru aku mencari tempat yang pas untuk meletakkan hpku.
Aku mendapatkan tempat yang pas di atas pot besar berisi bunga-bunga plastik. Dari situ kameraku bisa menjangkau tempat tidur secara keseluruhan. Jadi persetubuhan itu harus terjadi di atas tempat tidur. Kuaktifkan video recorder hpku, meski Raisha masih di kamar mandi.
Aku menunggu di atas tempat tidur sampai Raisha muncul kembali. Dengan melilitkan handuk di pinggangnya, sementara dari perut ke atasnya tetap terbuka.
Raisha langsung menerkamku dengan lincahnya. Terkaman yang tak kuduga-duga, tapi langsung kutanggapi dengan menarik handuknya sampai terlepas. Ternyata Raisha meninggalkan celana dalamnya di kamar mandi. Sehingga ketika handuknya kulepaskan, tampak sebentuk kemaluan yang berbulu lebat sekali. Sebenarnya sekujur tubuh Raisha sudah kulihat di hpku, yang kubarter dengan foto-foto telanjang istriku. Tapi sekarang untuk pertama kalinya aku menyaksikan istri Edo itu telanjang, bisa kugerayangi pula sesuka hatiku.
“Waduuuh…lebat sekali jembutnya….luar biasa,” kataku sambil mengelus bulu kemaluan Raisha.
“Iya…gak boleh dicukur sih sama Mas Edo,” sahut Raisha sambil menarik ritsleting celana panjangku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku, “Dia bilang meqi botak itu laksana padang pasir yang gersang….”
“Iya juga sih…” sahutku sambil memainkan celah kewanitaan Raisha, sementara Raisha sudah berhasil memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini.
“Mas…ayo…main aja yuk….yang lain-lainnya sih nanti aja. Waktu kita kan cukup banyak,” kata Raisha sambil menyembulkan batang kemaluanku dari balik celana dalamku.
“Udah horny berat ya?” kataku sambil melepaskan seluruh pakaianku.
“Iya,” sahut Raisha sambil menelentang di atas tempat tidur, “Abisnya disuruh sama suami, ya sekalian dinikmati aja.”
“Betul…itu betul, sayang,” kataku sambil merangkak ke atas perut Raisha.
Tampaknya Raisha sudah sangat bernafsu. Batang kemaluanku langsung ditangkap dan diarahkan ke mulut meqinya. Ia tidak tahu bahwa Edo sudah mencemplungkan obat perangsang ke dalam wine yang diminum olehnya tadi. Maka ia akan merasa ingin disetubuhi secepatnya.
Sekilas aku ingat pada istriku yang sedangv berada di kamar lain bersama sahabatku. Pasti istriku juga mengalami hal yang sama. Ingin segera disetubuhi oileh Edo, akibat obat perangsang yang asli import itu. Dan diam-diam aku sudah minum obat khusus pria, yang tidak diketahui oleh siapa pun. Edo juga tidak tahu.
Ketika aku mendorong batang kemaluanku, terasa sempit sekali. Seperti menemukan liang meqi yang belum pernah melahirkan.
“Wow…kecil banget lubangnya?!” desahku sambil mendorong terus dengan lebih kuat.
“Ya iyalah, saya kan melahirkannya dicezar,” sahut Raisha bernada bangga.
“Ooo…pantasan,” kataku. Memang tadi aku tak sempat memperhatikan perut Raisha, yang tentu ada bekas sayatan operasi.
Setelah berhasil memasukkan batang kemaluanku, meski baru separuhnya, Raisha membisiki telingaku, “Saya mah senengnya ML sambil dicupangin lehernya Mas…nanti cupangin ya.”
“Nanti kelihatan Edo gimana?”
“Gakpapa. Kita kan sekarang sedang selingkuh resmi. Bukan umpet-umpetan,” Raisha mendekap pinggangku erat-erat ketika aku mulai mengayun penisku bermaju mundur di dalam liang vaginanya yang terasa sempit dan mencengkram tapi licin dan hangat.
“Meqi Raisha…sempit banget…” bisikku terengah.
“Iya Mas…cupangin dong…” sahut Resha sambil menggoyang pantatnya dengan gerakan meliuk-liuk seperti belly dancer tengah beraksi.
Kuturuti keinginannya. Kusedot-sedot lehernya sekuatku, sambil memperganas enjotanku. Kedua tanganku juga mulai aktif meremas-remas di bagian-bagian tubuh Raisha yang terjangkau.
Setelah cupanganku menimbulkan bekas merah kehitaman di leher Raisha, dengan agresif Raisha menciumi dan melumat bibirku, sementara pantatnya tiada henti-hentinya bergoyang dan bergoyang terus.
Sepasang kaki Raisha pun terkadang melingkari pinggangku, diiringi desahan dan rengekan histerisnya…aaaah…hhhhh….Massss…..aaaaahhhh….hhhhhh….
Dan aku menanggapinya dengan ayunan penisku secepat mungkin, tanpa takut ejakulasi prematur, karena aku sudah dibantu oleh obat khusus untuk kejantananku.
Mungkin ini yang disebut hardcore. Karena ketika liang kemaluan Raisha mulai basah, aku malah semakin gila-gilaan mengenjotnya sambil menggigit-gigit di leher dan payudara Raisha. Dan perlakuan keras seperti ini sepertinya disukai oleh Raisha.
Begitu lama aku melakukan semuanya ini. Bahkan Raisha sudah dua kali orgasme. Tapi ia tetap menikmati semuanya ini tanpa kelihatan letih. Padahal keringatku sudah bercucuran. Bercampur baur dengan keringat Raisha juga.
Entah karena dipengaruhi obat perangsang atau memang biasanya seperti itu. Raisha sering membisikiku, “Jangan dilepasin dulu ya Mas….hhhh….lagi enak-enaknya nih…”
Sementara itu, sayup-sayup aku sering mendengar rintihan-rintihan istriku, “Edoooo…iya….oooh….Dooo….Doooo….ooooh….Doooo…..ooooh….”
Aku sering terkesiap mendengar suara istriku itu. Pastilah ia sedang menikmati persetubuhannya dengan Edo. Sulit menggambarkan bagaimana suasana perasaanku di detik-detik seperti itu. Aku menggertakkan gigi, lalu mengenjot Raisha seganas mungkin, sebagai kompensasinya. Dan Raisha menyambutku dengan gerakan dan desahan histerisnya, seakan-akan tak mau menghentikan semua kenikmatan ini.
Episode 9
Banyak sekali yang kulakukan bersama Raisha di kamar luas itu. Aku menilai bahwa Raisha sangat energik dalam melakukan hubungan seksual denganku, terkadang seperti orang kelaparan, menemukan makanan enak, lalu dengan rakus menyantapnya. Bahkan lebih dari itu. Orang kelaparan setelah menemukan makanan banyak, tentu ada kenyangnya. Tapi Raisha seperti tak kenyang-kenyang. Sampai sore aku masih bergumul dengannya, untuk memuasi hasratnya.
Untungnya aku sudah mempersiapkan diri dengan obat (yang lumayan mahal), yang berhasil membuat staminaku edan-edanan juga.
Kamar luas itu ada bagian yang dibatasi dengan partisi kayu berukir. Di bagian itu aku bisa menikmati indahnya view di luar villa, lewat dinding kaca yang lebar. Tanpa takut ada yang melihat, karena kacanya sudah ditempeli plastik one way vision yang tidak menghalangi pandangan dari dalam ke luar, tapi dari luar tak bisa melihat ke dalam. Lagipula dinding kaca itu menghadap ke jurang terjal, sehingga tak mungkin ada orang yang mengintip meski aku melakukan apa pun di sini.
Setelah menyantap makanan yang diantarkan oleh pelayan villa, aku dan Raisha duduk di ruangan bersekat kayu ukiran itu.
Raisha sudah mengenakan lagi gaun hitamnya, aku pun sudah mengenakan pakaian lagi. Tapi aku tahu Raisha tak mengenakan pakaian dalam lagi di balik gaun hitamnya itu.
“Sudah puas?” tanyaku ketika Raisha merebahkan kepalanya di pahaku, di sofa yang menghadap ke dinding kaca itu.
“Sangat puas,” sahutnya dengan senyum manis, “tapi waktu kita kan lumayan banyak. Pulangnya Senin siang kan?”
“Iya,” aku mengangguk sambil mempermainkan hidung Raisha yang mancung meruncing itu, “pernah nyangka gak bakal mengalami kejadian ini?”
“Gak. Tapi jujur aja, dari dulu juga saya sudah simpati sama Mas Yadi…”
“Sama. Saya juga seneng sama Raisha yang manis. Tapi saya gak berani macam-macam, karena Raisha istri sahabat saya sendiri.”
“Dan sekarang saya sudah Mas miliki kan?”
“Iya sayang…” ucapku disusul dengan kecupan mesra di bibir sensual Raisha, “Sudah berani melakukan rencana nanti malam?”
“Emang rencananya gimana?” Raisha menatapku, tapi sambil menarik ritsleting celanaku, lalu menyembulkan batang kemaluanku yang masih lemas….dan menciuminya.
“Nanti malam kita ML di sofa putih ruang cengkrama itu.”
“Hanya kita berdua?”
“Foursome. Kita berdua ML, Edo juga ML dengan istri saya.”
“Hmm…pasti seru….tapi bakal bikin degdegan juga kale…”
“Iya…biar kita benar-benar menyatu…jadi keluarga besar…hahahahaaa….”
Raisha tak bisa menjawab, karena mulutnya mulai mengulum penisku yang masih lemas ini. GIla. Permainan oralnya terasa enak sekali. Lidah dan bibirnya seperti sudah terlatih untuk mengoral penis. Sehingga penisku mulai bangkit sedikit demi sedikit. Dan akhirnya “siap tempur” lagi alias ngaceng berat !
Tak cukup dengan itu saja. Raisha menyingkapkan gaunnya tinggi-tinggi, sampai tampak kemaluan berjambut tebalnya. Lalu ia memegang batang kemaluanku…mendudukinya sambil memasukkannya ke dalam liang meqinya.
Aku pun berusaha menurunkan celana panjangku, sementara Raisha berhasil membuat batang kemaluanku melesak separuhnya.
Desir-desir kehangatan yang nikmat ini pun terjadi lagi. Raisha duduk menghadap padaku, sementara pinggulnya enjot-enjotan…membuat batang kemaluanku dibesot-besot oleh liang meqinya yang sudah membasah tapi tetap sempit itu.
Aku pun tak bisa berbuat banyak selain mendekap pinggangnya dan sesekali mendesakkan batang kemaluanku agar membenam sejauh mungkin.
Semua ini kami lakukan tanpa telanjang. Raisha hanya menyingkapkan gaunnya, sementara aku pun cuma menurunkan celanaku sebatas lutut. Toh bisa juga aku mengalami nikmatnya pergesekan penisku dengan liang vagina Raisha.
Tapi pada satu saat aku membisiki Raisha, “Jangan terlalu habis-habisan. Harus disisain tenaga untuk foursome nanti malam…”
“Hihihi…iya ya…abisnya enak sih….”
Aku bertahan agar jangan sampai ngecrot lagi. Maka setelah Raisha mencapai orgasme, kucabut batang kemaluanku dari liang meqinya yang sudah banjir lendir. “Mending kita mandi yuk…biar seger. Hari sudah mulai malam tuh…janjinya kita ngumpul di ruang cengkrama,” kataku setengah berbisik.
“Ayo…nanti sabunin memek saya ya….” sahut Raisha dengan sikap manja.
“Iya, iya,” aku mengangguk sambil menahan tawa.
Aku yakin istriku tak secentil Raisha. Tapi siapa tahu di kamar satu lagi itu ia sedang secentil-centilnya bersama Edo.
Di kamar mandi aku dan Raisha saling menyabuni. Bahkan aku senang sekali menyabuni kemaluan Raisha yang berbulu lebat itu. Tapi aku tidak menyetubuhinya, karena sebentar lagi aku akan berkumpul dengan Edo dan istriku di ruang cengkrama yang ada sofa putihnya itu.
Ketika aku selesai mandi terdengar pelayan villa sedang berbicara dengan Edo. Mungkin sedang menyiapkan makan malam. Aku dan Edo sudah minta agar pelayan villa menyiapkan breakfus, lunch dan dinner. Tentu saja dengan biaya terpisah dari sewaan villa. Dan tampaknya pelayan villa sudah tau apa yang harus dilakukannya, karena menurut keterangan Edo, villa ini sering disewa oleh orang-orang gedean, bahkan orang asing pun suka menyewanya.
Belakangan aku tahu bahwa pemilik villa ini orang asing yang punya istri orang Indonesia. Villanya banyak. Dan villa-villa itu sengaja dibangun untuk tujuan komersil. Bahkan menurut keterangan pelayan, villa yang kami sewa ini adalah model yang terkecil, dalam arti cuma punya dua kamar. Di daerah lain ada yang 5-6 kamar. Dan kamar-kamarnya luas-luas semua.
Ketika aku dan Raisha keluar dari kamar, kulihat Edo sudah duduk berdampingan merapat dengan istriku di sofa putih ruang cengkrama (mungkin lebih tepat disebut family room). Istriku kelihatan pucat sekali. Hmm…mungkin Edo sudah habis-habisan menggasaknya tadi. Membuatku cemburu. Tapi di balik cemburu ini gairahku menggelegak. Terlebih ketika melihat sikap istriku yang tampak malu-malu dilihat olehku.
Namun Raisha pun duduk merapat padaku, dengan sikap seolah-olah tidak ada suaminya di ruangan itu.
Edo bangkit sambil meraih pergelangan tangan istriku,”Sekarang kita makan malam dulu yok,” ajaknya.
Aku mengangguk. Raisha mendekati istriku. Lalu mereka berpegangan tangan menuju ruang makan sambil berbicara setengah bisik-bisik.
Pada saat itulah Edo berbisik padaku, “Luar biasa Boss. Dengan Mbak Erni, rasanya seperti sedang bersama artis saja. Cantik dan mulus segalanya.”
Aku terkesiap mendengar pujian itu. Tapi aku pun menjawabnya, “Raisha juga luar biasa. Masih sempit banget. Seperti belum punya anak.”
“Tadi main berapa set?” tanya Edo dengan senyum.
“Cuma dua set,” sahutku sejujurnya.
“Hahahaaa…kita kompak banget Boss. Kami juga cuma dua set.”
Di ruang makan, Edo tetap duduk berdampingan dengan istriku, berhadapan denganku dan Raisha.
Sebelum makan, Edo mengeluarkan secarik kertas lalu membacanya dengan suara agak keras, “Sebelum kita mulai makan, saya akan bacakan apa yang sudah menjadi kesepakatan di antara saya dan Pak Yadi, sebagai berikut…….Satu….selama kita berada di villa ini, Raisha menjadi milik Pak Yadi, sementara Mbak Erni menjadi milik saya. Dua….acara malam ini kita berempat menyatu di ruangan besar tadi, untuk bercinta sepuasnya dengan miliknya masing-masing. Lalu masuk ke kamar masing-masing seperti tadi. Acara besok dan selanjutnya kita tentukan kemudian. Betul begitu, Boss?”
“Ya,” aku mengangguk, “Jadi setelah acara foursome di family room nanti, dengan sendirinya Erni tidur pun dengan Edo, dan aku tidur dengan Raisha.”
“Iya,” Edo mengangguk, “Ada yang keberatan?”
Baik Raisha maupun istriku cuma cengar-cengir.
“Oke, kalau begitu mari kita mulai makan,” kata Edo.
“Ya…mulai malam ini kita berempat sudah menjadi suatu kesatuan. Dan semoga kita selalu kompak, perkawinan kita tetap utuh, bahkan harus semakin kokoh.”
Lalu kami menyantap makanan yang sudah dihidangkan oleh pelayan villa.
Selesai makan, Edo berkata, “Supaya tidak jenuh, sambil menurunkan isi perut kita, bagaimana kalau kita cari udara segar di kolam renang?”
“Oke,” kataku sambil bangkit dari kursi makan dan meraih pergelangan tangan Raisha. Lalu kami melangkah ke bagian belakang villa itu. Ke pinggiran kolam renang yang diterangi lampu-lampu natrium terang benderang bahkan sedikit menyilaukan.
Pelayan villa nyamperin. Bertanya kepada Edo, “Mau dipanaskan air kolamnya Pak?”
“Lho…emang bisa?” Edo balik bertanya.
“Bisa,” sahut pelayan, “kan kolam ini bisa dialiri air panas mineral.”
Kami lalu sadar. Bahwa villa itu tidak terlalu jauh dari gunung berapi.
“Iya, panaskan saja,” kataku, “dingin begini bisa beku darah kita kalau berenang nanti.”
“Emang mau berenang?” tanya Raisha.
“Iya,” sahutku, “kalau air panas mineral sih mau juga berenang, kan bagus buat kulit kita.”
“Tapi saya gak bawa baju renang, Mas,” Raisha seperti bingung.
“Telanjang aja.”
“Gila!” Raisha mencubit lenganku, “keliatan pelayan nanti gimana?”
“Mmm…pake bra dan celana dalam aja.”
“Mas….” Raisha berbisik ke dekat telingaku, “Saya sekarang gak pake celana dalam maupun bra.”
“Ya udah…ambil dulu gih…”
“Anterin…takut…” lagi-lagi Raisha memperlihatkan sikap manjanya.
Akhirnya kuantarkan juga Raisha ke dalam villa. Di dalam kamar Raisha berbisik di telingaku, “Mas…kalau saya ketagihan pengen ML lagi sama Mas….boleh kita ketemuan berdua aja?”
“Hmm?? Tetap harus minta izin dulu sama Edo,” sahutku. Sementara Raisha melepaskan gaunnya, lalu mengenakan celana dalam dan branya.
“Yaaahhhh…kalau minta izin dulu sama juga bo’ ong. Ujung-ujungnya pasti minta foursome lagi.”
“Belum tentu. Kalau istri saya minta izin mau ketemuan sama Edo juga pasti saya izinkan. Asalkan benar-benar sama Edo.”
“Hmmm….” Raisha memeluk pinggangku, “Gak tau nih…Mas bikin saya ketagihan. Suatu saat nanti pasti saya pengen ketemuan lagi.”
“Nanti saya rundingkan point itu dengan Edo.”
“Apanya yang dirundingkan?”
“Ya…misalnya Raisha pengen ketemuan denganku, perlu minta izin dulu gak? Begitu pula kalau Erni mau ketemuan dengan Edo perlu minta izin dulu gak? Kalau sudah ada kesepakatan tak usah minta izin dulu kan gak ada perasaan mengkhianati persahabatan.”
Raisha mengangguk-angguk. Lalu kataku, ” Jangan berpikir jauh-jauh dulu. Sekarang kita nikmati aja apa yang bisa kita lakukan di villa ini. Oke?”
“Iya Mas…”
Tak lama kemudian kami sudah berada di pinggir kolam renang lagi. Ada beberapa kursi malas di sekeliling kolam renang itu. Dan istriku tampak merebahkan diri di atas kursi malas itu, sementara Edo rebah di kursi malas di sampingnya.
Air kolam renang itu mulai mengepulkan uap, berarti air panas mineralnya sudah cukup banyak dialirkan ke kolam renang itu. Aku pun mencelupkan tanganku ke air kolam itu. Ternyata sudah cukup hangat.
“Udah panas !” seruku, “Lets swim….!”
Kulepaskan baju dan celana panjangku, lalu kulemparkan ke salah satu kursi malas yang masih kosong. Dan dalam keadaan cuma bercelana dalam aku melompat ke kolam renang berair hangat itu….byuuuuurrrrrrrrrrr….!
Raisha pun menanggalkan gaunnya, lalu meletakkan gaun itu di atas pakaianku. Dalam keadaan cuma mengenakan bra dan celana dalam, ia pun melompat ke kolam……….. byuuurrrrrrr…!
Menyenangkan juga. Di hawa dingin begini berenang dalam kolam air panas mineral. Tampaknya Raisha jago juga berenangnya. seperti ikan lumba-lumba, hilir mudik di kehangatan air panas bumi…
Tak lama kemudian istriku juga melompat ke dalam kolam, dengan cuma mengenakan bra dan celana dalam, diikuti oleh lompatan Edo….byurrrrrrrrrrrrrr…..byuuuurrrrrrrrrrrrr…!
Ada kecemburuan lagi menjalar di dalam batinku. Karena kulihat Edo dan istriku berenang demikian mesranya. Berpelukan sambil berdiri, lalu Edo menyelam dalam posisi menelentang persis di bawah istriku. Tak begitu jelas apa yang mereka lakukan, karena Edo berada di dalam air. Tapi pekik-pekik centil istriku sering terdengar. Dan gilanya, melihat mereka mesra begitu saja gairahku jadi bangkit.
Maka beberapa saat kemudian aku mengajak Raisha untuk naik ke pinggiran kolam renang, lalu berlari-lari kecil sambil mengepit pakaian masing-masing ke dalam kamar kami.
Tanpa ragu Raisha menanggalkan bra dan celana dalamnya, lalu mengelapnya dengan handuk yang villa sediakan.
“Gak usah pake baju lagi,” kataku, “kita kan ada acara telanjang di sofa putih itu. Lilitkan aja handuknya, biar nanti gampang…tinggal narik handuk langsung josss….”
“Hihihihi….” Raisha cekikikan. Lalu mengikuti anjuranku. Setelah menggosok-gosokkan handuk ke rambutnya, ia melilitkan handuk itu ke badannya, cuma menutupi perut sampai paha. Sementara payudara indahnya terbuka bebas.
Aku pun melakukan hal yang sama. Kulepaskan celana dalam yang basah kuyup itu, lalu kukeringkan badanku dengan handuk yang lain. Dan kulilitkan handuk di badanku. Lalu iseng menepuk-nepuk payudara Raisha dan sama-sama melangkah ke ruangan bersofa putih itu. Raisha bergidik-gidik sambil bergumam, “Hiii…jadi dingin banget rasanya.”
Kuambil botol red wine dan menuangkan isinya ke gelas yang kosong.Dan menyerahkannya kepada Raisha, “Minum dulu, biar gak kedinginan.”
Raisha mengangguk dan langsung meneguk red wine itu sampai habis. Sementara aku pun sudah meneguk minuman yang kadar alkoholnya jauh lebih tinggi.
Tak lama kemudian Edo dan istriku muncul. Dalam keadaan yang sama seperti aku dan Raisha berlari masuk ke dalam villa ini. Edo cuma mengenakan celana dalam yang basah kuyup, “Kita kok bisa lupa bawa handuk tadi ya?” cetusnya yang kujawab dengan senyum saja. Karena kulihat istriku cuma mengenakan bra dan celana dalam yang basah kuyup…yang membuatku termangu adalah tipisnya celana dalam itu, basah kuyup pula, sehingga menjadi transparan….kemaluannya tampak jelas meski ditutupi celana dalam itu ! Lalu mereka masuk ke dalam kamarnya.
Sementara Raisha malah menuangkan lagi red wine ke gelasnya yang sudah kosong. Lalu meneguknya. Mungkin ia pun sedang menindas perasaan cemburunya, karena melihat suaminya sedang bersama istriku yang tampak sangat erotis. Aku pun tak mau kalah, kutuangkan lagi minuman ke gelasku, lalu meneguknya sampai habis.
Dan badan kami mulai dijalari hawa panas, berhasil mengusir dinginnya udara di daerah perbukitan ini.
Tak lama kemudian Edo dan istriku muncul, dalam keadaan yang sama seperti aku dan Raisha. Hanya melilitkan di badan mereka. Dan sepasang payudara istriku yang montok itu pun terbuka bebas, sama seperti keadaan Raisha.
“Minum dulu…biar gak kedinginan,” kataku kepada Edo.
Edo mengangguk dan menuangi gelas kosong dengan minuman. Red wine untuk istriku, yang lebih keras buat Edo sendiri.
Dalam beberapa hal, minuman beralkohol ada beberapa pengaruh positif bagiku. Asalkan jangan minum sampai teler. Sebatas yang diperlukan saja.
Terbukti dengan apa yang kualami. Setelah merasa pengaruh alkohol cukup menghangati tubuh dan benakku, tenang saja aku menarik handuk yang melilit di tubuh Raisha, sehingga ia menjadi telanjang bulat. Lalu kutelentangkan ia di sofa putih berbentuk hurup L itu, sementara Edo dan istriku berada di sisi lain. Mereka pun melakukan hal yang sama. Kepala istriku berada di sudut sofa, hampir bersentuhan dengan kepala Raisha yang berada di sisi lain tapi mengarah ke sudut yang sama.
Sekilas tampak Raisha saling lirik dengan istriku. Tapi lalu menatap plafon gipsum putih.
Ketika aku mulai menjilati kemaluan Raisha yang berbulu lebat ini, Edo pun melakukan hal yang sama….mulai menjilati kemaluan istriku yang selalu dicukur habis.
Setelah merasa cukup memberi pelumas di kemaluan Raisha, aku pun tak mau berbasa basi lagi. Kulepaskan handukku, lalu kuterkam tubuh bugil itu. Sesaat kemudian aku telah berhasil membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang kewanitaan Raisha. Sesaat kemudian Edo pun sudah berhasil membenamkan batang kemaluannya ke liang vagina istriku.
Desir-desir aneh berkecamuk di dalam batinku. Betapa tidak. Kulihat dengan nyata betapa Edo sudah mulai mengayun batang kemaluannya di dalam liang kewanitaan istriku. Dan kecemburuanku menjalar-jalar ketika istriku mulai merintih-rintih histeris setelah Edo makin gencar mengenjotnya.
Tapi aku pun tak mau kalah. Dengan ganas kuayun batang kemaluanku di dalam liang meqi Raisha. Dan Raisha pun mulai merintih-rintih histeris.
Meskipun aku bersahabat dengan Edo, tapi malam itu kami seolah ingin memperlihatkan kelebihan kami masing-masing…kelebihan di atas perut perempuan. Mungkin aku curang, karena diam-diam sudah menelan obat khusus untuk mempertangguh kejantanan. Sehingga aku tetap ganas mengenjot meqi Raisha, tanpa merasakan gejala-gejala mau ejakulasi. Rasanya masih jauh….jauh sekali.
Raisha pun mulai merengek manja malu, “Maaaas….oooh….sya udah mau keluar…..percepat lagi Mas…nah gitu…oooh…ooooh….oooohhhhhhhhhhhhhhhhhh….”
Raisha berkelojotan seperti ayam sekarat. Lalu mengejang sambil menahan napasnya. Dan menggeliat diiringi lenguhan nikmatnya…..aaaaaaaaaaaaaaahhhhh…..
Tak lama kemudian istriku juga merintih…dengan bunyi yang mirip dengan rintihan Raisha tadi, “Dooo…oooh…saya mau keluar Doooooo…..”
AKu mencuri pandang dengan sudut mataku, betapa gilanya istriku menggeliat dan berkelojotan…lalu mendekap leher Edo sambil mengejut-ngejut…..kemudian terkulai lemah. Pasti istriku juga sudah mencapai titik orgasmenya.
Tapi aku dan Edo masih tetap garang. Masih tetap mengayun batang kemaluan kami, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, kecuali enaknya liang kewanitaan yang sedang kami gesek dan gasak.
Episode 10
Kisah yang kualami di villa itu terasa sangat membekas di hatiku. Dan pengaruhnya sangat besar bagi diriku maupun bagi Erni. Tentu ada negatifnya. Tapi aku mau positif thinking saja.
Aku masih ingat benar di malam pertama aku tidur sambil memeluk tubuh Raisha di kamar, setelah letih bersetubuh di ruangan bersofa putih itu, aku merinding-rinding juga….karena membayangkan istriku juga pasti sedang berada di dalam dekapan Edo.
Namun khusus untuk gairahku, semua yang terjadi di villa itu membuatku jadi perkasa. Setelah berada di rumah pun aku jadi rakus. Menggauli istriku dengan perkasa. Terlebih setelah melihat video hasil tukaran dengan Edo, video istriku waktu pertama kali disetubuhi oleh Edo di kamar mereka itu…..wow….rasanya aku seperti mendapatkan obat yang mujarab. Setiap kali aku menonton video Edo ML dengan istriku itu, kecemburuanku bangkit. Berkobar. Namun di sisi lain nafsu birahiku jadi ikut bergejolak. Maka setiap kali aku selesai menonton video persetubuhan istriku dengan Edo itu, selalu saja aku meminta “jatah” kepada istriku.
“Benar kan? Aku jadi bergairah terus padamu kan?” bisikku setelah selesai melakukan persetubuhan dengan istriku.
“Iya,” sahut istriku sambil tersenyum, “Tapi…emang nantinya Abang mau ngajak Edo dan Raisha lagi untuk melakukan seperti yang di villa itu?”
“Tentu saja,” sahutku sambil membelai rambut istriku, “tapi jangan terlalu sering. Paling juga sebulan sekali. Lagian nanti sih gak usah pake villa yang mahal seperti itu. Kita bisa cari hotel murah tapi bersih. Kita booking dua kamar. Yang satu untuk Edo denganmu, yang satu lagi untuk Raisha denganku.”
Istriku tak menjawab. Ia cuma menatap langit-langit kamarku. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata Edo tadi siang, “Nanti kalau kita sudah jenuh lagi di rumah, Boss bisa kan nemenin saya untuk threesome dengan istri saya?”
“Eh…tawaran yang menarik. Kapan-kapan boleh juga Edo nemenin saya untuk threesome dengan istri saya. Kan biar tetap adil.”
“Siap Boss !”
“Jangan panggil saya boss-boss terus ah. Edo kan bukan anak buah saya. Kita sejajar, dua sahabat yang selevel.”
“Hehheehe…udah kebiasaan manggil gitu sih. Mmm…panggil apa ya? Bang aja ya…usia saya kan enam bulan lebih muda.”
“Iya bolehlah. Pokoknya di antara kita sudah gak ada rahasia lagi. Jadi gak perlu terlalu banyak basa-basi. Biar aja yang lain manggil boss, tapi Edo jangan pakai istilah itu.”
“Baik Bang.”
Percakapan dengan Edo itu masih terngiang-ngiang terus di telingaku. Ketika melirik ke arah istriku, aku membayangkan jika hal itu terjadi….jika aku mengundang Edo ke dalam kamar ini, lalu bergantian menyetubuhi istriku…pasti akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Di saat lain, aku pun akan berkesempatan menyetubuhi Raisha, bergiliran dengan suaminya. Tanpa harus bayar villa maupun hotel. Murah meriah.
“Kisah kita di villa itu…bagaimana kesannya di hatimu, sayang? Menyenangkan?” tanyaku kepada istriku. Ini untuk pertama kalinya aku menanyakan hal itu.
Istriku cuma tersenyum.
“Jawab dong sayang….menyenangkan apa gak?” desakku.
“Sepulangnya dari sana aku kan gak pernah protes. Jadi…Abang bisa nilai sendiri dong.”
“Jadi kamu juga senang dengan acara di villa itu kan?”
Sebagai jawaban, istriku mencium bibirku. Dan mendekapku erat-erat.
“Nanti kapan-kapan kita bisa ajak Edo ke kamar ini.”
“Dengan Raisha?”
“Nggak. Edo aja sendiri.”
“Terus?”
“Ya kita cobain juga threesome….”
“Iiiih….”
“Pasti fantastis deh. Aku dan Edo bergiliran menyetubuhimu, sayang.”
“Kasihan Raisha dong Bang. Dia jadi pihak yang dikhianati.”
“Nggak. Aku dan Edo akan berbuat seadil-adilnya. Secara bergiliran aku pun akan menggilir Raisha. Jadi misalnya satu malam, Edo diajak ke sini, di kesempatan berikutnya aku yang diajak ke rumah Edo.”
“Emangnya Abang udah punya kesepakatan baru dengan Edo?”
“Iya. Kamu setuju kan?”
“Mmm….aku sih terserah Abang aja. Tapi Abang jangan salah faham. Semua yang telah kulakukan itu adalah demi Abang. Yang penting rumah tangga kita jangan sampai retak.”
“Aku jamin itu.”
Istriku memegangi pergelangan tanganku. Lalu tertidur, dengan tangan masih memegang pergelangan tanganku.
Aku belum ngantuk, malah ingin nonton sepakbola liga Inggris di ruang keluarga. Maka kulepaskan genggaman istriku dengan hati-hati. Lalu kututupi badannya dengan selimut. Dan melangkah ke ruang keluarga. Kuhidupkan televisiku. Kesebelasan favoritku (Liverpool) belum main juga.
Maka iseng kutelepon Edo.
“Lagi di mana Do?”
“Lagi di jalan Bang. Baru pulang dari rumah saudara.”
“Sama Raisha?”
“Nggak. Sendirian aja.”
“Mmm…rencana threesome dengan istri itu kapan mau dilaksanakan?”
“Kapan pun bisa. Malam ini juga bisa. Kan kita gak usah booking villa segala. Semuanya bisa kita laksanakan di rumah saya, Bang.”
“Tadinya saya ingin yang pertama di rumah saya dulu. Pada giliran berikutnya, baru saya yang akan datang ke rumah Edo.”
“Siap Bang. Kapan dilaksanakannya?”
“Kalau besok malam gimana?”
“Siap Bang. Jam berapa saya harus ke situ?”
“Jam tujuh malam bisa?”
“Bisa Bang.”
“Oke…saya tunggu besok malam ya.”
“Siap Bang.”
“Tapi kita jangan habis-habisan seperti yang sudah-sudah, supaya tidak terlalu memaksakan diri. Jadi…paling banyak dua kali seorang.”
“Iya, siap. Jadi saya dua kali abang dua kali gitu?”
“Iya, kecuali kalau keadaan terasa masih fresh ya…bisa aja Edo tiga kali, saya tiga kali. Lihat-lihat stamina kita besok lah.”
“Siap Bang.”
Setelah pembicaraan kututup, aku berpikir sejenak, lalu melangkah ke lantai dua. Ke salah satu kamar yang ada di situ. Kamar yang biasa kupakai untuk tamu atau saudara yang datang dari luar kota. Kamar ini cukup luas, meski tidak seluas kamar villa bersejarah itu. Ada 2 tempat tidur, 1 set sofa, 1 lemari pakaian, 1 meja rias, 1 kulkas kecil, 1 pesawat televisi kecil dan ada kamar mandi yang menyatu dengan kamar ini. Rasanya cukup nyaman untuk mengajak Edo ke kamar ini besok.
Esok paginya aku menyuruh istriku untuk membersihkan dan menata kamar di lantai dua itu.
“Mau ada tamu Bang?” tanya istriku.
“Iya. Tamunya akan datang nanti malam, jadi mau nginap di sini,” sahutku sambil tersenyum.
“Siapa yang mau datang?” ia menatapku.
Kujawab dengan pelukan sambil berbisik ke telinganya, “Edo….”
Istriku tampak kaget. “Iiih…baru tadi malam diceritain…langsung dilaksanakan?!”
“Ingin secepatnya terjadi…sesuatu yang pasti sangat mendebarkan,” kataku, “Kamu seneng mendengar berita ini kan?”
Ia mencubit perutku sambil tersipu malu-malu.
Beberapa saat kemudian aku berangkat, menuju meeting room sebuah hotel di kotaku. Untuk bergabung dengan team bisnisku yang akan berunding dengan team dari Surabaya. Edo juga hadir, tentu saja, karena ia termasuk di dalam teamku.
Sebelum meeting dimulai, aku berbisik ke telinga sahabatku itu, “Istriku sudah diberitahu. Nanti malam on time ya.”
“Iya…iya Bang,” sahut Edo dengan wajah ceria.
Selesai meeting, aku membeli minuman dulu di toko penjual minuman import. Toko itu memiliki izin resmi untuk menjual minuman keras. Aku hanya sesekali minum, tidak tiap hari seperti alkoholis, hanya pada saat-saat dibutuhkan saja. Nanti malam mungkin aku membutuhkannya, untuk mencairkan kecanggungan, seperti yang pernah kulakukan waktu di villa tempo hari.
Setibanya di rumah, aku membawa beberapa botol minuman yang kubeli tadi ke kamar di lantai atas itu. Lalu kumasukkan ke dalam kulkas kecil.
Kuperhatikan keadaan di dalam kamar itu. Benar-benar sudah dibersihkan dan dirapikan bahkan sudah tercium harum penyegar ruangan yang terpasang di depan perangkat AC yang sudah mulai diaktifkan. AC di kamar ini hanya diaktifkan kalau sedang diperlukan saja. Ada desir kecemburuan lagi di dalam batinku, karena setahuku penyegar ruangan di kamar ini bukan yang sekarang dipakai di depan jendela ACku. Rasanya yang sekarang jauh lebih enak aromanya. Hmmm…sampai ke detail-detailnya sudah dipernyaman oleh istriku, untuk menyambut Edo nanti malam. Bagaimana aku tak cemburu dibuatnya? Tapi mungkin inilah seninya. Seni mengelola kecemburuan dalam pola kehidupan seksual yang tengah kujalani.
Di depan kamar ini ada teras dan beberapa kursi kayu jati. Biasanya kalau mau merokok, di teras itulah tempatnya.
Ketika aku sedang merokok di teras depan kamar tamu itu, istriku datang menghampiriku.
“Cukup rapi segitu Bang?” tanya istriku di pintu kamar tamu ke arah teras (sebut aja teras ini sebagai “smoking area”).
“Udah rapi, sayang,” sahutku, “Tadi kamu sendiri yang merapikannya?”
“Iya,” istriku mengangguk, “kita kan lagi gak punya pembantu. Kalau ada pembantu mah bisa dirapikan sama dia sendiri.”
” Si Mimin kan bisa bantuin sekali-sekali sih.”
“Jangan Bang. Tugas Mimin kan khusus untuk jagain toko. Kalau gak ada dia, mana bisa aku kerja yang lain.”
“Iya juga sih. Sejak ada Mimin, kamu bisa ke sana-sini tanpa harus nutup toko. Kelihatannya dia bisa dipercaya ya?”
“Sangat bisa dipercaya Bang. Aku sudah berkali-kali ngetes kejujurannya, tapi dia memang jujur banget. Makanya aku berani ngasih gaji rada gede. Mmm…gak ada yang perlu dirobah lagi kamar tamu ini Bang?”
“Sudah lebih dari cukup. Tapi yang terpenting kamu harus siap fisik dan mental untuk nanti malam. Minum vitamin, jangan lupa. Dan…nanti malam pakai kimono aja, biar gampang…”
“Emang jam berapa dia mau datang Bang?”
“Jam tujuh,” kataku sambil melirik ke jam tanganku, “Wow…sekarang sudah jam lima. Mandi dulu gih…biar seger…”
“Iya,” istriku mengangguk. Lalu melangkah ke lantai bawah.
Sementara aku masih berada di dalam kamar yang sudah dirapikan ini. Aku punya rencana baru. Di kamar ini aku akan memasang beberapa kamera cctv. Karena kamar ini akan kujadikan kamar khusus, untuk memantau “kegiatan” istriku kelak. Di lantai atas ada 3 kamar. Untuk kamar tamu bisa pakai yang 2 lagi. Sementara kamar ini khusus untuk “proyek seru-seruan”.
Dan…diam-diam aku makin mencintai istriku, yang tak pernah menolak keinginan-keinginanku.
Jam 18.45 Edo sudah datang. Lebih cepat 15 menit daripada janji kami. Aku langsung mengajak Edo ke atas, ke kamar yang sudah disiapkan itu, sementara istriku masih berada di kamar, mungkin masih mempercantik diri. Sehingga ia tidak tahu bahwa Edo sudah datang.
Ohya, ada yang terlupa menulisnya di sini. Anakku yang baru berusia 3 tahun itu tampaknya lebih kerasan tinggal di rumah orang tuaku. Mungkin karena ibuku sangat memanjakannya. Ibuku juga pernah bilang, “Biar aja Cindy di sini. Supaya kalian tenang nyari duit. Nanti kalau sudah sekolah juga biarin aja Cindy tetap di sini. Biar mama dan papa bisa ngerawat cucu yang sangat lucu itu.”
“Wah…Abang punya kamar yang gak kalah dengan kamar di hotel-hotel berbintang, Bang,” kata Edo setelah berada di kamar yang sudah disiapkan itu.
“Iya,” sahutku, ” kalau di sini, siang-siang juga takkan ada gangguan. Aman dan terkendali. Hahahaaa…”
“Iya Bang. Nyaman banget,” kata Edo yang memang baru sekali itu kubawa ke lantai atas.
“Sebenarnya kalau kita mau bikin acara seperti di villa itu juga bisa. Itu kan masih ada dua kamar lagi yang kosong.”
“Iya ya….ngapain juga harus bayar villa mahal-mahal.”
“Gakpapa. Yang pertama kan harus menimbulkan indah buat istri kita. Tunggu sebentar ya…mau ngasitau istri saya dulu. Ohya…itu di kulkas ada minuman, silakan aja balakin dulu. Itu gelasnya…” kataku sambil keluar dari kamar itu, kemudian menuruni tangga dan menuju kamarku.
Istriku tampak masih duduk di depan kaca rias.
“Sayang…” kataku sambil memegang kedua bahunya dari belakang, “Edo sudah ada di atas tuh. Aku nunggu di atas juga ya.”
“Wuih…on time banget,” sahut istriku sambil menyemprotkan parfum ke ketiaknya, ke lehernya dan ke seputar perutnya dan bahkan ke sekitar selangkangannya.
Hmmm….aku tahu tujuan semprotan parfum itu. Tapi itu memang aku yang menganjurkan.
Aku lalu menuju lantai dua lagi. Edo sudah membuka tutup botol dry gin Crystal ke gelas kecil yang sudah disediakan di atas kulkas.
“Dry Gin Crystal enak ya? Bawaannya happy terus,” kataku sambil mengambil gelas yang masih kosong dan ikut menuangkan dry gin juga ke dalamnya.
“Iya Bang. Kalau Gordon terlalu keras, malah kepengen tidur nanti,” sahut Edo setelah meneguk isi gelasnya.
Saat yang mendebarkan sudah tiba. Ketika aku baru menghabiskan isi gelasku, istriku muncul. Cuma mengenakan kimono sutra putih bermotipkan coret-coretan abstrak yang lembut-lembut warnanya.
Seperti yang kuanjurkan, pada waktu berjabatan tangan, Edo memeluk istriku, lalu mencium bibirnya dengan mesra. Dan seperti yang kuanjurkan, sepintas pun kelihatan bahwa saat itu istriku tidak mengenakan bra maupun celana dalam.
Semuanya sudah dimudahkan.
Kuambil juga sebotol Martini dari dalam kulkas. Kubuka tutupnya dan kutuangkan isinya ke gelas yang masih kosong.
“Nih minuman kesenanganmu,” kataku sambil menyerahkan gelas berisi Martini itu kepada istriku.
Istriku menyambut gelas berisi Martini itu, lalu duduk di sofa panjang sambil meneguk isi gelasnya. Ia berani meneguk langsung sampai habis. Mungkin karena merasa canggung, lalu berusaha menindasnya dengan minuman favoritnya itu.
Edo memandangku, seperti minta izin. Aku mengedipkan mata sambil mengangguk. Dan Edo langsung duduk di samping istriku. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang istriku. Namun ternyata tangan itu bukan cuma memeluk pinggang istriku. Edo tengah melepaskan ikatan tali kimono sambil menciumi leher istriku.
Istriku memandangku, seperti minta izin juga. Aku menghampirinya, memegang kedua belah pipinya sambil berkata, “Iya sayang….lakukanlah seindah mungkin. Aku semakin cinta padamu, sayang…” ucapan itu kuakhiri dengan kecupan di dahi istriku. Lalu duduk di sofa yang masih kosong.
Edo tak lagi melirik-lirik padaku, mungkin karena pengaruh minuman telah membuatnya konsentrasi ke arah istriku. Ke arah kimono yang sudah ditanggalkan, sehingga istriku langsung jadi telanjang bulat.
Gila…ketika Edo mulai menjilati kemaluan istriku, dengan spontan penisku mulai tegang. Mulai ingin mengenjot istriku. Tapi aku harus bisa menahan diri. Aku harus membiarkan mereka melakuykannya tanpa gangguanku.
Rintihan dan desahan histeris istriku mulai berkumandang di dalam kamar ini. Aku pun menuangkan dry gin ke gelasku yang sudah kosong. Sementara Edo mengangkat tubuh istriku…memindahkannya ke atas tempat tidur. Lalu Edo menelanjangi dirinya sendiri.
Ketika aku mulai meneguk isi gelasku, Edo mulai membenamkan batang kemaluannya ke liang vagina istriku. Ooooh…begitu jelasnya pemandangan itu di mataku. Begitu jelasnya batang kemaluan sahabatku itu melesak masuk ke dalam liang vagina istriku, disusul dengan suara desahan istriku, “Aaaaah……sudah masuk Dooooo….”
Aku sudah berkali-kali menonton video waktu Edo pertama kali menyetubuhi istriku di villa itu. Tapi rasanya “siaran langsung” begini. Sungguh sangat merangsang. Dan ketika aku ingin semakin jelas menyaksikan dari jarak yang sangat dekat, istriku malah menangkap tanganku. Seperti takut jatuh dan berpegangan kuat-kuat ke tanganku.
Sebagai tanda “merestui” persetubuhan itu, aku pun duduk bersila di ujung tempat tidur, sambil meletakkan kepala istriku di atas pahaku. Tampaknya istriku sangat senang dengan perlakuanku ini. Sementara Edo makin lama makin gencar mengayun batang kemaluannya. Keringatnya pun mulai berjatuhan ke dada dan perut istriku.
Istriku tak peduli keringat Edo sudah bergalau dengan keringatnya sendiri. Bahkan kulihat pantatnya mulai bergoyang-goyang dengan gerakan meliuk-liuk dan menghentak-hentak. Membuatku semakin cemburu.
Tapi inilah seninya. Seni mengatur cemburu menjadi gairah yang luar biasa.
Lanjutan Episode 10
Cukup lama aku membiarkan semuanya itu terjadi. Sesekali kuremas payudara istriku, biar dia merasa semakin nikmat. Dan kelihatannya sudah mengalami orgasme lebih dari satu kali.
Akhirnya Edo mencabut batang kemaluannya, lalu memegangnya sambil mengarahkan ke perut istriku. Disusul dengan bersemburannya air mani sahabatku, menembak-nembak ke perut istriku.
Istriku bangkit, mengambil tissue basah yang sudah disiapkan di dekat bantal. Lalu dilapnya ceceran air mani yang berlepotan di perutnya.
“Kenapa gak dilepasin di dalam?” tanyaku sambil menepuk bahu sahabatku yang masih basah oleh keringat.
“Takut nanti jadi becek buat Abang,” sahut Edo sambil meringis.
Lenganku ditarik oleh istriku. Pertanda ingin segera disetubuhi olehku. Aku pun lepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhku.
“Posisi doggy yok…biar nggak bosenin,” kataku kepada istriku.
Istriku menurut saja. Ia langsung menungging di atas tempat tidur, sementara aku berlutut di dekat pantatnya, lalu mengarahkan batang kemaluanku ke liang kewanitaannya yang baru membuat Edo ngecrot.
Tak sulit memasukkan penisku ke dalam vagina istriku, karena masih basah dan agak longgar rasanya. Sebelum mulai mengayun batang kemaluanku, masih sempat aku memberi isyarat kepada Edo, agar menggantikan kedudukanku tadi, duduk di posisi aku memangku kepala istriku.
Edo mengerti pada isyarat tangan dan mataku, yang tidak dilihat oleh istriku. Lalu ia duduk di tempatku tadi. Sehingga batang kemaluannya yang sudah lemas itu jadi berada di dekat kepala istriku, tepatnya…berada di bawah mulut istriku.
Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku sambil berkata, “Emut penis Edo tuh sayang…biar bangun lagi…”
Lucunya, istriku patuh saja pada perintahku. Digenggamnya batang kemaluan Edo yang masih terkulai lemas itu, lalu diselomotinya dengan trampil, sementara aku semakin lancar mengenjot vagina istriku sambil berpegangan ke buah pantatnya.
Aku tidak iri ataupun cemburu lagi, meski istriku terlihat binal menyelomoti batang kemaluan Edo. Karena aku pun sedang asyik-asyiknya menikmati gesekan batang kemaluanku dengan dinding lubang vagina istriku. Apalagi kalau mengingat bahwa beberapa hari yang akan datang aku pun akan memperlakukan Raisha seperti yang kami lakukan sekarang.
Tampaknya permainan oral isteriku cukup ampuh, membuat penis Edo berdiri tegak kembali.
“Tukar posisi Do,” kataku sambil menghentikan ayunan penisku. Entah kenapa, aku merasa ingin juga dioral oleh istriku.
Edo mengangguk dan cepat bangkit. Kami jadi tukar posisi. Kini aku yang dioral oleh istriku, sementara Edo mengenjot dari belakang.
Oooo…banyak sekali yang terjadi malam itu. Secara bergiliran aku dan Edo menyetubuhi istriku, dalam bermacam-macam posisi. Sehingga aku mencapai ejakulasi 3 kali, Edo pun 3 kali ejakulasi. Sementara istriku entah berapa kali mencapai orgasmenya..
Lalu kami terkapar dalam kepuasan. Ini pertama kalinya istriku tidur diapit oleh dua lelaki, aku dan Edo. Dan semuanya tertidur dalam keadaan masih telanjang bulat.
Post a Comment